PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkawinan sebagai bentuk sakral suami istri dalam
hidup suatu rumah tangga yang menciptakan kehidupan yang sakinah, mawaddah wa
rahmah. Selain itu membina sebuah mahligai rumah tangga
merupakan perintah agama bagi setiap muslim dan muslimah. Kehidupan rumah tangga suami istri
ini mesti memberikan rasa ketenangan dan kasih sayang antar insan yang
mengarungi bahtera hidup rumah tangga. Rumah tangga islami, dibangun di atas
iman dan taqwa sebagai pondasinya, syariah atau aturan Islam sebagai
bangunannya, akhlak dan budi pekerti mulia sebagai hiasannya. Rumah tangga
seperti inilah yang akan tetap kokoh dan tidak mudah rapuh dalam menghadapi
kehidupannya.
Di sisi lain, seindah apapun kehidupan rumah tangga, namun tidak
selalu berjalan mulus dan lancar. Pasti menemukan pertikaian baik itu dimulai
dari faktor luar maupun dari dalam rumah tangga itu sendiri. Ini tidak hanya
terjadi bagi umat setelah nabi Muhammad saja, tapi di masa nabi dan para
Anbiya’ sebelum beliau juga mengalami hal demikian.
Salah satu permasalahan yang menjadi kasus dalam rumah tangga ini di
antaranya seperti Nusyuz istri, atau yang dikenal sebagai pelanggaran yang
dilakukan oleh pihak istri. Pada hakikat sebenarnya, Nusyuz itu bukanlah tabiat
asli perempuan, melainkan sifat yang timbul kemudian. Sehingga dalam ayat
dijelaskan bahwa “yang mereka (perempuan) yang kamu takuti akan berbuat
nusyuz.” Jika memang itu adalah tabiat perempuan sendiri, tentu Allah akan
menguraikannya seperti “mereka yang berbuat nusyuz.”
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimanakah
Hadits tentang Nusyuz?
2.
Bagaimana kualitas hadits tentang nusyuz?
3.
Bagaimanakah
penjelasan isi dari Hadits Tersebut?
4.
Bagaimanakah
Kandungan dari Hadits tersebut?
5.
Bagaimanakah
undang-undang mengatur tentang Nusyuz?
PEMBAHASAN
A.
Hadits
Nusyuz
حَدَّثَنَا مُحَمّدُ بنُ بَشَارٍ حَدَّثَنَا ابنُ
اَبِي عَدِىٍّ عَنَ شُعْبَةٍ عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ الّلهُ عَنْهُ عَنِ الَّنِيٍّ صَلَى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ اِذَا دَعَى الرَّجُلُ اِمْرَأَتَهُ أِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِئَ
لَعَنَتْهَا المَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
Muhammad bin Basyar
menceritakan kepada kami, bahwasanya Ibnu Abi ‘Ady menceritakan kepada kami,
dari Syu’bah, dari Sulaiman, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah R.A., bahwasanya
Rasulullah SAW bersabda, “ketika suami mengundang istrinya untuk diajak ke
ranjang (bersetubuh), sedangkan istrinya menolak ajakan tersebut, maka para
malaikat akan melaknatnya hingga waktu subuh.[1]
B.
Mufrodat
دَعَى
الى : mengundang, menghendaki
فراش : tempat tidur, tilam
ابت : menolak,
tidak mau, enggan
لعن : mengutuk, melaknat
تصبح : masuk waktu pagi
C.
رسول الله محمد
صلى الله عليه وسلم
|
W.
57
|
W.
102
H
|
W.
160 H
|
W.
213 H
|
محمد بن بشار
|
كبار تبع الأتباع
|
W.
252 H
|
سليمان
|
الصغرى من التابعين
|
شعبه
|
كبارالأتباع
|
ابن ابي عدى
|
الصغرى من
الأتباع
|
W.
146 H
|
ابو هريرة
|
اصحابه
|
ابو حازم
|
الوسطى
|
1.
Muhammad bin Basyar
Nama lengkap beliau
adalah Muhammad bin Basyar bin Utsman bin Daud bin Kaisan Al’Abdy, beliau
mempunyai nama lain, yakni Abu Bakar Al-Bashry Bundar. Istilah Bundar bermakna Al-Hafidz (Penghafal), dalam artian beliau banyak menghafal dan
mengumpulkan hadits dinegaranya.[2]
Beliau termasuk golongan senior dari tabi’ at-Tabi’in, lahir di Bashrah.
Diantara guru-guru beliau adalah Ibrahim bin Umar bin Mathraf, Azhar bin Sa’d,
Ishaq bin Yusuf bin Murdas, Al Mughirah bin Salmah, Umayyah bin Kholid bin
al-Aswad dan Muhammad bin Ibrahim bin Abi ‘Ady. Diantara murid-murid beliau
adalah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim dan Yusuf bin Ya’qub.
Dalam kitabnya
al-Jahr wa at-Ta’dil, Syaikh Abi Muhammad Abu Abdurrahman mengatakan bahwa ayah
beliau bertanya mengenai Muhammad bin Basyar kepada Abdurrahman, beliau
mengatakan bahwa Muhammad bin Basyar adalah Shoduuq.[3]
Muhammad bin Basyar wafat pada bulan Rajab tahun 252 H.[4]
2.
Ibnu Abi ‘Ady
Nama lengkap beliau
adalah Muhammad bin Ibrahim bin Abi ‘Ady As-Sulamy. Juga dijuluki dengan
Al-Qasmaly, karena beliau dilahirkan di Al- Qasamalah. Beliau lebih terkenal
dengan sebutan Muhammad bin Abi ‘Ady.[5]
Beliau termasuk dari golongan tabi’ at-Tabiin junior, dari keturunan As-Sulamy.
Dilahirkan di Basrah. Diantara guru-guru beliau adalah Ismail bin Muslim,
Ja’far bin Al-Hajjaj bin al-Warad. Adapun diantara murid-muridnya adalah Ahmad
bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad, Bakr bin Khalaf, Ziyad bin Yahya,
dan Muhammad bin Basyar bin Utsman. Muhammad bin Sa’id mengatakan bahwa
Muhammad bin Abi ‘Addiy adalah perawi yang tsiqoh. Beliau wafat pada tahun 213
H.[6]
3.
Syu’bah
Ia adalah Al Imam, Al
Hafizh Amir Al Mu’min Fi Al Hadits, Abu Bistham Syu’bah bin Al Hajjaj bin Al
Ward Al Azadi Al Ataki Al Wasithi. Ia adalah seorang ulama dan Syaikh penduduk
Basrah.
Satu
pendapat mengatakan, ia lahir pada tahun 80 H. Pada saat pemerintahan dipegang
oleh Abdul Malik bin Marwan, banyak ulama besar meriwayatkan hadits darinya,
dan hadits-hadits riwayatnya menyebarluas diberbagai pelosok negeri.
Syu’bah wafat pada tahun 160 H di kota Basrah.[7]
4.
Sulaiman
Nama lengkapnya
adalah Sulaiman bin Mihran Al Asady Al Kahily. Dikatakan dalam sebuah riwayat
bahwasannya beliau dari Thabaristan,
ada juga yang mengatakan berasal dari daerah Dumbawand. Saat besar, beliau dibawa oleh ayahnya untuk tinggal di
Kufah.[8]
Beliau termasuk tabiin junior dari keturunan Al Asady Al Kahily. Diantara
guru-guru beliau adalah Ibrahim bin Yazid bin Syuraik, Ishaq bin Mirar, Ismail
bin Abi Khalid, Salman Maula Izzah (Abu Hazim). Adapun diantara murid-murid
beliau adalah Aban bin Tuhlab, Ibrahim bin Sulaiman bin Razin, Abu Bakar bin
Iyas bin Salim, Humaid bin Abdur Rahman dan Syu’bah bin al-Hajjaj.
Menurut Ahmad bin
Abdullah al-Ajiliy beliau merupakan perawi hadits yang terjaga ketsiqohannya.
Sulaiman al-A’masy wafat pada bulan Rabi’ul Awal tahun 146 H pada usia 88
tahun.[9]
5.
Abi Hazm
Nama lengkapnya
adalah Salman Abu Hazim Al Asyja’iy. Beliau banyak mendapatkan Hadits dari
Hasan bin Ali bin Abi Thalib, Husain bin Ali bin Abi Thalib, Sa’d bin Ash,
Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Umar bin Khattab, Arfajah Al Asyja’iy dan Abu
Hurairah, sekaligus dia berguru padanya selama lima tahun.[10]
Beliau termasuk generasi pertengahan tabi’in dari jalur keturunan Al Asyja’iy,
dilahirkan di Kuffah. Diantara guru-guru beliau adalah Abdurrahman bin Shakhr,
Sa’id bi Mutsayyab. Adapun diantara murid-muridnya adalah Basyir bin Salman,
Daud bin Abi ‘Auf, Salim bin Abi Hafshah, Sa’ad bin Thariq bin Atsim, dan
Sulaiman bin Mihran.
Menurut Ahmad, Ibnu
Mu’ayyan dan Abu Dawud, Abu Hazim merupakan perawi hadits yang tsiqoh. Beliau
wafat pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (99-102H).[11]
6.
Abu Hurairah
Ada banyak pendapat
mengenai nama aslinya, dan yang paling kuat adalah Abdurrahman bin Shakhar.
Beliau dilahirkan di Madinah. Gelarnya yang paling dikenal adalah Abu Hurairah
(anak kucing). Abu Hurairah pernah berkata, “Aku dijuluki dengan sebutan Abu
Hurairah karena ketika aku menemukan seekor anak kucing, aku memasukkanya ke
dalam sakuku”. Dia seorang imam yang faqih, mujtahid, Al Hafizh, sahabat
Rasulullah SAW, dan sayyidul huffazh yang telah mendapat pengakuan. Abu
Hurairah telah banyak menimba ilmu yang baik dan berbarakah dari Nabi SAW,
sehingga tidak ada orang yang dapat menyamai keluasan ilmunya. Al Bukhari
mengatakan bahwa dia telah meriwayatkan kurang lebih 800 hadits dari Abu
Hurairah. Imam yang lain berkata, “Abu Hurairah datang ke madinah lalu masuk
Islam pada awal tahun 7 Hijriyah, yaitu ketika perang Khaibar.”[12]
Menurut imam Syafi’I
Abu Hurairah adalah perawi hadits yang paling banyak melestarikan hadits di
dunia. Beliau wafat pada tahun 58 H.[13]
Dengan
demikian, dilihat dari semua perawi yang meriwayatkan hadits nusyuz termasuk
orang-orang yang thiqah dan sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah SAW.
sehingga hadits tentang nusyuz ini termasuk hadits yang shahih.
D.
Penjelasan dan Kandungan
Hukum Hadits
1.
Penjelasan
Hadits
Nusyuz adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang
secara etimologi berarti ارتفاع yang berarti
meninggi atau terangkat. Kalau dikatakan istri Nusyuz terhadap suaminya berarti
istri merasa dirinya sudah lebih tinggi kedudukannya dari suaminya, sehingga ia
tidak lagi merasa berkewajiban mematuhinya.[14]
اِذَادَعَى الرَّجُلُ
امْرَئَتَهُ اِلَى فِرَا شِهِ
Ibnu Abi Hamzah berkata bahwa pada lafadz فراش itu
merupakan sebuah kinayah dari lafadz جماع (bersetubuh).
Hal tersebut dikuatkan dengan sabda nabi الولد للفراش yang artinya anak itu milik dari seorang yang
telah berhubungan di ranjang. Beliau juga menegaskan bahwa hadits diatas secara
tersurat adalah mengkhususkan penolakan dari si istri untuk melayani suami di
malam hari saja, indikasinya adalah karena ada lafadz حتى
تصبح yang artinya samai pagi hari. Namun, bukan berarti saat dipagi hari
si istri dapat menolak ajakan suaminya, karena secara tersirat, maksud dari
pengkhususan di malam hari itu untuk menguatkan bahwasannya keinginan dari sami
untuk menyetubuhi istrinya itu biasanya di malam hari.[15] Sehingga,
berlaku mutlak bagi si istri, bahwa tidak boleh menolak ajakan suaminya untk
bersetubuh, baik disiang hari maupun malam hari, karena tidak disebutkan disana
suatu pengkhususan, yakni malam hari sajaatau siang hari saja.[16]
فَأَبَتْ أَنْتَجِئَ
Abu Iwanah menambahkan sebuah riwayat dari A’masy
berbunyi فبات غضبان عليها yang artinya “maka si
suami tertidur dalam keadaan marah” setelah lafadz فأبت
ان تجئ. Konsekuensinya dengan tambahan lafadz tersebut, maka sebuah pelaknatan
dari malaikat itu telah jelas, karena seketika itu kemaksiatan si istri telah
nyata.[17]
لَعَنَتْهَا
المَلاَئِكَةُ حَتَّى تٌصبِحَ
Adapun yang dimaksud لَعَنَتْهَا
المَلاَئِكَةُ itu bukan
berarti secara langsung malaikat akan melaknat istri, melainkan malaikat akan
berdoa kepada Allah yang bunyinya “ya Allah, laknatlah wanita tersebut”.[18] Sedangkan yang dimaksud dengan حَتَّى
تٌصبِحَ adalah sampai dating waktu pagi, yang ditandai dengan terbitnya
fajar shodiq.[19]
Hadits ini menjelaskan bahwa wajib bagi seorang istri
untuk memenuhi ajakan suami melakukan hubungan suami istri. Sabda Nabi, "ke
tempat tidur” bentuk kiasan dari hubungan suami istri, sebagai sabda Nabi,
”Anak (nasab) itu milik tempat tidur” yaitu orang yang melakukan jima’ di atas
kasur. Dalil yang menunjukkan wajibnya perempuan melayani suaminya adalah
laknat malaikat kepada wanita tersebut, karena malaikat tidak akan melaknat
sesuatu kecuali hal-hal berkaitan dengan perintah Allah, dan tidak ada hukuman
(siksaan) karena kecuali melalaikan hal yang diwajibkan.[20]
Sabda Nabi, “sampai pagi” merupakan dalil yang
mewajibkan bagi perempuan untuk memenuhi panggilan suaminya (untuk melakukan
hubungan seks) di waktu malam, karena kebiasaannya di waktu malam, bila tidak
demikian tentu diwajibkan memenuhi panggilan di siang hari.
Dalam sabdanya, “malaikat melaknatnya” dalil yang
menyataka menolak ajakan (hak) dari orang yang mempunyai hak terhadap dirinya
ketika ia meminta, maka orang tersebut mendapatkan kemarahan Allah, baik hak
itu berkaitan dengan dirinya atau hartanya.[21]
Ketika suami mengajak istrinya ke ranjang untuk
berhubungan badan, maka sang istri enggan datang, artinya menolak untuk datang.
Karena hal tersebut maka suaminya menjadi marah kepada istri sepanjang
malam. Maka sia sang istri akan dilaknat oleh malaikat hingga pagi hari.
Merupakan laknat yang dikhususkan dengan apa yang terjadi pada malam hari
karena sabda nabi hingga pagi.[22]
Jadi, secara umum, hadits diatas merupakan berita tentang
kewajiban bagi seorang istri untuk memenuhi ajakan suami untuk bersetubuh, baik itu disiang hari maupun dimalam hari. Dalil
kewajibannya adalah karena ada pelaknatan dari malaikat kepada istri, sebagaimana
diketahui bahwa sanya malaikat tidak akan melaknat tanpa perintah dari Allah,
dan perintah Allah itu pasi disertai dengan siksa, dan siksa itu sendiri tidak
akan dijatuhkan sebelum seorang itu meninggalkan kewajiban.[23]
Selain itu hadits di atas merupakan salah satu bentuk pembangkangan istri
terhadap suami, dimana hal tersebut dinamakan Nusyuz. Dalam kaitannya dengan Nusyuz,
dimana Nusyuz itu sendiri adalah ketidak patuhan seorang suami atau istri
terhadap kewajiban yang harus dijalankan olehnya dalam memenuhi hak
pasangannya,[24]
maka hadits diatas yang intinya mewajibkan istri memenuhi penggilan suaminya
untuk bersetubuh, jika hal tersebut dilanggar maka terjadilah Nusyuz. Dalam hal
ini, nushusnya si istri. Begitu pula jika suami yang melanggar kewajibannya.
Maka terjadilah nushus suami.
Namun, sudah pasti ada pengecualian bagi si istri dalam
memenuhi kewajibannya tersebut, yakni boleh baginya menolak ajakan suami untuk
bersetubuh dalam dua hal.
Pertama, saat persetubuhan tersebut membahayakan istri, misalnya
istri sedang hamil. Kedua, saat persetubuhan tersebut bersinggungan
dengan sesuatu yang sifatnya wajib, misalnya saat akan berhubungan badan,
selisih empat menit lagi matahari akan terbit, sedangkan ia belum menunaikan
sholat subuh, maka tidak wajib bagi si istri untuk memenuhi ajakan suaminya.
Nushus suami mengandung arti pendurhakaan suami kepada
Allah karena meninggalkan kewajiban terhadap istrinya.
Nushus suami terjadi bila
ia tidak melaksanakan kewajibannya terhadap istrinya, baik meninggalkan
kewajiban yang bersifat materi atau nafaqah atau meninggalkan kewajiban yang
bersifat nonmateri di antaranya mu’asyarah bi al-ma’ruf atau menggauli
istrinya dengan baik. Yang terakhir ini mengandung arti yang luas, yaitu segala
sesuatu yang dapat disebut menggauli istrinya dengan cara buruk, seperti
berlaku kasar, menyakiti fisik dan mental istri, tidak melakukan hubungan
badaniyah dalam waktu tertentu dan tindakan lain yang bertentangan dengan asas
peergaulan baik. Adapun tindakan istri bila menemukan pada suaminya sifat nusyus,[25]
dijelaskan Allah dalam Q.S An-Nisa: 128
ÈbÎ)ur îor&zöD$#
ôMsù%s{
.`ÏB
$ygÎ=÷èt/ #·qà±çR ÷rr&
$ZÊ#{ôãÎ)
xsù
yy$oYã_
!$yJÍkön=tæ br& $ysÎ=óÁã $yJæhuZ÷t/ $[sù=ß¹
4
ßxù=Á9$#ur ×öyz 3
ÏNuÅØômé&ur Ú[àÿRF{$# £x±9$#
4
bÎ)ur (#qãZÅ¡ósè? (#qà)Gs?ur cÎ*sù
©!$#
c%x. $yJÎ/ cqè=yJ÷ès? #ZÎ6yz ÇÊËÑÈ
“ Dan jika seorang wanita
khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa
bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu
lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika
kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan
sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.
2.
Kandungan Hukum Hadits
Secara etimologi Nusyuz berasal dari kata
“Nashaza-Yanshizu” yang berarti tinggi, adapun Nusyuz berarti ketinggian.
Seorang perempuan yang meremehkan suaminya disebut Nashizan, karena pada saat
itu yang bersangkutan membenci dan meninggikan suaminya dan tidak mau
menaatinya. Sedangkan secara istilah Nusyuz ialah suatu kondisi yang tidak
menyenangkan yang timbul dari istri atau suami, sekalipun kuantitasnya lebih
sering ditimbulkan dari pihak istri.[26]
Adapun tanda-tanda Nusyuz istri adakalanya dalam bentuk
perbuatan, misalnya membangkan terhadap suami, tidak segera mendatangi ajakan
suami, yang biasanya datang dengan lembut dan manis, tetapi kemudian berubah
menolaknya dan memalingkan muka terhadap suami, keluar dari rumah tanpa seizin
suami dan tidak ada udzur. Sedangkan nushus dalam bentu ucapan, misalnya
menjawab suami dengan perkataan yang kasar padahal biasanya berkata dengan
halus.[27]
Jika istri mulai terlihat
tanda-tanda nushus, maka ada tahapan-tahapan yang bisa dilakukan suami untuk
meredahkan nushus istri, sebagaimana terdapat dalam Q.S An-Nisa: 34 yakni
dengan
penjelasan sebagai berikut:
a.
Dengan menasehatinya,
yakni menasehati dengan bijaksana serta menggunakan kata-kata yang halus dan
tidak menyinggung istri, ditanyakan apa sebabnya demikian, atau diingatkan agar
bertakwa kepada Allah.
b.
Berpisah tempat tidur,
jika suami telah menasehati tetapi istri masih tetap pada sikap nushusnya maka
suami memisahkan diri dari tempat tidu istri, tidak menyetubuhinya, tidak tidur
didekatnya, maupun tidak mengajaknya bicaranya.
c.
Jika kedua hal diatas
belum bisa merubah sikap istri maka suami bisa memukulnya,[28]
akan tetapi dengan pukulan ringan yang tidak sampai menyakiti, dan tidak
mengarah pada wajahnya sebagai pelajaran atas istri.
E.
Ketentuan Undang-Undang
yang Berlaku
dalam undang-undang keterangan tentang Nushus diatur
dalam KHI pasal 84 yakni sebagai berikut:
1)
Istri dapat dianggap
nushus jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam pasal 83 ayat 1 kecuali dengan alasan yang sah.
2)
Selama istri dalam nushus
, kewajian suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat 4 huruf a dan b
tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
3)
Kewajiban suami tersebut
pada ayat 2 di atas berlaku kembali sesudah istri Nusyuz.
4)
Ketentuan tentang ada
atau tidak adanya Nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah.
Didalam KHI ini tidak dikenal adanya Nusyuz yang
dilakukan suami. Padahal Islam jelas menegaskan Nusyuz bisa dilakukan suami
maupun istri.
PENUTUP
A.
Simpulan
Hadits
tentang Nusyuz yaitu
حَدَّثَنَا
مُحَمّدُ بنُ بَشَارٍ حَدَّثَنَا ابنُ اَبِي عَدِىٍّ عَنَ شُعْبَةٍ عَنْ
سُلَيْمَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الّلهُ عَنْهُ عَنِ
الَّنِيٍّ صَلَى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اِذَا دَعَى الرَّجُلُ
اِمْرَأَتَهُ أِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ أَنْ تَجِئَ لَعَنَتْهَا المَلاَئِكَةُ
حَتَّى تُصْبِحَ
Hadits
tersebut dikategorikan hadits sahih karena semua para perawinya thiqah dan
sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah SAW.
Hadits
diatas merupakan berita tentang kewajiban bagi seorang istri untuk memenuhi
ajakan suami untuk bersetubuh, baik itu di siang hari maupun malam hari. Selain
itu merupakan salah satu bentuk pembangkangan istri terhadap suami, dimana hal
tersebut dinamakan dengan nusyuz. Maka hadits diatas intinya mewajibkan istri
memenuhi panggilan suaminya untuk bersetubuh, jika hal tersebut dilanggar, maka
terjadilah nusyuz.
Nusyuz adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang
secara etimologi berarti ارتفاع yang berarti
meninggi atau terangkat. hadits diatas merupakan
berita tentang kewajiban bagi seorang istri untuk memenuhi ajakan suami untuk
bersetubuh, baik itu disiang hari
maupun dimalam hari. Dalil kewajibannya adalah karena ada pelaknatan dari
malaikat kepada istri, sebagaimana diketahui bahwa sanya malaikat tidak akan
melaknat tanpa perintah dari Allah, dan perintah Allah itu pasi disertai dengan
siksa, dan siksa itu sendiri tidak akan dijatuhkan sebelum seorang itu
meninggalkan kewajiban. Selain itu hadits di atas merupakan salah satu bentuk
pembangkangan istri terhadap suami, dimana hal tersebut dinamakan Nusyuz.
Jika istri mulai terlihat tanda-tanda nushus, maka ada
tahapan-tahapan yang bisa dilakukan suami untuk meredahkan nushus istri,
sebagaimana terdapat dalam Q.S An-Nisa: 34 yakni, pertama dengan
menasehatinya, kedua berpisah tempat tidur, ketiga dengan pukulan
ringan yang tidak sampai menyakiti.
Dalam
KHI pasal tentang Nusyuz diatur dalam pasal
83 ayat 1, pasal 80 ayat 4 huruf a
dan b.
[1] Shahih Bukhari, (Bairut: 1971), hlm. 461
[2] Jamaluddin Abi Al Hajjaj Yusuf Al Mizy, Tahdzib al-Kamal Fi Asma’ ar-Rijal, Juz XXIV, (Beirut: Ar-Risalah,
1992), hlm. 511
[3] Syaikh Abi Muhammad Abu Abdurrahman, al-Jarh wat-Ta’dil Juz 7. (Beirut: Darul Fikr, 1952), hlm. 214
[4] Syeikh Jamaluddin Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizziy, Tahdzibul Kamal Juz 24, (Beirut: Darul
Fikr, 1994), hlm. 518
[5] Jamaluddin Abi Al Hajjaj Yusuf Al Mizy, Tahdzib al-Kamal Fi Asma’ ar-Rijal, Juz XXIV, (Beirut: Ar-Risalah,
1992), hlm. 322
[6]Jamaluddin Abi Al Hajjaj Yusuf Al Mizy, Tahdzib al-Kamal Fi Asma’ ar-Rijal, Juz 16, (Beirut: Ar-Risalah,
1992), hlm. 19-21
[7] Adz-Dzahabi, bin Utsman, Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad, Ringkasan Siyar A’lam An-Nubala’ (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008), hlm. 388
[8] Jamaluddin Abi Al Hajjaj Yusuf Al Mizy, Tahdzib al-Kamal Fi Asma’ ar-Rijal, Juz XII, (Beirut: Ar-Risalah,
1992), hlm. 76
[9] Syeikh Syihabuddin Abi al-Fadl Ahmad bin Ali bin Hajr al-Asqalani, Tahdzibul Tahdzib Juz 4.(Beirut: Darul
Fikr, 1984), Hlm. 196
[10] Jamaluddin Abi Al Hajjaj Yusuf Al Mizy, Tahdzib al-Kamal Fi Asma’ ar-Rijal, Juz XI, (Beirut: Ar-Risalah,
1992), Hlm. 259
[11]Syeikh Syihabuddin Abi al-Fadl Ahmad bin Ali bin Hajr al-Asqalani, Tahdzibul Tahdzib Juz 4.(Beirut: Darul
Fikr, 1984), Hlm. 123
[12] Adz-Dzahabi, bin Utsman, Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad, Ringkasan Siyar A’lam An-Nubala’ 1 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm.
506
[13] Syaikh Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar as-Suyuthi, Thabaqatul Huffadz,(Beirut: Darul Kutub
al-Ilmiyyah, 1994), Hlm. 17
[15] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Atsqalany, Fath al-Bari bi Syarhi
Sahih al-Bukhary, Juz VI, (Kairo: Dar al-Hadits, 2004), hlm. 336
[17] Ahmad bi Ali bin Hajar al-Atsqalany, Fath al-Bari bi Syarhi
Sahih al-Bukhay,Juz IX. Hlm. 336.
[18] Muhammad bi Shalih al-Utsaimin, Fath dzi al-Jalali wa al-Ikrom
Juz IV, (Kairo: Al-Maktabah al-Islamiyyah, 2006), hlm. 560.
[19] Ibid., hlm. 563.
[20] Muhammad bin Ismail
Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus Salam – Syarah Bulughul Maram jilid 2,
(Jakarta: Darus Sunnah Press, 2010), hlm. 695
[23] Muhammad bin Isma’il As-Shan’any, Subul as-Salam Juz III,
(Kairo: Dar al-Hadits, 2004), hlm. 194
[24] Wahab Az-Zuhaily, Al Fiqh al-Islami wa Adillatuhu Juz VII,
(Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), hlm.338
[25]Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 193
[27] Usman bin Muhammad
Syattha, Hasyiyah I’anatut Thalibin Jilid III, (Lebanon: Darul Kutub Al
Ilmiyah, 2011), hlm. 627
[28] Manshur Ali Nashif, Ghoyah
al-Ma’mul Syarah At-Taj Al Jami’ Li as-Ushul, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr,
1981), hlm. 325
No comments:
Post a Comment