Total Pageviews

Thursday, November 28, 2019

MAKALAH TENTANG TA'ADDUD AL- ZAWJAT ATAU POLIGAMI



KATA PENGANTAR
            Puji syukur kami panjatkan ke khadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “ Ta’addud Az Zawjat”  ini. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadis Hukum Keluarga 1.
Dalam penyusunan ini kami menyampaikan ucapan hak terterimaksih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada:
1.      Bapak H. Arif Jamaluddin Malik, M.Ag. selaku dosen pengampu.
2.      Kepada keluarga tercinta yang telah membantu baik moril maupun materi.
3.      Rekan-rekan satu kelompok yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
4.      Rekan-rekan satu kelas Prodi Hukum Keluarga D UIN Sunan Ampel Surabaya yang selalu memberikan semangat serta dukungan.
5.      Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan makalah ini.
Akhirnya kami menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan baik pada teknis penulisan maupun materi. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, kami menerima kritik dan saran agar penyusunan makalah selanjutnya menjadi lebih baik. Untuk itu kami mengucapkan banyak terimakasih dan semoga karya tulis ini bermanfaat bagi para pembaca.









PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Poligami atau pernikahan lebih dari satu orang merupakan suatu hal yang sangat ditakuti oleh setiap wanta. Pelaksanaan poligami tanpa dibatasi secara ketat akan menimbukan hah-hal negative dalam menegakkan rumah tangga. Biasanya hubungan dengan istri muda menjadi tegang, anak-anak yang berlainan ibu menjurus pada pertentangan yang membahayakan kelangsungan hidupnya. Hal ini bisa terjadi jika sang ayah meninggal dunia.
Berbagai macam perbedaan pendapat oleh para ulama’ juga membuat poligami ini menjadi hal yang menarik untuk dipelajari lebih lanjut. Bahkan juga diperlukan adanya studi materi mengenai dasar hokum mengenai poligami ini. Untuk kali ini penulis mencoba untuk membahas mnegenai studi materi tentang poligami yang terdapat dalam hadits Rasulullah SAW. Sehingga diharapkan akan didapatkan pemahaman yang lebih mengenai poligami ini dan akan agar dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang menyangkut tentang poligami yang ada di lingkungan masyarakat.
                       
B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana hadits tentang ta’addud al-zawjat atau poligami?
2.      Bagaimana kualitas hadis tentang ta’addud al-zawjat atau poligami?
3.      Bagaimana penjelasan hadis tentang ta’addud al-zawjat atau poligami?
4.      Bagaimana penjelasan kandungan hukum hadits tentang ta’addud al-zawjat atau poligami?
5.      Bagaimana ketentuan perundang-undangan tentang poligami?   






PEMBAHASAN
A.    Teks Hadith
 حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِيَّ أَسْلَمَ وَلَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَأَسْلَمْنَ مَعَهُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَخَيَّرَ أَرْبَعًا مِنْهُنَّ[1]
 Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami 'Abdah dari Sa'id bin Abu 'Arubah dari Ma'mar dari Az Zuhri dari Salim bin Abdullah dari Ibnu Umar bahwa Ghailan bin Salamah Ats Tsaqafi masuk Islam sedang dia saat itu memiliki sepuluh orang istri dari masa Jahiliyah. Mereka semuanya masuk Islam juga. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyuruhnya agar memilih empat dari mereka.

B.     Makna Mufradhad
 أَسْلَمَ: Masuk Islam
 نِسْوَةٍ: Istri
 يَتَخَيَّرَ: Memilih
C.    Biografi Perawi
Sanad dari hadits diatas adalah sebagai berikut:

Rasulullah SAW


 


Sahabat
Abdullah ibnu Umar bun Nofail


 

Wafat 73 H
Tabiin Generasi Pertengahan
Salim bin Abdulloh


 

Wafat 106 H
Tabiin Generasi Tengah Bawah
Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah


 

Wafat 124 H
Tabiit Tabiin Senior
Ma’mar bin Rasyid


 

Wafat 154 H
Tabiit Tabiin
Said bin Abi Uraibah


 

Wafat 156 H
Tabiit Tabiin Kader Pertengahan
Abdah


 

Wafat 187 H
Tabiit Tabiit Tabiin Senior
Hannad bin Assari bin Mu’ab


 

Wafat 243 H

1.      Abdullah ibnu Umar bun Nofail
Beliau adalah orang yang masuk Islam bersama dengan bapaknya ketika masih kecil dan belum baligh, beliau  juga hijrah dengan bapaknya. Beliau menyaksikan event event penting yang terjadi pada zaman Rasulullah seperti perang uhud dan khandaq. Beliau adalah saudara kandung dari Hafshah istri Rasul dan Ibunya bersama Zainab binti Madzu’un.[2] Beliau adalah perawi yang thiqah yang besar di kota Madinah dan Wafat di tahun 73 Hijriah. Beliau berguru pada Bilal bin Rabbah, Hafshah binti Umar, Zaid bin Tsabit dan Aishah binti Abu Bakrin dan beliau memiliki murid sebagai berikut : Abul Fadhl, Anas bin Sirin, Bilal bin Abdullah binti Umar dan Salim bin Abdulloh bin Umar.[3]
2.      Salim bin Abdulloh
Salim bin Abdulloh bernama lengkap Salim bin Abdulloh bin Umar bin Khatab dan ibunya bernama Ummu Salim, beliau biasa dipanggil dengan sebutan Abu Ubaidillah. Ia berguru pada Hafshah binti Umar, Zaid bin Tsabit, Aisyah, Abdullah bin Umar bin Khatab dan Abu Hurairah. Sedangkan santrinya adalah Salim bin Abi Umaiyah, Sulaiman bin Mihran, Abdullah bin Abi Bakar bin Muhammad dan Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah.[4] Menurut Ibn Sa’id beliau adalah perawi yang thiqah.[5]
3.      Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah
Nama panjang beliau adalah Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab bin Abdullah bin Harits bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib al Quraisyi dan ibunya bernama Aisyah binti Abdullah Akbar bin Syihab.[6] Beliau adalah perawi yang thiqah yang lahir di Madinah dan Wafat pada tahun 124 Hijriah. Beliau berguru pada Abu Ubaidah bin Abdullah, Asma’ binti Abu Bakri dan Salim bin Abdullah bin Umar, santri beliau diantaranya adalah Isma’il bin Muslim, Asy’af bin Syiwar, Hajaj bin Artha dan Ma’mar bin Rasyid.[7]
4.      Ma’mar bin Rasyid
Ma’mar bin Rasyid adalah saudara dari Muhallib bin abi Sufrah dari Ibunya, beliau tinggal di Yaman dan menyaksikan jenazah Hasan Al Basri.[8] Beliau adalah perawi yang thiqah yang Guru-gurunya diantaranya adalah Ishaq bin Rasyid, Basar bin Harb, Samak bin al Fadhl dan Muhammad bin Muslim. Dan murid-muridnya diantaranya adalah Isma’il bin Ibraim bin Muqsham, Rabbah bin Zaid dan Said bin Abi Arubah.[9]
5.      Said bin Abi Uraibah
6.      Abdah
Dikatakan nama asli beliau adalah Abdur Rahman sedangkan Abdah adalah julukannya.[10] Beliau adalah perawi yang thiqah yang bernama lengkap Abdah bin Sulaiman. Beliau lahir dan wafat di Kuffah, wafat pada tahun 187 Hijriah. Guru beliau diantaranya adalah Ismail bin Abi Khalid, Hajjaj bin Dinar dan Said bin Abi Arubah. Santri beliau diantaranya adalah Abdullah bin Said bin Hasyim, Ustman bin Muhammad dan Hannad bin As Sari bin Mus’ab.[11]
7.      Hannad bin Assari bin Mus’ab
Nama panjang beliau adalah Hannad bin Assari bin Mus’ab bin Abi Bakr bin Syabr bin Sho’fuq bin Amr bin Zurarah bin Adas bin Zaid ibnu Abdulloh bin Darim Attamimi Addarimi.[12] Beliau adalah perawi yang thiqah yang lahir di Kuffah dan wafat pada tahun 243 Hijriah. Guru beliau diantaranya adalah Abu Bakrin bin Iyas, Hatim bin Ismail dan Abdah bin Sulaiman. Santri beliau diantaranya adalah Imam Muslim, At Turmudzi, An Nasa’i, Abi Dawud, Ibnu Majah dan Imam Ahmad.[13]
D.    Kajian Sanad
Berdasarkan bigrafi para perawi hadits sebagimana yang telah disebutkan sebelumnya, dapat diketahui bahwa para perawi adalah perawi hadits yang tsiqah. Sehingga, hadits tentang ta’addud az-zaujat atau poligami diatas merupakan hadits yang shahih. Demikian dikarenakan hadits tersebut diriwayatkan oleh periwayat-periwayat yang tsiqah dan sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW tanpa terputus.
E.     Sababul Wurud
Hadits tersebut di atas, membicarakan tentang Ghailan Ats-Tsaqafi yang mana sebelum masuk Islam mempunyai sepuluh orang istri. Ketika ia masuk Islam ke sepuluh orang istrinya itu turut masuk Islam bersamanya. Oleh karena dalam Islam seorang laki-laki tidak boleh beristri lebih dari empat, maka Nabi menyampaikan hadits di atas. Yakni, menyuruh atau memerintah mempertahankan empat diantara mereka dan menceraikan yang lainnya.
Hadits senada dengan riwayat di atas adalah sebagaimana juga diriwayatkan oleh Ibn Majah, yaitu :
            حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَكِيمٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَسْلَمَ غَيْلَانُ بْنُ سَلَمَةَ وَتَحْتَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ  فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  خُذْ  مِنْهُنَّ أَرْبَعًا[14]
Telah bercerita kepada kami Yahya bin Hakim; telah bercerita kepada kami Muhammad bin Ja’far; telah bercerita kepada kami Ma’mar; dari Az-Zuhri; dari Salim; dari ibnu Umar; berkata : Ghailan bin Salamah masuk Islam, sedangkan padanya ada sepuluh orang istri, maka Nabi SAW bersabda padanya ; “silahkan ambil (pertahankan) empat diantara mereka”. (HR. Ibnu Majah)

F.     Penjelasan dan Kandungan Hadits
1.      Penjelasan Hadits
Hadits diatas menunjukkan larangan bagi seorang pria muslim untuk menikahi wanita lebih dari empat orang. Dan jika ada seorang non muslim yang memeluk agama islam dalam keadaan memiliki istri lebih dari empat orang maka orang tersebut diharuskan untuk memilih empat orang saja diantara mereka yang akan menjadi istrinya dan menceraikan yang tidak terpilih. Adapun ketentuan ini telah disetujui oleh jumhur ulama’.[15]
Hadis yang diceritakan oleh Salim yang didapatkan oleh bapaknya yakni Abdullah ibnu Umar ini bercerita tentang sahabat Ghailan bin Salamah yang termasuk orang kafir yang masuk Islam setelah penakhlukan tanah Thaif yang pada masa kekhalifahan Umar. Selama dia kafir dia telah menikah dengan sepuluh orang wanita sedangkan syari’at islam hanya membeolehkan beristri paling banyak empat orang wanita., mka ketika Ghailan masuk Islam bersamaan dengan istri-istrinya Rasulullah menyuruhnya untuk memilih empat dari keseluruhan wanita yang dijadikan istri dan menceraikan sisanya. Bebas memilih yang awal atau yang akhir, yang terpenting adalah memilih empat istri dan menceraikan sisanya.[16]
Abu Dawud meriwayatkan bahwa pilihlah empat saja dari istri-istrimu dan ceraikalah sisanya dengan metode bebas, tidak dilihat dari urutan menikahnya.[17]
Menurut pendapat Imam Dhohiri, beliau berpendapat bahwa boleh atau halal bagi seorang pria untuk menikahi sampai dengan sembilan wanita. Adapun dasarnya adalah Firman Allah SWT:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”( QS. An Nisa’ Ayat 3 ).[18]
Pada redaksi ayat مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ huruf wawu ( و ) yang menyambungkan antara angka-angka tersebut bermakna tambah bukan untuk memilih. Jadi beliau memaknai ayat tersebut dengan artian dua ditambah tiga ditambah empat yang hasilnya adalah sembilan.[19]
Berbeda lagi dengan pendapat dari Ali bin Hasan as. Yang berpendapat bahwa ayat diatas bermakna pilihan yaitu مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ yang bermaksud untuk memilih berapa jumlah wanita yang mampu untuk dinikahi, boleh itu dua atau tiga atau empat.
Allah memperbolehkan bagi seorang pria untuk menikah dengan hanya seorang wanita saja tetapi jika dia berkeinginan dan mampu maka boleh beristri tiga maupun empat dan tidak boleh lebih dari bilangan yang telah ditentukan maksimalnya yaitu empat. Dan itu dikarenakan berat atau sulitnya untuk berperilaku adil dan setara kepada wanita yang lebih dari empat, maka ditentukanlah batasan untuk persoalan ini. Sebagaimana dalam dalil yang berbunyi :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat”.
Huruf wawu pada teks diatas bermakna auw yang artinya adalah atau. Jadi yang dimaksud pada ayat diatas adalah untuk memilih antara dua atau tiga atau empat dan tidak diperbolehkan untuk menikahi lebih dari empat wanita. Dan jika ditakutkan untuk tidak dapat berbuat adil diantara beberapa isterinya maka cukup baginya untuk menikahi satu wanita saja seperti yang disebutkan pada penggalan ayat selanjutnya :
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”.
Dan diperbolehkan untuk menikahi lebih dari satu wanita jika yang bersangkutan berjanji dan yakin bahwasanya dia akan berperilaku adil terhadap wanita-wanita yang akan menjadi istrinya. Adil di sini adalah adil dalam artian adil pembagian hartanya, adil dalam pemberian nafkah, adil dalam pemberian tempat tinggal, adil dalam menemui istri-istrinya dan adil dalam segala macam yang terlihat oleh mata. Sedangkan untuk masalah hati memang tidak bisa terpungkiri untuk sulit dalam berprerilaku adil. Terkecuali untuk Nabi Muhammad SAW. Allah menghalalkan bagi beliau untuk beristri lebih dari empat bahkan sampai dengan sembilan orang istri. Hal ini merupakan kekhususan yang diberikan oleh Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam perkara ini :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللاتِي آتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالاتِكَ اللاتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ لِكَيْلا يَكُونَ عَلَيْكَ حَرَجٌ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” ( QS. Al Ahzab Ayat 50 ).[20]
Maka kesimpulannya adalah Allah SWT memperbolehkan seorang laki-laki untuk menikahi empat orang wanita atau kurang dengan adil sebagai persyaratannya. Karena terkadang tidak cukup bagi seorang pria dengan istri satu, karena bisasaja istrinya sedang sakit, perjalanan jauh, haid, nifas dan lain sebagainya maka boleh baginya untuk beristri dua. Dan jika dua tidak cukup maka diperbolehkan beristri tiga dan seterusnya.
2.      Kandungan Hukum Hadits
a.      Pandangan ulama tentang poligami
Para ulama berbeda pendapat mengenai ketentuan tentang poligami. Meskipun dasar hukum mereka adalah sama, tetapi tidak menutup kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat. Dasar hukum yang dijadikan pijakan mereka dalam berpendapat adalah sama, yakni QS. An Nisa’ Ayat 3 seperti yang telah disebutkan diatas. Menurut jumhur ulama’, ayat tersebut diatas turun setelah Perang Uhud selesai, ketika banyak pejuang muslim yang gugur menjadi syuhada’. Akibatnya, banyak anak yatim dan janda yang ditinggal mati oleh ayah atau suaminya. Yang berakibat pula terabaikannya kehidupan mereka. Sehingga dalam kondisi seperti inilah yang melatarbelakangi disyariatkannya poligami dalam islam.
Ibnu Jarir Ath-Thabari sengat setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat diatas merupakan kekhawatiran tidak mampunya seorang wali berbuat adil terhadap harta anak yatim. Maka jika sudah khawatir dengan anak yatim, sudah patut juga mengkhawatirkan perempuan juga. Maka janganlah menikahi mereka kecuali dengan perempuan yang kalian yakin bisa berbuat adil, satu hingga empat orang. Maka sebaliknya, jika terdapat kekhawatiran tidak sanggup berbuat adil ketika melakukan poligami, maka cukup menikahi seorang istri saja.[21]
Ibnu Qosim Al-Ghozi, dalam kitabnya Fath al-Qarib mengatakan bahwa diperbolehkan bagi seorang laki-laki yang merdeka (bukan budak) untuk menikahi wanita-wanita sampai empat orang wanita merdeka. Sedangkan untuk laki-laki yang budak, hanya diperbolehkan untuk menikahi wanita-wanita sampai dua orang saja yang juga merupakan seorang budak.[22]
Sedangkan menurut jumhur ulama termasuk Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, dan Imam Hambali sepakat bahwa seorang laki-laki tidak boleh menikahi lebih dari empat orang wanita dalam suatu masa perkawinan. Jika lelaki tersebut ingin menikah untuk yang kelima, maka dia harus menceraikan salah satu dari empat orang istrinya yang lama dan menunggu hingga masa iddah istri yang diceraikannya telah habis. Barulah kemudian dia dapat menikah lagi. Ketentuan ini didasarkan pada QS. An Nisa’ Ayat 3.[23]
Hal ini juga didasarkan karena ketika seorang perempuan sedang dalam masa iddah, mantan suami masih tetap memiliki tanggung jawab terhadap mantan istrinya tersebut dan masih punya kesempatan untuk kembali rujuk. Sehingga suami harus menunggu masa iddah mantan istrinya selesai dulu baru dia dapat menikah lagi. Dikarenakan masih ada kemungkinan bagi si mantan suami itu berubah fikiran. Dalam hal ini, iddah disini dimaksudkan agar baik suami ataupun istri bisa merenungkan baik buruknya sebelum mengambil keputusan untuk berpisah selamanya. Begitu pula berlaku di dalam lingkungan masyarakat, jika seseorang yang habis bercerai langsung mengadakan pernikahan lagi hanya kan membuat kesan buruk.
Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa menurut jumhur ulama seorang laki-laki diperbolehkan untuk mengumpulkan atau menikahi wanita-wanita hanya sampai empat orang saja. Itupun dengan syarat bahwa dia sang suami yakin bahwa dirinya dapat belaku adil diantara para istrinya tersebut. Apabila ada keraguan sedikit saja apakah dia mampu berlaku adil ataukah tidak, maka cukuplah baginya menikahi satu orang wanita saja.
b.      Syarat / batasan poligami
Adapun poligami dalam islam dibatasi oleh syarat-syarat dan batasan tertentu, seperti diantaranya:
1.      Jumlah istri yang boleh dinikahi paling banyak adalah empat orang wanita. Seandainya salah satu diantara mereka ada yang meninggal dunia atau diceraikan, suami diperbolehkan untuk mencari ganti yang lain asalkan jumlahnya tidak melebihi dari empat orang.
2.      Laki-laki yang melakukan poligami mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya yang menyangkut dengan masalah-masalah lahiriyah seperti pembagian waktu, pemberian nafkah, dan kepentingan-kepentingan lain yang menyangkut lahiriyah. Sedangkan untuk masalah batin, diusahakan agar mampu berlaku seadil-adilnya. Dikarenakan untuk masalah batin tidak ada yang bisa berlaku benar-benar adil.

3.      Poligami menurut ketentuan perundang-undangan
a.      Menurut UU Perkawinan
Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa pernikahan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahadia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Berdasarkan ketentuan tersebut jelaslah bahwa hukum perkawinan di indonesia menganut asas monogami. Asas ini lebih ditegaskan lagi pada Pasal 3 ayat (1) yang mengatakan bahwa pada asalnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya bleh mempunyai seorang suami. Akan tetapi UU perkawinan ini memberikan pengecualian, sebagaimana dalam Pasal 3 ayat (2) yang menerangkan bahwa Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pohak-pihak yang bersangkutan. Mengenai tata cara melakukan poligami, dijelaskan sebagai berikut:[24]
Pasal 4
(1). Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2). Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a.      isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b.      isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.       isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1). Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.      adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b.      adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c.       adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2). Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

b.      Menurut Kompilasi Hukum Islam
Mengenai tata cara berpoligami, dalam KHI diatur dalam BAB IX Pasal 55-59 sebagai berikut:[25]
BAB IX
BERISTERI LEBIH SATU ORANG
Pasal 55
1)      Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.
2)      Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
3)      Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang.
Pasal 56
1)      Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
2)      Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975.
3)      Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akanberisteri lebih dari seorang apabila:
a.      isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b.      isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.       isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58
1)      Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu :
a.      adanya pesetujuan isteri;
b.      adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
2)      Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.
3)      Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.
Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
c.       Menurut PP No 5 Tahun 1975
Mengenai tata cara berpoligami, dalam undang-undang ini diatur dalam BAB VIII Pasal 40-44 sebagai berikut:[26]
BAB VIII
BERISTERI LEBIH DARI SEORANG
Pasal 40
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.
Pasal 41
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai :
a.      Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah :
-          bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
-          bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
-          bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
b.      ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan didepan sidang pengadilan.
c.       ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan :
                                                                   i.     surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda-tangani oleh bendahara tempat bekerja;
                                                                 ii.     atau surat keterangan pajak penghasilan; atau
                                                               iii.     surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan;
d.      ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Pasal 42
1)      Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan.
2)      Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya, surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.
Pasal 43
Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.
Pasal 44
Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43.






PENUTUP
Simpulan
Dari penjelasan yang ada pada makalah diatas, dapat diambil beberapa kesimpulan diantaranya :
1.      حَدَّثَنَا هَنَّادٌ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ عَنْ مَعْمَرٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِيَّ أَسْلَمَ وَلَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَأَسْلَمْنَ مَعَهُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَخَيَّرَ أَرْبَعًا مِنْهُنَّ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami 'Abdah dari Sa'id bin Abu 'Arubah dari Ma'mar dari Az Zuhri dari Salim bin Abdullah dari Ibnu Umar bahwa Ghailan bin Salamah Ats Tsaqafi masuk Islam sedang dia saat itu memiliki sepuluh orang istri dari masa Jahiliyah. Mereka semuanya masuk Islam juga. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyuruhnya agar memilih empat dari mereka.
2.      Istilah poligami berasal dari bahasa inggris “poligamy”, dan disebut تَعَدُّدُ الزَّوْجَاتِ dalam hukum Islam,  yang berarti beristri lebih dari seorang wanita. Secara etimologis kata poligami berasal dari bahasa yunani, yaitu gabungan dari dua kata poli atau polus yang berarti banyak dan gamein atau gamos yang berarti perkawinan. Dengan demikian poligami berarti perkawinan yang banyak. Namun dalam Islam, poligami mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu dengan batasan. Umumnya menurut ulama diperbolehkan hanya sampai empat wanita saja.
3.      Hadits tersebut di atas, membicarakan tentang Ghailan Ats-Tsaqafi yang mana sebelum masuk Islam mempunyai sepuluh orang istri. Ketika ia masuk Islam ke sepuluh orang istrinya itu turut masuk Islam bersamanya. Oleh karena dalam Islam seorang laki-laki tidak boleh beristri lebih dari empat, maka Nabi menyampaikan hadits di atas. Yakni, menyuruh atau memerintah mempertahankan empat diantara mereka dan menceraikan yang lainnya.
4.      Hadits diatas menunjukkan larangan bagi seorang pria muslim untuk menikahi wanita lebih dari empat orang. Dan jika ada seorang non muslim yang memeluk agama islam dalam keadaan memiliki istri lebih dari empat orang maka orang tersebut diharuskan untuk memilih empat orang saja diantara mereka yang akan menjadi istrinya dan menceraikan yang tidak terpilih. Adapun ketentuan ini telah disetujui oleh jumhur ulama’.
Menurut pendapat Imam Dhohiri, beliau berpendapat bahwa boleh atau halal bagi seorang pria untuk menikahi sampai dengan sembilan wanita.
Sedangkan menurut jumhur ulama termasuk Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, dan Imam Hambali sepakat bahwa seorang laki-laki tidak boleh menikahi lebih dari empat orang wanita dalam suatu masa perkawinan.
5.      Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa pernikahan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahadia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berdasarkan ketentuan tersebut jelaslah bahwa hukum perkawinan di indonesia menganut asas monogami. Asas ini lebih ditegaskan lagi pada Pasal 3 ayat (1) yang mengatakan bahwa pada asalnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya bleh mempunyai seorang suami. Akan tetapi UU perkawinan ini memberikan pengecualian, sebagaimana dalam Pasal 3 ayat (2) yang menerangkan bahwa Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pohak-pihak yang bersangkutan. Mengenai tata cara melakukan poligami, dijelaskan sebagai berikut:


[1] Abi Isa Muhammad bin Isa Attirmidzi, Aljami’ul Kabir (Beirut: Darul Ghorbi Al-Islami, 2006) nomor 1047, hlm 421
[2] Jamaluddin Abi Al Hajjaj Yusuf Al Mazi, tahdzibut Kamal Juz 15 (Beirut: Mu’assasah Ar Risalah, 1983), hlm 332
[3] Compact Disk Mausuah Hadist Syarif
[4] Jamaluddin Abi Al Hajjaj Yusuf Al Mazi, tahdzibut Kamal Juz 10, hlm 145
[5] Compact Disk Mausuah Hadist Syarif
[6] Jamaluddin Abi Al Hajjaj Yusuf Al Mazi, tahdzibut Kamal Juz 26, hlm 420
[7] Compact Disk Mausuah Hadist Syarif
[8] Jamaluddin Abi Al Hajjaj Yusuf Al Mazi, Thadzibul Kamal Juz 28,  hlm304
[9] Compact Disk Mausuah Hadist Syarif
[10] Jamaluddin Abi Al Hajjaj Yusuf Al Mazi, Tahdzibul Kamal Juz 18,  hlm 531
[11] Compact Disk Mausuah Hadist Syarif
[12] Jamaluddin Abi Al Hajjaj Yusuf Al Mazi, Thadzibul Kamal Juz 30, hlm 311
[13] Compact Disk Mausuah Hadist Syarif
[14] Abu Abdulloh Muhammad bin Yazid bin Majah Al-Qozwini, Sunan Ibnu Majah, (Mesir: Daru Ihya'il Kutub Al-Arobiyah, TT), hlm 628.
[15] Shifa’ud Dhawi Ahmad Al Adawi, Ihda’ud Dibajah bi Syahril Sunan Ibnu Majah (Darul Yakin), hlm 607  
[16] Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, fath Dzil Jalali Wal Ikhram Juz 4 (Kairo: Al Maktabah Al Islamiah, 2006), hlm 524
[17] Mansur Ali Nasif, Attaj Aljami’u lil Ushuli fi Hadits Rasululillah (Beirut: Darul Fikr, 1981), hlm 355
[18] Departemen Agama RI, Al Qur’an Al Karim dan Terjemahnya, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1995), hlm 115.
[19] Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy Syaukani, Nailul Author Juz 5, (Kairo: Dar al Hadits, 2005), hlm 536.
[20] Departemen Agama RI, Al Qur’an Al Karim dan Terjemahnya, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1995), 675-676.
[21] Ibnu Jarir Al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, Jilid IV, 1978), hlm 155.
[22] Muhammad Ibnu Qosim Al-Ghozi, Fath al-Qadir, (Surabaya: Nur Huda, tt), hlm 34.
[23] Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), hlm 156.
[24] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
[25] Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
[26] Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

No comments:

Post a Comment