KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke
khadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
dengan judul “ Ta’addud Az Zawjat” ini.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hadis Hukum Keluarga 1.
Dalam
penyusunan ini kami menyampaikan ucapan hak terterimaksih yang tak terhingga
kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya
kepada:
1.
Bapak H. Arif
Jamaluddin Malik, M.Ag. selaku dosen pengampu.
2.
Kepada keluarga
tercinta yang telah membantu baik moril maupun materi.
3.
Rekan-rekan satu
kelompok yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
4.
Rekan-rekan satu
kelas Prodi Hukum Keluarga D UIN Sunan Ampel Surabaya yang selalu memberikan
semangat serta dukungan.
5.
Semua pihak yang
tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam
penyusunan makalah ini.
Akhirnya
kami menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan baik pada teknis
penulisan maupun materi. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, kami
menerima kritik dan saran agar penyusunan makalah selanjutnya menjadi lebih
baik. Untuk itu kami mengucapkan banyak terimakasih dan semoga karya tulis ini
bermanfaat bagi para pembaca.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Poligami atau pernikahan lebih dari satu orang
merupakan suatu hal yang sangat ditakuti oleh setiap wanta. Pelaksanaan
poligami tanpa dibatasi secara ketat akan menimbukan hah-hal negative dalam
menegakkan rumah tangga. Biasanya hubungan dengan istri muda menjadi tegang,
anak-anak yang berlainan ibu menjurus pada pertentangan yang membahayakan
kelangsungan hidupnya. Hal ini bisa terjadi jika sang ayah meninggal dunia.
Berbagai macam perbedaan pendapat oleh para ulama’
juga membuat poligami ini menjadi hal yang menarik untuk dipelajari lebih
lanjut. Bahkan juga diperlukan adanya studi materi mengenai dasar hokum
mengenai poligami ini. Untuk kali ini penulis mencoba untuk membahas mnegenai
studi materi tentang poligami yang terdapat dalam hadits Rasulullah SAW. Sehingga
diharapkan akan didapatkan pemahaman yang lebih mengenai poligami ini dan akan
agar dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang menyangkut tentang
poligami yang ada di lingkungan masyarakat.
B.
Rumusan masalah
1.
Bagaimana hadits
tentang ta’addud al-zawjat atau
poligami?
2.
Bagaimana
kualitas hadis tentang ta’addud al-zawjat
atau poligami?
3.
Bagaimana
penjelasan hadis tentang ta’addud
al-zawjat atau poligami?
4.
Bagaimana
penjelasan kandungan hukum hadits tentang ta’addud
al-zawjat atau poligami?
5.
Bagaimana
ketentuan perundang-undangan tentang poligami?
PEMBAHASAN
A.
Teks Hadith
حَدَّثَنَا
هَنَّادٌ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ عَنْ مَعْمَرٍ
عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ
غَيْلَانَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِيَّ أَسْلَمَ وَلَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فِي
الْجَاهِلِيَّةِ فَأَسْلَمْنَ مَعَهُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَخَيَّرَ أَرْبَعًا مِنْهُنَّ[1]
Artinya:
Telah
menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami 'Abdah dari
Sa'id bin Abu 'Arubah dari Ma'mar dari Az Zuhri dari Salim bin Abdullah dari
Ibnu Umar bahwa Ghailan bin Salamah Ats Tsaqafi masuk Islam sedang dia saat itu
memiliki sepuluh orang istri dari masa Jahiliyah. Mereka semuanya masuk Islam
juga. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyuruhnya agar memilih empat dari
mereka.
B.
Makna
Mufradhad
أَسْلَمَ: Masuk Islam
نِسْوَةٍ: Istri
يَتَخَيَّرَ: Memilih
C.
Biografi
Perawi
Sanad dari hadits diatas adalah sebagai
berikut:
|
Rasulullah SAW
|
|||||
|
Sahabat
|
Abdullah ibnu Umar bun Nofail
|
Wafat 73 H
|
|||
|
Tabiin Generasi Pertengahan
|
Salim bin Abdulloh
|
Wafat 106 H
|
|||
|
Tabiin Generasi Tengah
Bawah
|
Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah
|
Wafat 124 H
|
|||
|
Tabiit Tabiin Senior
|
Ma’mar bin Rasyid
|
Wafat 154 H
|
|||
|
Tabiit Tabiin
|
Said bin Abi Uraibah
|
Wafat 156 H
|
|||
|
Tabiit Tabiin Kader Pertengahan
|
Abdah
|
Wafat 187 H
|
|||
|
Tabiit Tabiit Tabiin Senior
|
Hannad bin Assari bin Mu’ab
|
Wafat 243 H
|
1.
Abdullah ibnu
Umar bun Nofail
Beliau adalah
orang yang masuk Islam bersama dengan bapaknya ketika masih kecil dan belum
baligh, beliau juga hijrah dengan
bapaknya. Beliau menyaksikan event event penting yang terjadi pada zaman
Rasulullah seperti perang uhud dan khandaq. Beliau adalah saudara kandung dari
Hafshah istri Rasul dan Ibunya bersama Zainab binti Madzu’un.[2]
Beliau adalah perawi yang thiqah yang besar di kota Madinah dan Wafat di tahun
73 Hijriah. Beliau berguru pada Bilal bin Rabbah, Hafshah binti Umar, Zaid bin
Tsabit dan Aishah binti Abu Bakrin dan beliau memiliki murid sebagai berikut :
Abul Fadhl, Anas bin Sirin, Bilal bin Abdullah binti Umar dan Salim bin
Abdulloh bin Umar.[3]
2.
Salim bin
Abdulloh
Salim bin Abdulloh bernama lengkap Salim bin
Abdulloh bin Umar bin Khatab dan ibunya bernama Ummu Salim, beliau biasa dipanggil
dengan sebutan Abu Ubaidillah. Ia berguru pada Hafshah binti Umar, Zaid bin
Tsabit, Aisyah, Abdullah bin Umar bin Khatab dan Abu Hurairah. Sedangkan
santrinya adalah Salim bin Abi Umaiyah, Sulaiman bin Mihran, Abdullah bin Abi
Bakar bin Muhammad dan Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdullah.[4]
Menurut Ibn Sa’id beliau adalah perawi yang thiqah.[5]
3.
Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah
bin Abdullah
Nama panjang beliau adalah Muhammad bin Muslim
bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab bin Abdullah bin Harits bin Zuhrah bin
Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib al Quraisyi dan ibunya bernama
Aisyah binti Abdullah Akbar bin Syihab.[6]
Beliau adalah perawi yang thiqah yang lahir di Madinah dan Wafat pada
tahun 124 Hijriah. Beliau berguru pada Abu Ubaidah bin Abdullah, Asma’ binti
Abu Bakri dan Salim bin Abdullah bin Umar, santri beliau diantaranya adalah
Isma’il bin Muslim, Asy’af bin Syiwar, Hajaj bin Artha dan Ma’mar bin Rasyid.[7]
4.
Ma’mar bin
Rasyid
Ma’mar bin Rasyid adalah saudara dari Muhallib
bin abi Sufrah dari Ibunya, beliau tinggal di Yaman dan menyaksikan jenazah
Hasan Al Basri.[8]
Beliau adalah perawi yang thiqah yang Guru-gurunya diantaranya adalah
Ishaq bin Rasyid, Basar bin Harb, Samak bin al Fadhl dan Muhammad bin Muslim.
Dan murid-muridnya diantaranya adalah Isma’il bin Ibraim bin Muqsham, Rabbah
bin Zaid dan Said bin Abi Arubah.[9]
5.
Said bin Abi Uraibah
6.
Abdah
Dikatakan nama asli beliau adalah Abdur Rahman
sedangkan Abdah adalah julukannya.[10]
Beliau adalah perawi yang thiqah yang bernama lengkap Abdah bin
Sulaiman. Beliau lahir dan wafat di Kuffah, wafat pada tahun 187 Hijriah. Guru
beliau diantaranya adalah Ismail bin Abi Khalid, Hajjaj bin Dinar dan Said bin
Abi Arubah. Santri beliau diantaranya adalah Abdullah bin Said bin Hasyim,
Ustman bin Muhammad dan Hannad bin As Sari bin Mus’ab.[11]
7.
Hannad bin Assari bin Mus’ab
Nama panjang beliau adalah Hannad bin Assari
bin Mus’ab bin Abi Bakr bin Syabr bin Sho’fuq bin Amr bin Zurarah bin Adas bin
Zaid ibnu Abdulloh bin Darim Attamimi Addarimi.[12]
Beliau adalah perawi yang thiqah yang lahir di Kuffah dan wafat pada
tahun 243 Hijriah. Guru beliau diantaranya adalah Abu Bakrin bin Iyas, Hatim
bin Ismail dan Abdah bin Sulaiman. Santri beliau diantaranya adalah Imam
Muslim, At Turmudzi, An Nasa’i, Abi Dawud, Ibnu Majah dan Imam Ahmad.[13]
D.
Kajian Sanad
Berdasarkan bigrafi para perawi hadits sebagimana yang telah
disebutkan sebelumnya, dapat diketahui bahwa para perawi adalah perawi hadits
yang tsiqah. Sehingga, hadits tentang ta’addud az-zaujat atau
poligami diatas merupakan hadits yang shahih. Demikian dikarenakan
hadits tersebut diriwayatkan oleh periwayat-periwayat yang tsiqah dan
sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW tanpa terputus.
E.
Sababul Wurud
Hadits tersebut di atas, membicarakan
tentang Ghailan Ats-Tsaqafi yang mana sebelum masuk Islam mempunyai sepuluh
orang istri. Ketika ia masuk Islam ke sepuluh orang istrinya itu turut masuk
Islam bersamanya. Oleh karena dalam Islam seorang laki-laki tidak boleh
beristri lebih dari empat, maka Nabi menyampaikan hadits di atas. Yakni,
menyuruh atau memerintah mempertahankan empat diantara mereka dan menceraikan
yang lainnya.
Hadits senada dengan riwayat di atas adalah
sebagaimana juga diriwayatkan oleh Ibn Majah, yaitu :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَكِيمٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ ابْنِ
عُمَرَ قَالَ أَسْلَمَ غَيْلَانُ بْنُ سَلَمَةَ وَتَحْتَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ
فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذْ
مِنْهُنَّ أَرْبَعًا[14]
Telah bercerita kepada kami Yahya bin Hakim; telah
bercerita kepada kami Muhammad bin Ja’far; telah bercerita kepada kami Ma’mar;
dari Az-Zuhri; dari Salim; dari ibnu Umar; berkata : Ghailan bin Salamah masuk
Islam, sedangkan padanya ada sepuluh orang istri, maka Nabi SAW bersabda
padanya ; “silahkan ambil (pertahankan) empat diantara mereka”. (HR. Ibnu Majah)
F.
Penjelasan dan
Kandungan Hadits
1.
Penjelasan
Hadits
Hadits diatas
menunjukkan larangan bagi seorang pria muslim untuk menikahi wanita lebih dari
empat orang. Dan jika ada seorang non muslim yang memeluk agama islam dalam keadaan
memiliki istri lebih dari empat orang maka orang tersebut diharuskan untuk
memilih empat orang saja diantara mereka yang akan menjadi istrinya dan
menceraikan yang tidak terpilih. Adapun ketentuan ini telah disetujui oleh
jumhur ulama’.[15]
Hadis yang diceritakan oleh Salim yang didapatkan oleh bapaknya yakni
Abdullah ibnu Umar ini bercerita tentang sahabat Ghailan bin Salamah yang
termasuk orang kafir yang masuk Islam setelah penakhlukan tanah Thaif yang pada
masa kekhalifahan Umar. Selama dia kafir dia telah menikah dengan sepuluh orang
wanita sedangkan syari’at islam hanya membeolehkan beristri paling banyak empat
orang wanita., mka ketika Ghailan masuk Islam bersamaan dengan istri-istrinya
Rasulullah menyuruhnya untuk memilih empat dari keseluruhan wanita yang
dijadikan istri dan menceraikan sisanya. Bebas memilih yang awal atau yang
akhir, yang terpenting adalah memilih empat istri dan menceraikan sisanya.[16]
Abu Dawud meriwayatkan bahwa pilihlah empat saja dari istri-istrimu dan
ceraikalah sisanya dengan metode bebas, tidak dilihat dari urutan menikahnya.[17]
Menurut
pendapat Imam Dhohiri, beliau berpendapat bahwa boleh atau halal bagi seorang
pria untuk menikahi sampai dengan sembilan wanita. Adapun dasarnya adalah
Firman Allah SWT:
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ
ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.”( QS. An Nisa’ Ayat 3 ).[18]
Pada redaksi
ayat مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ huruf wawu ( و ) yang
menyambungkan antara angka-angka tersebut bermakna tambah bukan untuk memilih.
Jadi beliau memaknai ayat tersebut dengan artian dua ditambah tiga ditambah
empat yang hasilnya adalah sembilan.[19]
Berbeda lagi
dengan pendapat dari Ali bin Hasan as. Yang berpendapat bahwa ayat diatas
bermakna pilihan yaitu مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
yang bermaksud untuk memilih berapa jumlah wanita yang mampu untuk dinikahi,
boleh itu dua atau tiga atau empat.
Allah
memperbolehkan bagi seorang pria untuk menikah dengan hanya seorang wanita saja
tetapi jika dia berkeinginan dan mampu maka boleh beristri tiga maupun empat
dan tidak boleh lebih dari bilangan yang telah ditentukan maksimalnya yaitu
empat. Dan itu dikarenakan berat atau sulitnya untuk berperilaku adil dan
setara kepada wanita yang lebih dari empat, maka ditentukanlah batasan untuk
persoalan ini. Sebagaimana dalam dalil yang berbunyi :
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat”.
Huruf wawu pada teks diatas bermakna auw yang artinya adalah
atau. Jadi yang dimaksud pada ayat diatas adalah untuk memilih antara dua atau
tiga atau empat dan tidak diperbolehkan untuk menikahi lebih dari empat wanita.
Dan jika ditakutkan untuk tidak dapat berbuat adil diantara beberapa isterinya
maka cukup baginya untuk menikahi satu wanita saja seperti yang disebutkan pada
penggalan ayat selanjutnya :
فَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja”.
Dan diperbolehkan untuk menikahi lebih dari satu wanita jika yang
bersangkutan berjanji dan yakin bahwasanya dia akan berperilaku adil terhadap
wanita-wanita yang akan menjadi istrinya. Adil di sini adalah adil dalam artian
adil pembagian hartanya, adil dalam pemberian nafkah, adil dalam pemberian
tempat tinggal, adil dalam menemui istri-istrinya dan adil dalam segala macam
yang terlihat oleh mata. Sedangkan untuk masalah hati memang tidak bisa
terpungkiri untuk sulit dalam berprerilaku adil. Terkecuali untuk Nabi Muhammad
SAW. Allah menghalalkan bagi beliau untuk beristri lebih dari empat bahkan
sampai dengan sembilan orang istri. Hal ini merupakan kekhususan yang diberikan
oleh Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam perkara ini :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ
اللاتِي آتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ
عَلَيْكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ
خَالاتِكَ اللاتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ
نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً
لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي
أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ لِكَيْلا يَكُونَ عَلَيْكَ حَرَجٌ
وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi,
sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu
berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang
kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian
pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan
dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki
ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah
bersama kamu dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau
Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang
mu’min. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka
tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi
kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” ( QS.
Al Ahzab Ayat 50 ).[20]
Maka
kesimpulannya adalah Allah SWT memperbolehkan seorang laki-laki untuk menikahi
empat orang wanita atau kurang dengan adil sebagai persyaratannya. Karena
terkadang tidak cukup bagi seorang pria dengan istri satu, karena bisasaja
istrinya sedang sakit, perjalanan jauh, haid, nifas dan lain sebagainya maka
boleh baginya untuk beristri dua. Dan jika dua tidak cukup maka diperbolehkan
beristri tiga dan seterusnya.
2.
Kandungan
Hukum Hadits
a.
Pandangan
ulama tentang poligami
Para ulama
berbeda pendapat mengenai ketentuan tentang poligami. Meskipun dasar hukum
mereka adalah sama, tetapi tidak menutup kemungkinan terjadinya perbedaan
pendapat. Dasar hukum yang dijadikan pijakan mereka dalam berpendapat adalah
sama, yakni QS. An Nisa’ Ayat 3 seperti yang telah disebutkan diatas. Menurut
jumhur ulama’, ayat tersebut diatas turun setelah Perang Uhud selesai, ketika
banyak pejuang muslim yang gugur menjadi syuhada’. Akibatnya, banyak
anak yatim dan janda yang ditinggal mati oleh ayah atau suaminya. Yang berakibat
pula terabaikannya kehidupan mereka. Sehingga dalam kondisi seperti inilah yang
melatarbelakangi disyariatkannya poligami dalam islam.
Ibnu Jarir
Ath-Thabari sengat setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat
diatas merupakan kekhawatiran tidak mampunya seorang wali berbuat adil terhadap
harta anak yatim. Maka jika sudah khawatir dengan anak yatim, sudah patut juga
mengkhawatirkan perempuan juga. Maka janganlah menikahi mereka kecuali dengan
perempuan yang kalian yakin bisa berbuat adil, satu hingga empat orang. Maka
sebaliknya, jika terdapat kekhawatiran tidak sanggup berbuat adil ketika
melakukan poligami, maka cukup menikahi seorang istri saja.[21]
Ibnu Qosim
Al-Ghozi, dalam kitabnya Fath al-Qarib mengatakan bahwa diperbolehkan
bagi seorang laki-laki yang merdeka (bukan budak) untuk menikahi wanita-wanita
sampai empat orang wanita merdeka. Sedangkan untuk laki-laki yang budak, hanya
diperbolehkan untuk menikahi wanita-wanita sampai dua orang saja yang juga
merupakan seorang budak.[22]
Sedangkan
menurut jumhur ulama termasuk Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, dan Imam
Hambali sepakat bahwa seorang laki-laki tidak boleh menikahi lebih dari empat
orang wanita dalam suatu masa perkawinan. Jika lelaki tersebut ingin menikah
untuk yang kelima, maka dia harus menceraikan salah satu dari empat orang
istrinya yang lama dan menunggu hingga masa iddah istri yang
diceraikannya telah habis. Barulah kemudian dia dapat menikah lagi. Ketentuan
ini didasarkan pada QS. An Nisa’ Ayat 3.[23]
Hal ini juga
didasarkan karena ketika seorang perempuan sedang dalam masa iddah, mantan
suami masih tetap memiliki tanggung jawab terhadap mantan istrinya tersebut dan
masih punya kesempatan untuk kembali rujuk. Sehingga suami harus menunggu masa iddah
mantan istrinya selesai dulu baru dia dapat menikah lagi. Dikarenakan masih
ada kemungkinan bagi si mantan suami itu berubah fikiran. Dalam hal ini, iddah
disini dimaksudkan agar baik suami ataupun istri bisa merenungkan baik buruknya
sebelum mengambil keputusan untuk berpisah selamanya. Begitu pula berlaku di
dalam lingkungan masyarakat, jika seseorang yang habis bercerai langsung
mengadakan pernikahan lagi hanya kan membuat kesan buruk.
Sehingga dapat
diambil kesimpulan bahwa menurut jumhur ulama seorang laki-laki diperbolehkan
untuk mengumpulkan atau menikahi wanita-wanita hanya sampai empat orang saja.
Itupun dengan syarat bahwa dia sang suami yakin bahwa dirinya dapat belaku adil
diantara para istrinya tersebut. Apabila ada keraguan sedikit saja apakah dia
mampu berlaku adil ataukah tidak, maka cukuplah baginya menikahi satu orang
wanita saja.
b.
Syarat /
batasan poligami
Adapun poligami dalam islam
dibatasi oleh syarat-syarat dan batasan tertentu, seperti diantaranya:
1.
Jumlah istri yang boleh dinikahi
paling banyak adalah empat orang wanita. Seandainya salah satu diantara mereka
ada yang meninggal dunia atau diceraikan, suami diperbolehkan untuk mencari
ganti yang lain asalkan jumlahnya tidak melebihi dari empat orang.
2.
Laki-laki yang melakukan poligami
mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya yang menyangkut dengan
masalah-masalah lahiriyah seperti pembagian waktu, pemberian nafkah, dan
kepentingan-kepentingan lain yang menyangkut lahiriyah. Sedangkan untuk masalah
batin, diusahakan agar mampu berlaku seadil-adilnya. Dikarenakan untuk masalah
batin tidak ada yang bisa berlaku benar-benar adil.
3.
Poligami
menurut ketentuan perundang-undangan
a.
Menurut UU
Perkawinan
Sebagaimana
diatur dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa
pernikahan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahadia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Berdasarkan
ketentuan tersebut jelaslah bahwa hukum perkawinan di indonesia menganut asas
monogami. Asas ini lebih ditegaskan lagi pada Pasal 3 ayat (1) yang mengatakan
bahwa pada asalnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang istri dan seorang wanita hanya bleh mempunyai seorang suami. Akan
tetapi UU perkawinan ini memberikan pengecualian, sebagaimana dalam Pasal 3
ayat (2) yang menerangkan bahwa Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami
untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pohak-pihak yang
bersangkutan. Mengenai tata cara melakukan poligami, dijelaskan sebagai berikut:[24]
Pasal 4
(1). Dalam hal seorang suami akan beristeri
lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang
ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat
tinggalnya.
(2). Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini
hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari
seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit
yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1). Untuk dapat mengajukan permohonan kepada
Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini,
harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. adanya persetujuan dari
isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku
adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2). Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1)
huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila
isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya
selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang
perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
b.
Menurut Kompilasi
Hukum Islam
Mengenai tata cara berpoligami,
dalam KHI diatur dalam BAB IX Pasal 55-59 sebagai berikut:[25]
BAB IX
BERISTERI LEBIH SATU ORANG
Pasal 55
1) Beristeri lebih satu orang pada waktu
bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.
2) Syarat utama beristeri lebih dari
seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anaknya.
3) Apabila syarat utama yang disebut pada
ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang.
Pasal 56
1) Suami yang hendak beristeri lebih dari
satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
2) Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada
ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab.VIII
Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975.
3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri
kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai
kekuatan hukum.
Pasal 57
Pengadilan
Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akanberisteri lebih dari
seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban
sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit
yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 58
1) Selain syarat utama yang disebut pada
pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan Agama, harus pula
dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun
1974 yaitu :
a. adanya pesetujuan isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu
menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal
41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau
isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi
sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan
persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.
3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf
a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya
tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat
penilaian Hakim.
Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin
untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang
diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan
tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan
di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami
dapat mengajukan banding atau kasasi.
c.
Menurut PP No
5 Tahun 1975
Mengenai tata cara berpoligami,
dalam undang-undang ini diatur dalam BAB VIII Pasal 40-44 sebagai berikut:[26]
BAB VIII
BERISTERI
LEBIH DARI SEORANG
Pasal 40
Apabila seorang suami bermaksud
untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara
tertulis kepada Pengadilan.
Pasal 41
Pengadilan kemudian memeriksa
mengenai :
a.
Ada atau
tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah :
-
bahwa isteri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
-
bahwa isteri mendapat cacat badan
atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
-
bahwa isteri tidak dapat melahirkan
keturunan.
b.
ada atau
tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis,
apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus
diucapkan didepan sidang pengadilan.
c.
ada atau tidak
adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan
anak-anak, dengan memperlihatkan :
i. surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda-tangani
oleh bendahara tempat bekerja;
ii. atau surat keterangan pajak penghasilan; atau
iii. surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan;
d.
ada atau tidak
adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam
bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Pasal 42
1)
Dalam
melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus
memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan.
2)
Pemeriksaan
Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari setelah diterimanya, surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.
Pasal 43
Apabila
Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih
dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri
lebih dari seorang.
Pasal 44
Pegawai
Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan
beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud
dalam Pasal 43.
PENUTUP
Simpulan
Dari
penjelasan yang ada pada makalah diatas, dapat diambil beberapa kesimpulan
diantaranya :
1.
حَدَّثَنَا
هَنَّادٌ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ عَنْ مَعْمَرٍ
عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ
غَيْلَانَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِيَّ أَسْلَمَ وَلَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فِي
الْجَاهِلِيَّةِ فَأَسْلَمْنَ مَعَهُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَخَيَّرَ أَرْبَعًا مِنْهُنَّ
Artinya:
Telah menceritakan
kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami 'Abdah dari Sa'id bin Abu
'Arubah dari Ma'mar dari Az Zuhri dari Salim bin Abdullah dari Ibnu Umar bahwa
Ghailan bin Salamah Ats Tsaqafi masuk Islam sedang dia saat itu memiliki
sepuluh orang istri dari masa Jahiliyah. Mereka semuanya masuk Islam juga. Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam menyuruhnya agar memilih empat dari mereka.
2.
Istilah poligami berasal dari bahasa inggris
“poligamy”, dan disebut تَعَدُّدُ الزَّوْجَاتِ
dalam hukum Islam, yang berarti beristri
lebih dari seorang wanita. Secara etimologis kata poligami berasal dari bahasa
yunani, yaitu gabungan dari dua kata poli
atau polus yang berarti banyak dan gamein atau gamos yang berarti perkawinan. Dengan demikian poligami berarti
perkawinan yang banyak. Namun dalam Islam, poligami mempunyai arti perkawinan
yang lebih dari satu dengan batasan. Umumnya menurut ulama diperbolehkan hanya
sampai empat wanita saja.
3. Hadits tersebut di atas, membicarakan tentang Ghailan
Ats-Tsaqafi yang mana sebelum masuk Islam mempunyai sepuluh orang istri. Ketika
ia masuk Islam ke sepuluh orang istrinya itu turut masuk Islam bersamanya. Oleh
karena dalam Islam seorang laki-laki tidak boleh beristri lebih dari empat, maka
Nabi menyampaikan hadits di atas. Yakni, menyuruh atau memerintah
mempertahankan empat diantara mereka dan menceraikan yang lainnya.
4.
Hadits diatas menunjukkan larangan
bagi seorang pria muslim untuk menikahi wanita lebih dari empat orang. Dan jika
ada seorang non muslim yang memeluk agama islam dalam keadaan memiliki istri
lebih dari empat orang maka orang tersebut diharuskan untuk memilih empat orang
saja diantara mereka yang akan menjadi istrinya dan menceraikan yang tidak
terpilih. Adapun ketentuan ini telah disetujui oleh jumhur ulama’.
Menurut pendapat Imam Dhohiri,
beliau berpendapat bahwa boleh atau halal bagi seorang pria untuk menikahi
sampai dengan sembilan wanita.
Sedangkan menurut jumhur ulama
termasuk Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, dan Imam Hambali sepakat bahwa
seorang laki-laki tidak boleh menikahi lebih dari empat orang wanita dalam
suatu masa perkawinan.
5.
Sebagaimana diatur dalam ketentuan
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa pernikahan adalah “ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahadia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berdasarkan ketentuan tersebut jelaslah bahwa hukum
perkawinan di indonesia menganut asas monogami. Asas ini lebih ditegaskan lagi
pada Pasal 3 ayat (1) yang mengatakan bahwa pada asalnya dalam suatu perkawinan
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya bleh
mempunyai seorang suami. Akan tetapi UU perkawinan ini memberikan pengecualian,
sebagaimana dalam Pasal 3 ayat (2) yang menerangkan bahwa Pengadilan dapat
memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pohak-pihak yang bersangkutan. Mengenai tata cara melakukan poligami,
dijelaskan sebagai berikut:
[1] Abi Isa Muhammad bin Isa
Attirmidzi, Aljami’ul Kabir (Beirut: Darul Ghorbi Al-Islami, 2006) nomor
1047, hlm 421
[2] Jamaluddin
Abi Al Hajjaj Yusuf Al Mazi, tahdzibut
Kamal Juz 15 (Beirut: Mu’assasah Ar Risalah, 1983), hlm 332
[3] Compact Disk Mausuah Hadist
Syarif
[5] Compact Disk Mausuah Hadist
Syarif
[7] Compact Disk Mausuah Hadist
Syarif
[9] Compact Disk Mausuah Hadist
Syarif
[11] Compact Disk Mausuah Hadist
Syarif
[13] Compact Disk Mausuah Hadist
Syarif
[14] Abu Abdulloh Muhammad bin Yazid
bin Majah Al-Qozwini, Sunan Ibnu Majah, (Mesir: Daru Ihya'il Kutub
Al-Arobiyah, TT), hlm 628.
[15] Shifa’ud Dhawi
Ahmad Al Adawi, Ihda’ud Dibajah bi
Syahril Sunan Ibnu Majah (Darul Yakin), hlm 607
[16] Muhammad
bin Shalih Al Utsaimin, fath Dzil Jalali
Wal Ikhram Juz 4 (Kairo: Al Maktabah Al Islamiah, 2006), hlm 524
[17]
Mansur Ali Nasif, Attaj Aljami’u
lil Ushuli fi Hadits Rasululillah (Beirut: Darul Fikr, 1981), hlm 355
[18] Departemen Agama RI, Al
Qur’an Al Karim dan Terjemahnya, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1995),
hlm 115.
[19] Muhammad bin Ali bin Muhammad
Asy Syaukani, Nailul Author Juz 5, (Kairo: Dar al Hadits, 2005), hlm
536.
[20] Departemen Agama RI, Al
Qur’an Al Karim dan Terjemahnya, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1995),
675-676.
[21] Ibnu Jarir Al-Thabari, Jami’
al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, Jilid IV, 1978), hlm
155.
[24] Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
[25] Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun
1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
[26] Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
No comments:
Post a Comment