Total Pageviews

Thursday, November 28, 2019

MAKALAH HADIS TENTANG NUSYUZ



PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perkawinan sebagai bentuk sakral suami istri dalam hidup suatu rumah tangga yang menciptakan kehidupan yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Selain itu membina sebuah mahligai rumah tangga merupakan perintah agama bagi setiap muslim dan muslimah. Kehidupan rumah tangga suami istri ini mesti memberikan rasa ketenangan dan kasih sayang antar insan yang mengarungi bahtera hidup rumah tangga. Rumah tangga islami, dibangun di atas iman dan taqwa sebagai pondasinya, syariah atau aturan Islam sebagai bangunannya, akhlak dan budi pekerti mulia sebagai hiasannya. Rumah tangga seperti inilah yang akan tetap kokoh dan tidak mudah rapuh dalam menghadapi kehidupannya.
Di sisi lain, seindah apapun kehidupan rumah tangga, namun tidak selalu berjalan mulus dan lancar. Pasti menemukan pertikaian baik itu dimulai dari faktor luar maupun dari dalam rumah tangga itu sendiri. Ini tidak hanya terjadi bagi umat setelah nabi Muhammad saja, tapi di masa nabi dan para Anbiya’ sebelum beliau juga mengalami hal demikian.
Salah satu permasalahan yang menjadi kasus dalam rumah tangga ini di antaranya seperti Nusyuz istri, atau yang dikenal sebagai pelanggaran yang dilakukan oleh pihak istri. Pada hakikat sebenarnya, Nusyuz itu bukanlah tabiat asli perempuan, melainkan sifat yang timbul kemudian. Sehingga dalam ayat dijelaskan bahwa “yang mereka (perempuan) yang kamu takuti akan berbuat nusyuz.” Jika memang itu adalah tabiat perempuan sendiri, tentu Allah akan menguraikannya seperti “mereka yang berbuat nusyuz.”
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah Hadits tentang Nusyuz?
2.      Bagaimana kualitas hadits tentang nusyuz?
3.      Bagaimanakah penjelasan isi dari Hadits Tersebut?
4.      Bagaimanakah Kandungan dari Hadits tersebut?
5.      Bagaimanakah undang-undang mengatur tentang Nusyuz?




PEMBAHASAN

A.    Hadits Nusyuz
حَدَّثَنَا مُحَمّدُ بنُ بَشَارٍ حَدَّثَنَا ابنُ اَبِي عَدِىٍّ عَنَ شُعْبَةٍ عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الّلهُ عَنْهُ عَنِ الَّنِيٍّ صَلَى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اِذَا دَعَى الرَّجُلُ اِمْرَأَتَهُ أِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِئَ لَعَنَتْهَا المَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
Muhammad bin Basyar menceritakan kepada kami, bahwasanya Ibnu Abi ‘Ady menceritakan kepada kami, dari Syu’bah, dari Sulaiman, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah R.A., bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “ketika suami mengundang istrinya untuk diajak ke ranjang (bersetubuh), sedangkan istrinya menolak ajakan tersebut, maka para malaikat akan melaknatnya hingga waktu subuh.[1]

B.     Mufrodat
 دَعَى الى : mengundang, menghendaki
فراش  : tempat tidur, tilam
 ابت : menolak, tidak mau, enggan
لعن : mengutuk, melaknat
تصبح : masuk waktu pagi

C.    
رسول الله محمد صلى الله عليه وسلم
Biografi Perawi

W. 57
W. 102  H

W. 160  H

W. 213  H

محمد بن بشار

كبار تبع الأتباع

W. 252  H

سليمان

الصغرى من التابعين

شعبه

كبارالأتباع

ابن ابي عدى

الصغرى من الأتباع


W. 146  H

ابو هريرة
اصحابه
ابو حازم

الوسطى

 


















1.      Muhammad bin Basyar
Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Basyar bin Utsman bin Daud bin Kaisan Al’Abdy, beliau mempunyai nama lain, yakni Abu Bakar Al-Bashry Bundar. Istilah Bundar bermakna Al-Hafidz (Penghafal), dalam artian beliau banyak menghafal dan mengumpulkan hadits dinegaranya.[2] Beliau termasuk golongan senior dari tabi’ at-Tabi’in, lahir di Bashrah. Diantara guru-guru beliau adalah Ibrahim bin Umar bin Mathraf, Azhar bin Sa’d, Ishaq bin Yusuf bin Murdas, Al Mughirah bin Salmah, Umayyah bin Kholid bin al-Aswad dan Muhammad bin Ibrahim bin Abi ‘Ady. Diantara murid-murid beliau adalah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim dan Yusuf bin Ya’qub.
Dalam kitabnya al-Jahr wa at-Ta’dil, Syaikh Abi Muhammad Abu Abdurrahman mengatakan bahwa ayah beliau bertanya mengenai Muhammad bin Basyar kepada Abdurrahman, beliau mengatakan bahwa Muhammad bin Basyar adalah Shoduuq.[3] Muhammad bin Basyar wafat pada bulan Rajab tahun 252 H.[4]
2.      Ibnu Abi ‘Ady
Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Ibrahim bin Abi ‘Ady As-Sulamy. Juga dijuluki dengan Al-Qasmaly, karena beliau dilahirkan di Al- Qasamalah. Beliau lebih terkenal dengan sebutan Muhammad bin Abi ‘Ady.[5] Beliau termasuk dari golongan tabi’ at-Tabiin junior, dari keturunan As-Sulamy. Dilahirkan di Basrah. Diantara guru-guru beliau adalah Ismail bin Muslim, Ja’far bin Al-Hajjaj bin al-Warad. Adapun diantara murid-muridnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad, Bakr bin Khalaf, Ziyad bin Yahya, dan Muhammad bin Basyar bin Utsman. Muhammad bin Sa’id mengatakan bahwa Muhammad bin Abi ‘Addiy adalah perawi yang tsiqoh. Beliau wafat pada tahun 213 H.[6]
3.      Syu’bah
Ia adalah Al Imam, Al Hafizh Amir Al Mu’min Fi Al Hadits, Abu Bistham Syu’bah bin Al Hajjaj bin Al Ward Al Azadi Al Ataki Al Wasithi. Ia adalah seorang ulama dan Syaikh penduduk Basrah.
            Satu pendapat mengatakan, ia lahir pada tahun 80 H. Pada saat pemerintahan dipegang oleh Abdul Malik bin Marwan, banyak ulama besar meriwayatkan hadits darinya, dan hadits-hadits riwayatnya menyebarluas diberbagai pelosok negeri.
Syu’bah wafat pada tahun 160 H di kota Basrah.[7]
4.      Sulaiman
Nama lengkapnya adalah Sulaiman bin Mihran Al Asady Al Kahily. Dikatakan dalam sebuah riwayat bahwasannya beliau dari Thabaristan, ada juga yang mengatakan berasal dari daerah Dumbawand. Saat besar, beliau dibawa oleh ayahnya untuk tinggal di Kufah.[8] Beliau termasuk tabiin junior dari keturunan Al Asady Al Kahily. Diantara guru-guru beliau adalah Ibrahim bin Yazid bin Syuraik, Ishaq bin Mirar, Ismail bin Abi Khalid, Salman Maula Izzah (Abu Hazim). Adapun diantara murid-murid beliau adalah Aban bin Tuhlab, Ibrahim bin Sulaiman bin Razin, Abu Bakar bin Iyas bin Salim, Humaid bin Abdur Rahman dan Syu’bah bin al-Hajjaj.
Menurut Ahmad bin Abdullah al-Ajiliy beliau merupakan perawi hadits yang terjaga ketsiqohannya. Sulaiman al-A’masy wafat pada bulan Rabi’ul Awal tahun 146 H pada usia 88 tahun.[9]
5.      Abi Hazm
Nama lengkapnya adalah Salman Abu Hazim Al Asyja’iy. Beliau banyak mendapatkan Hadits dari Hasan bin Ali bin Abi Thalib, Husain bin Ali bin Abi Thalib, Sa’d bin Ash, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Umar bin Khattab, Arfajah Al Asyja’iy dan Abu Hurairah, sekaligus dia berguru padanya selama lima tahun.[10] Beliau termasuk generasi pertengahan tabi’in dari jalur keturunan Al Asyja’iy, dilahirkan di Kuffah. Diantara guru-guru beliau adalah Abdurrahman bin Shakhr, Sa’id bi Mutsayyab. Adapun diantara murid-muridnya adalah Basyir bin Salman, Daud bin Abi ‘Auf, Salim bin Abi Hafshah, Sa’ad bin Thariq bin Atsim, dan Sulaiman bin Mihran.
Menurut Ahmad, Ibnu Mu’ayyan dan Abu Dawud, Abu Hazim merupakan perawi hadits yang tsiqoh. Beliau wafat pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (99-102H).[11]
6.      Abu Hurairah
Ada banyak pendapat mengenai nama aslinya, dan yang paling kuat adalah Abdurrahman bin Shakhar. Beliau dilahirkan di Madinah. Gelarnya yang paling dikenal adalah Abu Hurairah (anak kucing). Abu Hurairah pernah berkata, “Aku dijuluki dengan sebutan Abu Hurairah karena ketika aku menemukan seekor anak kucing, aku memasukkanya ke dalam sakuku”. Dia seorang imam yang faqih, mujtahid, Al Hafizh, sahabat Rasulullah SAW, dan sayyidul huffazh yang telah mendapat pengakuan. Abu Hurairah telah banyak menimba ilmu yang baik dan berbarakah dari Nabi SAW, sehingga tidak ada orang yang dapat menyamai keluasan ilmunya. Al Bukhari mengatakan bahwa dia telah meriwayatkan kurang lebih 800 hadits dari Abu Hurairah. Imam yang lain berkata, “Abu Hurairah datang ke madinah lalu masuk Islam pada awal tahun 7 Hijriyah, yaitu ketika perang Khaibar.”[12]
Menurut imam Syafi’I Abu Hurairah adalah perawi hadits yang paling banyak melestarikan hadits di dunia. Beliau wafat pada tahun 58 H.[13]
Dengan demikian, dilihat dari semua perawi yang meriwayatkan hadits nusyuz termasuk orang-orang yang thiqah dan sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. sehingga hadits tentang nusyuz ini termasuk hadits yang shahih.


D.    Penjelasan dan Kandungan Hukum Hadits
1.      Penjelasan Hadits
Nusyuz adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti ارتفاع yang berarti meninggi atau terangkat. Kalau dikatakan istri Nusyuz terhadap suaminya berarti istri merasa dirinya sudah lebih tinggi kedudukannya dari suaminya, sehingga ia tidak lagi merasa berkewajiban mematuhinya.[14]

اِذَادَعَى الرَّجُلُ امْرَئَتَهُ اِلَى فِرَا شِهِ
Ibnu Abi Hamzah berkata bahwa pada lafadz فراش  itu merupakan sebuah kinayah dari lafadz جماع (bersetubuh). Hal tersebut dikuatkan dengan sabda nabi الولد للفراش  yang artinya anak itu milik dari seorang yang telah berhubungan di ranjang. Beliau juga menegaskan bahwa hadits diatas secara tersurat adalah mengkhususkan penolakan dari si istri untuk melayani suami di malam hari saja, indikasinya adalah karena ada lafadz حتى تصبح yang artinya samai pagi hari. Namun, bukan berarti saat dipagi hari si istri dapat menolak ajakan suaminya, karena secara tersirat, maksud dari pengkhususan di malam hari itu untuk menguatkan bahwasannya keinginan dari sami untuk menyetubuhi istrinya itu biasanya di malam hari.[15] Sehingga, berlaku mutlak bagi si istri, bahwa tidak boleh menolak ajakan suaminya untk bersetubuh, baik disiang hari maupun malam hari, karena tidak disebutkan disana suatu pengkhususan, yakni malam hari sajaatau siang hari saja.[16]
فَأَبَتْ أَنْتَجِئَ
Abu Iwanah menambahkan sebuah riwayat dari A’masy berbunyi فبات غضبان عليها yang artinya “maka si suami tertidur dalam keadaan marah” setelah lafadz فأبت ان تجئ. Konsekuensinya dengan tambahan lafadz tersebut, maka sebuah pelaknatan dari malaikat itu telah jelas, karena seketika itu kemaksiatan si istri telah nyata.[17]
لَعَنَتْهَا المَلاَئِكَةُ حَتَّى تٌصبِحَ
Adapun yang dimaksud لَعَنَتْهَا المَلاَئِكَةُ itu bukan berarti secara langsung malaikat akan melaknat istri, melainkan malaikat akan berdoa kepada Allah yang bunyinya “ya Allah, laknatlah wanita tersebut”.[18] Sedangkan yang dimaksud dengan حَتَّى تٌصبِحَ adalah sampai dating waktu pagi, yang ditandai dengan terbitnya fajar shodiq.[19]
Hadits ini menjelaskan bahwa wajib bagi seorang istri untuk memenuhi ajakan suami melakukan hubungan suami istri. Sabda Nabi, "ke tempat tidur” bentuk kiasan dari hubungan suami istri, sebagai sabda Nabi, ”Anak (nasab) itu milik tempat tidur” yaitu orang yang melakukan jima’ di atas kasur. Dalil yang menunjukkan wajibnya perempuan melayani suaminya adalah laknat malaikat kepada wanita tersebut, karena malaikat tidak akan melaknat sesuatu kecuali hal-hal berkaitan dengan perintah Allah, dan tidak ada hukuman (siksaan) karena kecuali melalaikan hal yang diwajibkan.[20]
Sabda Nabi, “sampai pagi” merupakan dalil yang mewajibkan bagi perempuan untuk memenuhi panggilan suaminya (untuk melakukan hubungan seks) di waktu malam, karena kebiasaannya di waktu malam, bila tidak demikian tentu diwajibkan memenuhi panggilan di siang hari.
Dalam sabdanya, “malaikat melaknatnya” dalil yang menyataka menolak ajakan (hak) dari orang yang mempunyai hak terhadap dirinya ketika ia meminta, maka orang tersebut mendapatkan kemarahan Allah, baik hak itu berkaitan dengan dirinya atau hartanya.[21]
Ketika suami mengajak istrinya ke ranjang untuk berhubungan badan, maka sang istri enggan datang, artinya menolak untuk datang. Karena hal tersebut maka suaminya menjadi marah kepada istri sepanjang malam. Maka sia sang istri akan dilaknat oleh malaikat hingga pagi hari. Merupakan laknat yang dikhususkan dengan apa yang terjadi pada malam hari karena sabda nabi hingga pagi.[22]
            Jadi, secara umum, hadits diatas merupakan berita tentang kewajiban bagi seorang istri untuk memenuhi ajakan suami untuk bersetubuh, baik itu disiang hari maupun dimalam hari. Dalil kewajibannya adalah karena ada pelaknatan dari malaikat kepada istri, sebagaimana diketahui bahwa sanya malaikat tidak akan melaknat tanpa perintah dari Allah, dan perintah Allah itu pasi disertai dengan siksa, dan siksa itu sendiri tidak akan dijatuhkan sebelum seorang itu meninggalkan kewajiban.[23] Selain itu hadits di atas merupakan salah satu bentuk pembangkangan istri terhadap suami, dimana hal tersebut dinamakan Nusyuz. Dalam kaitannya dengan Nusyuz, dimana Nusyuz itu sendiri adalah ketidak patuhan seorang suami atau istri terhadap kewajiban yang harus dijalankan olehnya dalam memenuhi hak pasangannya,[24] maka hadits diatas yang intinya mewajibkan istri memenuhi penggilan suaminya untuk bersetubuh, jika hal tersebut dilanggar maka terjadilah Nusyuz. Dalam hal ini, nushusnya si istri. Begitu pula jika suami yang melanggar kewajibannya. Maka terjadilah nushus suami.
            Namun, sudah pasti ada pengecualian bagi si istri dalam memenuhi kewajibannya tersebut, yakni boleh baginya menolak ajakan suami untuk bersetubuh dalam dua hal.
Pertama, saat persetubuhan tersebut membahayakan istri, misalnya istri sedang hamil. Kedua, saat persetubuhan tersebut bersinggungan dengan sesuatu yang sifatnya wajib, misalnya saat akan berhubungan badan, selisih empat menit lagi matahari akan terbit, sedangkan ia belum menunaikan sholat subuh, maka tidak wajib bagi si istri untuk memenuhi ajakan suaminya.
Nushus suami mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah karena meninggalkan kewajiban terhadap istrinya.
Nushus suami terjadi bila ia tidak melaksanakan kewajibannya terhadap istrinya, baik meninggalkan kewajiban yang bersifat materi atau nafaqah atau meninggalkan kewajiban yang bersifat nonmateri di antaranya mu’asyarah bi al-ma’ruf atau menggauli istrinya dengan baik. Yang terakhir ini mengandung arti yang luas, yaitu segala sesuatu yang dapat disebut menggauli istrinya dengan cara buruk, seperti berlaku kasar, menyakiti fisik dan mental istri, tidak melakukan hubungan badaniyah dalam waktu tertentu dan tindakan lain yang bertentangan dengan asas peergaulan baik. Adapun tindakan istri bila menemukan pada suaminya sifat nusyus,[25] dijelaskan Allah dalam Q.S An-Nisa: 128
ÈbÎ)ur îor&zöD$# ôMsù%s{ .`ÏB $ygÎ=÷èt/ #·qà±çR ÷rr& $ZÊ#{ôãÎ) Ÿxsù yy$oYã_ !$yJÍköŽn=tæ br& $ysÎ=óÁム$yJæhuZ÷t/ $[sù=ß¹ 4 ßxù=Á9$#ur ׎öyz 3 ÏNuŽÅØômé&ur Ú[àÿRF{$# £x±9$# 4 bÎ)ur (#qãZÅ¡ósè? (#qà)­Gs?ur  cÎ*sù ©!$# šc%x. $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? #ZŽÎ6yz ÇÊËÑÈ
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

2.      Kandungan Hukum Hadits
Secara etimologi Nusyuz berasal dari kata “Nashaza-Yanshizu” yang berarti tinggi, adapun Nusyuz berarti ketinggian. Seorang perempuan yang meremehkan suaminya disebut Nashizan, karena pada saat itu yang bersangkutan membenci dan meninggikan suaminya dan tidak mau menaatinya. Sedangkan secara istilah Nusyuz ialah suatu kondisi yang tidak menyenangkan yang timbul dari istri atau suami, sekalipun kuantitasnya lebih sering ditimbulkan dari pihak istri.[26]
Adapun tanda-tanda Nusyuz istri adakalanya dalam bentuk perbuatan, misalnya membangkan terhadap suami, tidak segera mendatangi ajakan suami, yang biasanya datang dengan lembut dan manis, tetapi kemudian berubah menolaknya dan memalingkan muka terhadap suami, keluar dari rumah tanpa seizin suami dan tidak ada udzur. Sedangkan nushus dalam bentu ucapan, misalnya menjawab suami dengan perkataan yang kasar padahal biasanya berkata dengan halus.[27]
Jika istri mulai terlihat tanda-tanda nushus, maka ada tahapan-tahapan yang bisa dilakukan suami untuk meredahkan nushus istri, sebagaimana terdapat dalam Q.S An-Nisa: 34 yakni dengan penjelasan sebagai berikut:
a.       Dengan menasehatinya, yakni menasehati dengan bijaksana serta menggunakan kata-kata yang halus dan tidak menyinggung istri, ditanyakan apa sebabnya demikian, atau diingatkan agar bertakwa kepada Allah.
b.      Berpisah tempat tidur, jika suami telah menasehati tetapi istri masih tetap pada sikap nushusnya maka suami memisahkan diri dari tempat tidu istri, tidak menyetubuhinya, tidak tidur didekatnya, maupun tidak mengajaknya bicaranya.
c.       Jika kedua hal diatas belum bisa merubah sikap istri maka suami bisa memukulnya,[28] akan tetapi dengan pukulan ringan yang tidak sampai menyakiti, dan tidak mengarah pada wajahnya sebagai pelajaran atas istri.
E.     Ketentuan Undang-Undang yang Berlaku
dalam undang-undang keterangan tentang Nushus diatur dalam KHI pasal 84 yakni sebagai berikut:
1)      Istri dapat dianggap nushus jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat 1 kecuali dengan alasan yang sah.
2)      Selama istri dalam nushus , kewajian suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat 4 huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
3)      Kewajiban suami tersebut pada ayat 2 di atas berlaku kembali sesudah istri Nusyuz.
4)      Ketentuan tentang ada atau tidak adanya Nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah.
Didalam KHI ini tidak dikenal adanya Nusyuz yang dilakukan suami. Padahal Islam jelas menegaskan Nusyuz bisa dilakukan suami maupun istri.



PENUTUP

A.    Simpulan
Hadits tentang Nusyuz yaitu
حَدَّثَنَا مُحَمّدُ بنُ بَشَارٍ حَدَّثَنَا ابنُ اَبِي عَدِىٍّ عَنَ شُعْبَةٍ عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الّلهُ عَنْهُ عَنِ الَّنِيٍّ صَلَى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اِذَا دَعَى الرَّجُلُ اِمْرَأَتَهُ أِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِئَ لَعَنَتْهَا المَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
Hadits tersebut dikategorikan hadits sahih karena semua para perawinya thiqah dan sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah SAW.
Hadits diatas merupakan berita tentang kewajiban bagi seorang istri untuk memenuhi ajakan suami untuk bersetubuh, baik itu di siang hari maupun malam hari. Selain itu merupakan salah satu bentuk pembangkangan istri terhadap suami, dimana hal tersebut dinamakan dengan nusyuz. Maka hadits diatas intinya mewajibkan istri memenuhi panggilan suaminya untuk bersetubuh, jika hal tersebut dilanggar, maka terjadilah nusyuz.
Nusyuz adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti ارتفاع yang berarti meninggi atau terangkat. hadits diatas merupakan berita tentang kewajiban bagi seorang istri untuk memenuhi ajakan suami untuk bersetubuh, baik itu disiang hari maupun dimalam hari. Dalil kewajibannya adalah karena ada pelaknatan dari malaikat kepada istri, sebagaimana diketahui bahwa sanya malaikat tidak akan melaknat tanpa perintah dari Allah, dan perintah Allah itu pasi disertai dengan siksa, dan siksa itu sendiri tidak akan dijatuhkan sebelum seorang itu meninggalkan kewajiban. Selain itu hadits di atas merupakan salah satu bentuk pembangkangan istri terhadap suami, dimana hal tersebut dinamakan Nusyuz.
Jika istri mulai terlihat tanda-tanda nushus, maka ada tahapan-tahapan yang bisa dilakukan suami untuk meredahkan nushus istri, sebagaimana terdapat dalam Q.S An-Nisa: 34 yakni, pertama dengan menasehatinya, kedua berpisah tempat tidur, ketiga dengan pukulan ringan yang tidak sampai menyakiti.
Dalam KHI pasal tentang Nusyuz diatur dalam pasal 83 ayat 1, pasal 80 ayat 4 huruf a dan b.


[1] Shahih Bukhari, (Bairut: 1971), hlm. 461
[2] Jamaluddin Abi Al Hajjaj Yusuf Al Mizy, Tahdzib al-Kamal Fi Asma’ ar-Rijal, Juz XXIV, (Beirut: Ar-Risalah, 1992), hlm. 511
[3] Syaikh Abi Muhammad Abu Abdurrahman, al-Jarh wat-Ta’dil Juz 7. (Beirut: Darul Fikr, 1952), hlm. 214
[4] Syeikh Jamaluddin Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizziy, Tahdzibul Kamal Juz 24, (Beirut: Darul Fikr, 1994), hlm. 518
[5] Jamaluddin Abi Al Hajjaj Yusuf Al Mizy, Tahdzib al-Kamal Fi Asma’ ar-Rijal, Juz XXIV, (Beirut: Ar-Risalah, 1992), hlm. 322
[6]Jamaluddin Abi Al Hajjaj Yusuf Al Mizy, Tahdzib al-Kamal Fi Asma’ ar-Rijal, Juz 16, (Beirut: Ar-Risalah, 1992), hlm. 19-21
[7] Adz-Dzahabi, bin Utsman, Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad, Ringkasan Siyar A’lam An-Nubala’ (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm. 388
[8] Jamaluddin Abi Al Hajjaj Yusuf Al Mizy, Tahdzib al-Kamal Fi Asma’ ar-Rijal, Juz XII, (Beirut: Ar-Risalah, 1992), hlm. 76
[9] Syeikh Syihabuddin Abi al-Fadl Ahmad bin Ali bin Hajr al-Asqalani, Tahdzibul Tahdzib Juz 4.(Beirut: Darul Fikr, 1984),  Hlm. 196
[10] Jamaluddin Abi Al Hajjaj Yusuf Al Mizy, Tahdzib al-Kamal Fi Asma’ ar-Rijal, Juz XI, (Beirut: Ar-Risalah, 1992), Hlm. 259
[11]Syeikh Syihabuddin Abi al-Fadl Ahmad bin Ali bin Hajr al-Asqalani, Tahdzibul Tahdzib Juz 4.(Beirut: Darul Fikr, 1984),  Hlm. 123
[12] Adz-Dzahabi, bin Utsman, Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad, Ringkasan Siyar A’lam An-Nubala’ 1 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm. 506
[13] Syaikh Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuthi, Thabaqatul Huffadz,(Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah, 1994), Hlm. 17
[14] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 190-191
[15] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Atsqalany, Fath al-Bari bi Syarhi Sahih al-Bukhary, Juz VI, (Kairo: Dar al-Hadits, 2004), hlm. 336
[16] Muhammad bin Ali As-Syaukani, Nail al-Authar, juz III, (Kairo: Dar al-Hadits, 2005), hlm. 598.
[17] Ahmad bi Ali bin Hajar al-Atsqalany, Fath al-Bari bi Syarhi Sahih al-Bukhay,Juz IX. Hlm. 336.
[18] Muhammad bi Shalih al-Utsaimin, Fath dzi al-Jalali wa al-Ikrom Juz IV, (Kairo: Al-Maktabah al-Islamiyyah, 2006), hlm. 560.
[19] Ibid., hlm. 563.
[20] Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus Salam – Syarah Bulughul Maram jilid 2, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2010), hlm. 695
[21]. Ibid.
[22] Muhammad Ali Baydoun, Irsyadus sari, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1971), hlm. 485.
[23] Muhammad bin Isma’il As-Shan’any, Subul as-Salam Juz III, (Kairo: Dar al-Hadits, 2004), hlm. 194
[24] Wahab Az-Zuhaily, Al Fiqh al-Islami wa Adillatuhu Juz VII, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), hlm.338
[25]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 193
[26] Shaleh Ghanim, Jika Suami Istri Berselisih, (Jakarta: Gema Insani, 1998), hlm. 24-25
[27] Usman bin Muhammad Syattha, Hasyiyah I’anatut Thalibin Jilid III, (Lebanon: Darul Kutub Al Ilmiyah, 2011), hlm. 627
[28] Manshur Ali Nashif, Ghoyah al-Ma’mul Syarah At-Taj Al Jami’ Li as-Ushul, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), hlm. 325

No comments:

Post a Comment