Total Pageviews

Wednesday, November 27, 2019

MAKALAH HADIS TENTANG WALI NIKAH



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang sempurna dibandingkan makhluk yang lain. Untuk itu semua yang dilakukan ada aturan agama yang mengatur. Salah satu aturan yang sangat menonjol perbedaannya adalah aturan pernikahan. Jika aturan ini diterapkan maka akan tercipta keturunan yang baik dan benar.
Pernikahan banyak dimuat dalam al-Qur’an dan hadis, namun aturan teknis bagaimana suatu perkawinan yang sah hanya dijelaskan oleh hadis. Pernikahan dianggap sah bila memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan. Beberapa syarat yang harus terpenuhi dalam nikah diantaranya ialah adanya pria dan wanita sebagai mempelai, wali, mahar, saksi dan akad (ijab qabul)yang didalamnya harus ada wali bagi pengantin perempuan. Namun, masih banyak yang melakukan pernikahan tidak sesuai dengan aturan. Kususnya dalam hal perwalian. Padahal telah dijelaskan wali adalah termasuk rukun pernikahan.
Wali adalah suatu ketentuan hukumyang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya. Terdapat dua macam wali yaitu wali yang umum dan wali yang khusus, yang disebut wali khusus adalah wali yang berkenaan dengan manusia dan harta benda. Jadi dalam makalah ini akan membahas tentang wali terhadap manusia, yaitu masalah perwalihan dalam perkawinan yang ditinjau dari hadis.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hadis tentang wali nikah?
2.      Bagaimana kwalitas hadis tentang wali nikah?
3.      Bagaimana syarah hadis tentang wali nikah?
4.      Bagaimana kandungan hukum hadis tentang wali nikah?
5.      Bagaimana ketentuan perundangan tentang wali nikah?









BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hadis Tentang Wali Nikah
1.      Hadis
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ قُدَامَةَ بْنِ أَعْيَنَ حَدَّثَنَا أَبُو عُبَيْدَةَ الْحَدَّادُ عَنْ يُونُسَ وَإِسْرَائِيلَ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
قَالَ أَبُو دَاوُد وَهُوَ يُونُسُ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ وَإِسْرَائِيلُ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ
“Muhammad bin Qudamah bin A’yan telah menceritakan kepada kami, Abu ‘Ubaidah Al Haddad telah menceritakan kepada kami dari Yunus, dan Israil dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari Abu Musa bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Tidak ada (tidak sah)pernikahan kecuali dengan wali”. Abu Dawud berkata : Yunus meriwayatkan dari Abu Burdah, sedangkan Israil meriwayatkan dari Abu Ishaq dari Abu Burdah.”[1]    

2.      Makna Mufrodat
لانكاح         : tidak ada pernikahan (perkawinan). Ada yang mengatakan tidak ada perkawinan yang sah.
إِلَا بِوَلِيٍّ        : kecuali dengan wali yaitu orang yang berhak mewakili pasangan yang akan menikah.[2]
3.      Biografi Perawi
نبي صلى الله عليه وسلم
                           

عبد الله بن قيس بن سليم بن حضر (أبي موسى)
الصحابة
عامر بن عبد الله بن قيس
(أبي بردة)(W.103 H)
الوسطي من التا بعين
يونس بن أبي إسحق
(W.152H)
عمرو بن عبد الله بن عبيد
(أبي إسحق)(W.128H)
الصغرى من التابعين
الوسطي من التابعين
عبد الواحد بن واصل
(أبو عبيدة الحدا)(W.190 H)
اسرائيل بن يونس بن ابي اسحق
(W.160H)
كبا ر الا تباع
محمد بن قدامة
(W.250)
عبد الواحد بن واصل
 (أبو عبيدة الحداد)(W.190H)
الصغرى من الاتباع
محمد بن قدامة
(W.250)
كبار تبع الاتباع
أَبُو داؤدحَدَّثَنَا

 









































a.      Abu Musa al-Asy’ari
Nama  lengkap  beliau adalah Abdullah  bin  Qais  bin Sulaim  bin  Hadlar  bin  Harb  bin  ‘Amir  bin  ‘Atr  bin  Bakr  bin  ‘Amir  bin ‘Adzr bin Wail bin Najiyah bin Jumahir bin al-Asy’ar. Ibu dari Abi Musa bernama Dhaibah binti Wahb dan telah memeluk Islam sebelum akhirnya ia meninggal  di  Madinah.
Abu Musa adalah seorang sahabat yang pernah menjadi Khadam nabi  Muhammad Saw dan dikenal  sebagai sahabat yang paling merdu suaranya  sehingga nabi memberikan pujian bahwa Abu Musa adalah salah satu dari sekian banyak seruling keluarga nabi Daud.[3]
Dalam mempelajari hadis nabi, Abu Musa berguru kepada sembilan orang  guru yang diantaranya adalah Rasulullah Saw, Ubay bin Ka’ab dan Abdullah bin Mas’ud serta meriwayatkannya kepada 56 orang murid antara lain adalah  Abu Burdah, Abu kinayah al-Kursy, Anas bin  malik al-anshary, dan lain-lain.[4]
Sementara mengenai tahun wafatnya terdapat banyak versi, misalnya menurut Ali bin ‘Amr al-Anshari yang berasal dari Haitsam bin ‘Adiy dan Abu Ubaid serta Abu Umar ad-Dharir bahwa Abu Musa meninggal pada Tahun 42 H sedangkan versi lain seperti dikatakan Abu Nu’aim bahwa ia meninggal pada tahun 44 H dan diperkuat oleh Ibnu Barrad tepatnya pada bulan Dzulhijjah pada umur sekitar enam puluh tahun lebih. Sedangkan menurut Abu Bakar ia meninggal pada usianya yang ke-63 tahun tepatnya di kota Makkah.[5]
b.      Abu Burdah bin Abi Musa al-Ays’ari
Nama asli Abu Burdah adalah al-Harits dan menurut pendapat yang lain adalahAmir bin Abdullah bin Qais. Abu Burdah dikenal sebagai seorang tabi’in  yang  faqih  yang  berasal  dari  Kufah.
Abu Burdah menerima hadis dari 23 orang guru yang termasuk salah satunya adalah ayahnya sendiri yaitu Abu Musa al-Asy’ari, Muhammad bin maslamah  al-anshary Mughirah bin Su’bah dan yang lainnya serta meriwayatkannya kepada 82 orang murid yang salah  satunya  adalah  Abu  ishaq  al-Sabi’iy.Sementara mengenai tahun wafatnya, menurut al-Waqidiy, Abu Burdah meninggal di Kufah pada tahun 103 H sedangkan  menurut  yang  lainnya  seperti Khalifah bin Khayyad, Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam, Abu Hatim  ibnu Hibban dan yang selainnya mengatakan bahwa ia meninggal pada tahun 104 H.[6]
Beberapa penilaian yang diberikan oleh para kritikus hadis mengenai aspek intelektualitas dan kualitas pribadi Abu Burdah adalah penilaian yang diberikan oleh Muhammad bin Sa’ad dalam kitab Thabaqatnya bahwa Abu Burdah adalah orang yang tsiqah dan banyak mengahafal hadis. Begitu pula menurut Ahmad bin Abdullah al-‘Ijliy, bahwa Abu Burdah adalah seorang tabi’in yang berasal dari kufah yang dikenal sebagai tabi’in yang faqih dan tsiqah.
Berbeda dengan penilaian Abdurrahman bin Yusuf bin Khirasy, dalam satu  kesempatan ia menilai Abu Burdah dengan predikat shaduq dan pada kesempatan yang lain ia menilainya sebagai orang yang tsiqah. Namun Ibnu Hibban memasukkan Abu Burdah ke dalam kitab kompilasinya, Al-Tsiqât.[7]
c.       Abu Ishaq al-Sabi’iy al-Kufiy
Nama asli beliau adalah ‘Amr bin Abdullah bin Ubaid dan menurut versi lain adalah ‘Amr bin Abdullah bin Ali dan ada juga yang berpendapat bahwa  nama aslinya adalah ‘Amr  bin  Abdullah  bin  Abi  Sya’irah.Ia mempelajari  hadis  dari  151  guru  yang  diantaranya  adalah  Abu  Burdah  bin Abu Musa al-Asy’ari, Bara’ bin ‘Azib serta Anas bin Malik dan meriwayatkannya kepada 86 orang  murid  yakni  Yunus bin  Abi Ishaq, Israil bin Yunus bin Abi Ishaq, Ismail bin Abi khalid dan yang lainnya.[8]
Penilaian para kritikus hadis terhadap kualitas pribadi dan intelektualitas Abu  Ishaq dapat disimak dari pernyataan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal bahwa  pada suatu ketika ia bertanya kepada ayahnya manakah yang lebih disenangi antara Abu Ishaq dan as-Sudday? Maka ayahnya menjawab bahwa Abu  Ishaq  adalah orang yang tsiqah akan tetapi kebanyakan mereka menerima  hadis  dari  yang  selainnya. 
Penilaian lain berasal dari Yahya bin Ma’in yang dinukil oleh Ishaq bin Mansyur bahwa Abu Ishaq adalah orang yang tsiqahbegitu pula dengan penilaian an-Nasa’i. Sejalan dengan penilaian di atas, menurut al-‘Ijliy, Abu Ishaq adalah orang tsiqah dan telah menerima hadis dari 38 sahabat nabi bahkan menurut Ali bin al-Madiniy ia mempunyai guru antara tiga ratus sampai empat ratus guru.
Adapun mengenai tanggal wafatnya terdapat banyak versi yang dimajukan oleh para ulama, al-Khumaidy misalnya, berpendapat bahwa Abu Ishaq  meninggal pada tahun 126H, berbeda denganpenjelasan Ahmad bin Hanbalyang diperkuat oleh al-Waqidiy, Haitsam bin ‘Adiy, Yahya bin Bukair, Muhammad bin Abdullah bin Numair menurutnya Abu Ishaq meninggal  dunia bertepatan dengan masuknya Dhahhak binQais ke Kufah tepatnya pada  tahun 127 H. Menurut Abu Bakar bin Abi Syaibah beliau meninggal dunia pada usia 96 tahun.[9]
d.      Yunus bin Abi Ishaq
Nama asli beliau adalah ‘Amr bin Abdullah al-Hamdani al-Sabi’iy. Nama  julukannya adalah Abu israil al-Kufy. Ia adalah ayah dari Israil bin Yunus dan ‘Isa bin Yunus. Yunus meninggal pada tahun 159 H. Demikian menurut keterangan Muhammad bin Sa’ad, Khalifah ibnu Khayyad, Muhammad bin  Abdullah al-Hadramiy dan masih banyak yang lainnya. Pendapat inilah yang dianggap sebagai pendapat yang paling kuat. Sedangkan versi lain  menyebutkan ia meninggal pada tahun 157 H atau 158 H dan menurut Abu Hasan al-Madainiy, ia meninggal pada tahun 152.
Dalam mempelajari hadis ia memiliki 24 guru yang diantaranya adalah ayahnya sendiri yaitu Abu Ishaq al-Sabi,iy, Abu Burdah bin Abu Musa  alAsy’ari, Hilal bin Khabbab dan yang lainnya serta meriwayatkan hadis kepada 44 orang murid yang salah satunya adalah Abu Ubaidah Abdul Wahid bin Washil al-Haddad, Abdullah bin al-Mubarak dan Simail bin ‘Ayyas.
Beberapa penilaian yang dikemukakan oleh para krtikus hadis mengenai kualitas  pribadi  dan  intelektualitas Yunus dapat disimak dari pernyataan Amar binAli, menurutnya Abdurrahman bin Mahdi berkata bahwa Yunus berhak untuk diberikan predikat lam yakun bihî ba’sun. penilaian yang sama dikemukakan oleh Ishak bin Mansur, Ahmad bin Sa’ad bin Abi Maryam, Usman bin Sa’id al-Dârimî yang berasal dari Yahya bin Ma’in bahwa Yunus adalah orang yang tsiqah. 
Sedangkan menurut an-Nasa’i ia dapat diberikan predikat laisa bihî ba’sun.Berbeda dengan penilaian di atas adalah penilaian yang dimajukan oleh Abu  Hatim bahwa Yunus adalah orangyang jujur namun hadisnya tidak dapat dijadikan sebagai hujjjah.[10]
e.       Israil bin Yunus
Beliau mempunyai nama lengkap Israil bin Yunus bin Abi Ishak al Hamdani al-Sabi’iy yang lebih dikenal dengan panggilan Abu Yusuf al-Kufy. Ia merupakan saudara tertua Isa bin Yunus. Mengenai tanggal lahir dan wafatnya  terdapat beberapa versi yang dikemukakan oleh para ulama. Menurut Harun bin Hatim yang dinukil dari Dubais bin Humaid, Israil dilahirkan pada tahun 100 H dan meninggal  pada  tahun  161  H,  begitu  pula menurut Muhammad bin Abdullah al-Hadramiy.
Versi lain dikemukakan oleh Abu Nua’im dan Qa’nab bin al-Muharrar yang menurutnya beliau meninggal pada tahun 160 H sementara menurut Khalifah bin Khayyad dan Muhammad bin Sa’ad ia meninggal pada tahun 162 H.
Penilaian  yang  diberikan  oleh  para  kritikus  hadis  terhadap  kualitas pribadi dan intelektualitas Israil bin Yunus pun beragam,misalnya Ahmad bin Saad bin Abi Maryam dan Abu Bakar bin Abi Khaitsamah yang berasal dari Yahya  mengatakan bahwa Yunus adalah orang yang tsiqah. Sementara menurut al-‘Ijli dan Abu Hatim, Yunus adalah orang yang lebih dipercaya dibandingkan keturunan Abu Ishaq lainnya.
Penilaian lain juga dikemukakan oleh an-Nasa’i yangmemberikan predikat laisa bihî ba’sun. Sedangkan menurut Ya’kub bin Syaibah, yunus berhak  diberikan predikat shâlih al-hadîs mengingat dalam hadis yang dibawanya  terdapat kelemahan namun pada kesempatan yang lain dia memberikan  penilaian bahwa Yunus tergolong orang yang tsiqah dan terpercaya  namun  hadis yang diriwayatkannya tidak cukup kuat untuk dijadikan hujjah tetapi  juga tidak dapat dianggap sebagai orang yang gugur (saqitun).[11]
f.       Abu Ubaidah
Nama asli beliau adalah Abdul Wahid bin Washil as-Sadusi namun  popular  dengan  sebutan  Abu  Ubaidah  al-Haddad  al-Bashri.  Ia berdomisili di Baghdaddan meninggal pada tahun 190 H sesuai dengan penjelasan Abu Qilabah ar-Raqasyi menurutnya ia dilahirkan pada tahun 190 H bertepatan dengan meninggalnya Abu Ubaidah al-Haddad.
Abu Ubaidah menerima hadis dari empat  puluh orang guru termasuk di  dalamnya adalah Yunus bin Abi Ishaq, Hisyam bin Hassan dan Israil bin Yunus bin Abi Ishaq dan  meriwayatkannya  kepada  tujuh  belas  orang  murid antara lain adalah Muhammad bin Qudamah bin A’yan al-Mishshishi dan yang lainnya.
Penilaian lain diberikan oleh Abdul Khaliq bin Mansur yang dinukilnya dari Yahya bin Ma’in bahwa Abu Ubaidah adalah orang yang tsiqah. Ahmad bin  Abdillah al-‘ijli, Ya’kub bin Sufyan serta  Abû  Dâud memberikan predikat tsiqahbegitu juga penilaian Ya’kub bin Syaibah bahkan menurutnyatidak  hanya  tsiqah  tetapi  juga  dikenal  sebagai shâlih al-hadîts. Sementara Ibnu Hibban memasukkannya ke dalam kitab “Al-Tsiqât”nya.[12]
g.      Muhammad bin Qudamah
Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Qudamah bin A’yan bin  Miswar  al-Qursy Abu Abdillah al-Mishshishi. Menerima hadis dari enam belas orang  guru yang termasuk di dalamnya adalah  Abu Ubaidah al-Haddad, Sufyan  bin Uyaynah, Waki’ bin Jarrah dan lain-lain serta meriwayatkannya kepada 25  orang murid yang diantaranya adalah Abû Dâud as-sijistani, an-Nasa’i, Muhammad bin Musayyib bin Ishaq al-Argiyani dan lain-lain.
Penilaian terhadap Muhammad bin Qudamah dapat disimak dari pernyataan  Abu Bakar al-Barqaniy ketika bertanya kepada Abul Hasan adDaruqutni  mengenai ketsiqahan Muhammad bin Qudamah lalu Abul Hasan menjawab bahwa ia adalah orang yang tsiqah. Sementara an-Nasa’i pada satu kesempatan menyatakannya dengan la ba’sa bihî dan pada kesempatan lain menyatakan dengan shalihserta ibnu Hibban memasukkannya ke dalam kitab “Al-Tsiqât”nya.Beliau meninggal pada tahun sekitar 250 H.[13]
h.      Abû Dâud
Nama lengkap beliau menurut Abdurrahman bin Abi Hatim adalah Sulaiman bin Asy’ats bin Syaddad bin ‘Amr bin ‘Amir. Sedangkan menurut Muhammad bin Abdul Aziz al-Hasyimi adalah Sulaiman bin Asy’ats bin Bisyr bin Syaddad.[14]Mengenai persambungan antara Abu Daud dan Muhamad bin Qudamah sebagai guru dari Abû Dâud penulis tidak menemukannya dalam biografi Abû Dâud sekalipun nama Abû Dâud diakui sebagai murid dari Muhammad bin  Qudamah.
Kuat dugaan hal tersebut disebabkan terlalu banyaknya guru Abu Daud  seperti dikatakan oleh Ibnu Hajar bahwa guru  Abû  Dâud mencapai  tiga  ratus  orang guru sehingga para pengarang tidak memaparkannya secara  keseluruhan.Ini  terbukti  misalnya  dalam  kitab Badzl al-majhûd fî Halli Sunan Abî Dâud yang merupakan salah satu syarah dari kitab Sunan Abû Dâud hanya disebutkan sebanyak 20 orang guru  yang dianggap  sebagai  guru  yang  paling  populer.
Sementara dalam kitab Tahdzîb al-Kamâl fî Asma’ al-Rijâl disebutkan sebanyak 173. Komentar para kritikus hadis mengenai Abû Dâud dapat  disimak dari perkataan Musa bin Harun bahwa ia tidak pernah tahu tentang  orang yang lebih utama dari Abû Dâud sehingga ia menyuruh kepada Ahmad Muhammad bin Yahya bin Abi Saminah untuk menulis hadis yang diperoleh dari Abu Daud. Berbeda dengan penilaian Maslamah bin Qasim, menurutnya Abû Dâud adalah orang yang tsiqah, zuhud, paham tentang hadis serta untuk  mendapatkan  penjelasan  secara  lebih  detail  periksa  dalam,  Khalil  Ahmad  as-Saharanfuri,menjadi  imam  pada  masanya.
Beliau  meninggal  dunia  pada tahun  275  H tepatnya pada tanggal 16 Syawal 275 H dalam usia 73 tahun.Dengan memperhatikan kebersambungan sanad antara seorang guru dan murid dalam transmisi periwayatan hadis di atas, maka sanad hadis ini telah memenuhi standar kesahihan yang telah ditetapkan  oleh para ulama hadis, sekalipun dari sisi kualitas pribadi dan intelektualitas  perawi yang bersangkutan tidak mencapai derajat ta‘dîltertinggi.[15]
4.      Kedudukan Hadis
Berdasarkan urutan sanadnya yang bersambung dengan periwayatan perawi yang adil, dhabit, dari perawi pertama hingga perawi terakhirnya tidak mengandung syazz dan illat hadis ini termasuk hadis Shahih. Karena setelah mencermati pertautan umur antara satu generasi dengan generasi dibawahnya, berdasarkan tahun wafatnya, dengan tenggang waktu kesempatan hidup 60 tahun untuk setiap generasinya, maka diguga kuat terdapat kesezamanan antara satu generasi dengan generasi yang dibawahnya. Selain itu para perawinya dinilai tsiqoh, sehingga derajat hadisnya sahih. Jadi dapat disimpulkan bahwa hadis ini adalah hadis Shahih Li Dzatihi karena telah memenuhi persyaratan hadis shahih semuanya.
5.      Hadis Pendukung
a.      Sunan al-Dârimî
أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
Telah mengabarkan kepadaku Malik bin Isma'il telah menceritakan kepada kami Isra`il dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari Ayahnya, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak sah pernikahan tanpa seorang wali."[16]

b.      Sunan Tirmidzi
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ أَخْبَرَنَا شَرِيكُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ و حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ ح و حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي زِيَادٍ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ حُبَابٍ عَنْ يُونُسَ بْنِ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
“Ali bin Hujr menceritakan kepada kami, Syarik bin Abdullah memberitahukan kepada kami dari Abu Ishak, Qutaibah menceritakan kepada kami, Abu Awanah memberitahukan kepada kami dari Abu Ishak, Muhammad bin Basyar menceritakan kepada kami, Abdurrahman bin Mahdi menceritakan kepada kami dari Israil, dari Abu Ishak, Abdullah bin Abu Ziyad menceritakan kepada kami, Zaid bin Hubab memberitahukan kepada kami dari Yunus bin Abu Ishak, dari Abu Burdah, dari Abu Musa, ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, 'Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan wali'.”[17]
c.       Sunan Ibnu Majah
حدثنا محمد بن عبد الملك بن أبي الشوارب ثنا أبو عوانة ثنا أبو إسحاق الهمداني عن أبي بردة عن أبي موسى قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا نكاح إلا بولي
Bercerita kepada kami Muhammad bin `Abdul Mâlik bin Abi Abi Syawârib, bercerita kepada kami Abu `Awanah bercerita kepada kami Abu Ishaq al-Mahdâni dari Abi Burdah dari Abi Musa berkata: bersabda Rasulullah saw “Tidak ada pernikahan kecuali ada wali”.[18]
6.      Penjelasan Hadis
Sebelum memperluas bahasan yang terkandung dalam hadis ini, kita akan mendefinisikan pengertian dari wali. Dalam kitab Subulus Salam diterangkan bahwa wali adalah orang terdekat dengan si wanita dari golongan kerabat ashabahnya, bukan kerabat dari dzawil arham.[19] Dalam buku lain dijelaskan wali menurut jumhur ulama’ adalah orang yang terdekat dari jalur nasab, jalur sebab (seperti wali hakim), dan jalur ashobah. Sedangkan selain ashobah yaitu orang yang mendapat bagian pasti dalam warisan (dzawil furudl atau dzawis saham) dan dzawil arham tidak mempunyai wilayah dalam hal menjadi wali. Sedangkan menurut Abu Hanifah dzawil arham bisa dimasukkan dalam kategori wali.[20]
Berbicara tentang wali nikah, maka yang perlu diketahui tentang wali selain pengertian wali adalah kedudukan wali bagi mempelai dan seberapa penting wali dalam pelaksanaan pernikahan. Dan manusia yang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka ialah ayahnya, kemudian kakeknya, kemudian seterusnya ke atas. Kemudian anaknya dan cucunya serta seterusnya ke bawah. Kemudian saudara seayah dan seibu, kemudian saudaranya seayah.[21]
Wali adalah orang yang akan mengawinkan perempuan.[22] Seorang mempelai perempuan yang hendak melangsungkan pernikahan harus ada orang yang akan  menikahkannya. Kedudukan wali bagi mempelai adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinannya apabila tidak dilakukan oleh wali.[23]
Urgensi atau pentingnya wali nikah dilihat dari hadits diatas dan dikuatkan lagi dengan hadits Rasulullah yang lain yang berbunyi:
وعن عائشة قالت :قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا، فَإِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَه[24]ُ.
“Dan dari Aisyah R.A berkata: Rasulullah bersabda : Siapa saja wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya bathil (tidak sah), pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar dengan sebab menghalalkan kemaluannya. Jika mereka berselisih, maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali.”[25]
Kemudian dikuatkan juga dengan hadis Rosulullah di bawah ini :

وعن أبى بردة بن أبى موسى, عن أبيه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم (لانكاح إلا بو لى).رواه أحمد والأربعة, و صححه ابن المدينى والترمذى وابن حبان, وأعل بلإرسال[26] 
Maka dapat disimpulkan bahwa wali berkedudukan sangat penting dari pada serangkaian ketentuan-ketentuan pernikahan.
Terlepas dari hadits tersebut, adanya peran wali (orang tua) dalam suatu penikahan menjadi sangat dibutuhkan. Mengingat seorang gadis yang akan menikah berarti belum terlepas penuh dari tanggung jawab orang tuanya, maka seharusnya mempelai laki-laki meminta meng-akadkan pernikahannya barulah setelah itu tanggung jawab orangtua menjadi tanggung jawab suami.
Jadi dalam hadis ini menjelaskan bahwa tidak ada pernikahan kecuali dengan wali. Yang dimaksud “tidak ada pernikahan” adalah tidak sah atau tidak sempurna pernikahan seseorang jika tanpa wali.
B.     Kandungan Hukum Hadis
Wali adalah seorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mepelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.[27]
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas tentang pentingnya wali, dalam pernikahan kedudukan wali adalah rukun suatu perkawinan. Orang yang berhak menempati kedudukan wali ada tiga kelompok, yakni:
1.      Wali nasab, yaitu wali yang mempunyai hubungan tali kekeluargaan dengan wanita yang akan kawin.
2.      Wali mu’thiq, yaitu wali untuk seorang hamba sahaya yang pernah dimerdekakannya.
3.      Wali hakim, yaitu orang yang menjadi wali dalam kedudukannya menjadi pejabat hukum (hakim) atau penguasa. Dalam hala ini yang berwewenang wali berpindah ke tangan hakim, apabil.
a.       Ada pertentangan diantara wali-wali
b.      Bilamana walinya tidak ada dalam pengertian tidak ada yang absolute (mati, hilang) atau karena ghaib. Maka wali hakim berhakmeng’aqadkan, kecuali jika perempuan dan laki-laki yang mau kawin tersebut bersedia menanti kedatangan walinya yang ghaib itu. Dalam sebuah hadis disebutkan:
ثَلاَثُ لَا يُؤَخَّرْنَ, وَهُنَّ الصَّلاَةُ إِذَااَتَتْ, وَالَجنَازَةُ اِذَا حَضَرَتْ وَالَايَّمُ اِذَ وَجَدَتْ كُفْؤًا.
“Tiga perkara tidak boleh ditunda-tunda yaitu: shalat bila telah tiba waktunya, jenazah bila telah siap, dan perempuan bila ia telah ditemukan pasangannya yang sepadan.” (H.R. Baihaqi dan lain-lain dari Ali)[28]
Sedangkan orang yang berhak menjadi wali, adalah orang yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Telah dewasa dan berakal sehat;
2.      Laki-laki, ulama hanafiyah dan ulama syi’ah berbeda pendapat dalam persyaratan ini. Menurut mereka perempuan yang telah dewasa dan berakal sehat dapat menjadi wali bagi dirinya sendiri dan dapat pula menjadi wali untuk perempuan lain yang mengharuskan adanya wali.
3.      Muslim, tidak sah orang yang tidak beragama islam menjadi wali untuk muslim, hal ini berdalil dari firman Allah dalam surat ali imran ayat 28:
janganlah orang-orang mukmin mengambil orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah”.
Dan dalam hadis Nabi :
“Tidak sah nikah kecuali dengan (oleh)wali yang mursyid”[29]
4.      Orang merdeka;
5.      Tidak bearada dalam pengampuan atau Mahjur ‘Alaih;
6.      Berpikiran baik;
7.      Tidak sedang melakukan ihram untuk haji atau umroh.[30]
8.      Adil dalam arti tidak pernah terlibat dalam dosa besar dan tidak sering terlibat dosa kecil serta tetap memelihara muru’ah atau sopan santun. Namun dalam fiqih Islam dijelaskan bahwa seorang wali tidak disyaratkan adil. Jadi seorang yang durhaka tidak kehilangan hak menjadi wali dalam perkawinan, kecuali kalau kedurhakaannya itu melampaui batas-batas kesopanan yang berat.[31]
Kemudian juga dijelaskan dalam kitab Fiqih Islam bahwa wali mempunyai urut-urutan wali sebagai berikut :
1.      Ayah
2.      Kakek (ayah dari ayah)
3.      Saudara laki-laki sekandung
4.      Saudara laki-laki seayah
5.      Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
6.      Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki seayah
7.      Anak laki-laki paman
Demikian adalah urut-urutan wali dalam sahnya nikah. Seseorang tidak boleh dinikahkan oleh wali yang jauh, selagi masih ada yang dekat. Wali yang dekat lebih berhak sebagaimana dalam warisan. Maka kalau menikah dengan meninggalkan urut-urutan wali tersebut maka tidak sah.[32]
Dan bagi wanita yang tidak mempunyai wai nikah dalam Fikih Sunnah dijelaskan bahwa Qurthubi berkata: jika perempuan yang tinggal disuatu tempat yang tidak ada sultan (pejabat hukum) dan tidak juga mempunyaiwali, maka penyelesaiannya dapat ia serahkan kepada tetangga yang dipercayai untuk meng’aqadkannya. Dalam keadaan demikian tetangga tersebuttelah menjadi wali. Karena setiap orang tentu perlu kawin tetapi dalam melaksanakannya hendaklah sebaik baiknya yang dapat dikerjakan.
Syafi’i juga berpendapat bahwa apabila dalam masyarakat terdapat perempuan yang tidak mempunyai wali, lalu ia mewalikannya kepada seorang laki-laki untuk menikahkannya, maka hukumnya boleh. Karena hal itu merupakan tindakan yang mengangkat hakim. Dan orang yang diangkat hakim sama kedudukannya dengan hakim itu sendiri.[33]
C.    Ketentuan Perundang-Undangan Perwalian
a.      Kitab undang-undang hukum perdata
Dalam kitab undang-undang hukum perdata, ada beberapa pasal yang menjelaskan tentang perwalian, antara lain:
                                                      Pasal 35
Untuk melaksanakan perkawinan, anak sah di bawah umur memerlukan izin kedua orang tuanya. Akan tetapi bila hanya salah seorang dan mereka memberi izin dan yang lainnya telah dipecat dan kekuasaan orang tua atau perwalian atas anak itu, maka Pengadilan Negeri di daerah tempat tinggal anak itu, atas permohonannya, berwenang memberi izin melakukan perkawinan itu, setelah mendengar atau memanggil dengan sah mereka yang izinnya menjadi syarat beserta keluarga keluarga sedarah atau keluarga-keluarga semenda. Bila salah satu orang tua telah meninggal atau berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dan orangtua yang lain.

Pasal 36
Selain izin yang diharuskan dalam pasal yang lalu, anak-anak sah yang belum dewasa memerlukan juga izin dan wali mereka, bila yang melakukan perwalian adalah orang lain daripada bapak atau ibu mereka; bila izin itu diperbolehkan untuk kawin dengan wali itu atau dengan salah satu dan keluarga sedarahnya dalam garis lurus, diperlukan izin dan wali pengawas.
Bila wali atau wali pengawas atau bapak atau ibu yang telah dipecat dan kekuasaan orang tua atau perwaliannya, menolak memberi izin atau tidak dapat menyatakan kehendaknya, maka berlakulah alinea kedua pasal yang lalu, asalkan orangtua yang tidak dipecat dan kekuasaan orang tua atau perwaliannya atas anaknya telah memberikan izin itu.
Pasal 37
Bila bapak atau ibu telah meninggal atau berada dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendak mereka, maka mereka masing-masing harus digantikan oleh orang tua mereka, sejauh mereka masih hidup dan tidak dalam keadaan yang sama.Bila orang lain daripada orang-orang yang disebut di atas melakukan perwalian atas anak-anak di bawah umur itu, maka dalam hal seperti yang dimaksud dalam alinea yang lalu, si anak memerlukan lagi izin dari wali atau alinea dua pasal ini ada perbedaan pendapat atau wali pengawas, sesuai dengan perbedaan kedudukan yang dibuat dalam pasal yang lalu. Alinea kedua Pasal 35 berlaku, bila antara mereka yang izinnya diperlukan menurut alinea satu atau alinea dua pasal ini ada perbedaan pendapat atau bila salah satu atau lebih tidak menyatakan pendiriannya.
Pasal 38
Bila bapak dan ibu serta kakek dan nenek si anak tidak ada, atau bila mereka semua berada dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendak mereka, anak sah yang masih di bawah umur tidak boleh melakukan perkawinan tanpa izin wali dan wali pengawasnya.Bila baik wali maupun wali pengawas, atau salah seorang dari mereka, menolak untuk memberi izin atau tidak menyatakan pendirian, maka Pengadilan Negeri di daerah tempat tinggal anak yang masih di bawah umur, atas permohonannya berwenang memberi izin untuk melakukan perkawinan, setelah mendengar atau memanggil dengan sah wali, wali pengawas dan keluarga sedarah atau keluarga semenda.[34]

b.      Kompilasi Hukum Islam
Dalam kompilasi hukum islam, ada beberapa pasal yang mengatur tentang wali, yakni:
Pasal 20
1)      Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam, yakni muslim, aqil dan baligh.
2)      Wali nikah terdiri dari :
a.       Wali nasab;
b.      Wali hakim.
Pasal 21
1)      Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satudidahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calonmempelai wanita.Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayahdan seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, danketurunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayahdan keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunanlaki-laki mereka.
2)      Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhakmenjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajatkekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
3)      Apabila dalamsatu kelompok sama derajat kekerabatan aka yang paling berhak menjadi walinikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah.
4)      Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandungatau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, denganmengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atauoleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
Pasal 23
1)      Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidakmungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atauenggan.
2)      Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.[35]















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Hadis tentang wali nikah, yakni:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ قُدَامَةَ بْنِ أَعْيَنَ حَدَّثَنَا أَبُو عُبَيْدَةَ الْحَدَّادُ عَنْ يُونُسَ وَإِسْرَائِيلَ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
قَالَ أَبُو دَاوُد وَهُوَ يُونُسُ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ وَإِسْرَائِيلُ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ

Secara singkat hadis tersebut menjelaskan bahwa tak ada pernikahan tanpa adanya seorang wali.
Kwalitas hadis diatas adalah hadis shahih, dikatakan hadis shasih ketika dikutip oleh orang yang adil, cermat dan sanad perawinya sambung atau tidak terputus sampai Rasulullah atau kepada sahabat atau tabi’in.
Syarah hadis tentang wali nikah ini menurut Kitab Subulus Salam-Syarah Kitab Bulughul Marom definisi dari wali adalah orang terdekat dengan mempelai perempuan dari jalur Ashobah. Didalam buku lain di jelaskan bahwa wali adalah orang yang karena sebab nasab, hakim dan Ashobah.
Orang yang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka ialah ayahnya, kemudian kakeknya, kemudian seterusnya ke atas. Kemudian anaknya dan cucunya serta seterusnya ke bawah. Kemudian saudara seayah dan seibu, kemudian saudaranya seayah. Adanya wali penting ketika seseorang akan melaksanakan suatu pernikahan karena menurut hadis diatas bahwa pernikahan tanpa adanya wali yakni tidak sah, masalah pentingnya wali dikuatkan lagi dengan hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah ra. Bahwa Rasulullah mengatakan pernikahan tanpa wali adalah bathil (tidak sah) dan pernyataan ini diulang sampai tiga kali.
Kandungan hukum hadis tentang wali nikah ialah, wali adalah orang yang bertindak atas nama mempelai, dalam hal ini ada dua pihak yang terkait yakni mempelai laki-laki yang dilaksanakan sendiri dan dari pihak perempuan yang di lakukan oleh walinya. Dan bagi wanita yang tidak mempunyai wai nikah dalam Fikih Sunnah dijelaskan bahwa Qurthubi berkata: jika perempuan yang tinggal disuatu tempat yang tidak ada sultan (pejabat hukum) dan tidak juga mempunyaiwali, maka penyelesaiannya dapat ia serahkan kepada tetangga yang dipercayai untuk meng’aqadkannya. Dalam keadaan demikian tetangga tersebuttelah menjadi wali. Karena setiap orang tentu perlu kawin tetapi dalam melaksanakannya hendaklah sebaik baiknya yang dapat dikerjakan.
Ketentuan perundangan terkait dengan wali nikah terdapat pada Pasal 35-38 KUHPer, dan Pasal 20-23 KHI.


[1]Sulaiman bin Ats’ats al-Sijistani Abû Dâud, Sunan Abû Dâud,  (Libanon: Dar al-Fikr 1424 H), 361
[2]Arif Jamaluddin, Hadis Hukum Keluarga, (Surabaya:Cahaya Intan,2014),hlm.49
[3] Yusuf  al-Mazzi, Tahdzîb  al-Kamâl  fîAsma’  al-Rijâl,  juz  15  (Libanon:  Muassasah  ar-Risalah, 2002), hlm. 447-449 (buku ini selanjutnya disebut “Tahdzîb al-Kamâl”).
[4] Ibid., 448-449.
[5] Ibid., hlm. 452-453.
[6]Ibid., juz 3, hlm. 70-71.
[7] Ibid,. Hlm. 69.
[8]Ibid., juz 22, hlm. 103-110.
[9]Ibid., hlm. 110-112.
[10] Ibid,. Hlm. 489-493.
[11]Ibid., juz 2, hlm. 521-524.
[12]Ibid., juz 18, hlm.  473- 476.
[13]ibid., juz 26, hlm. 308-310.
[14]Ibid., juz 11, hlm. 355-356.
[15]Raja’ Musthafa Hazin, I’lâm al-Muhadditsîn wa Manâhijuhum (Kairo: Universitas al-Azhar, t.th), hlm. 136.
[16]Abu Ahmad as-Sidokare , Hadis Sunan al-Dârimî,  (No hadis 2087, 2009), 12.
[17]Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani,Shahih Sunan Tirmdizi (pustakasunnah, 2009), hlm.14.
[18]Abu Abdillah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Mâjah, (Libanon: Dar al-Fikr, 2004), 590
[19] Muhammad bin Ismail Al Amir Ash-Shan’ani, Subulus Salam-Syarah Bulughul Maram,jilid 2, (Jakarta:Darus Sunah, 2009), hlm. 627.
[20] Arif Jamaluddin, Hadis Hukum Keluarga, (Surabaya:Cahaya Intan,2014),hlm.53
[21] al-Mughni, Ibnu Qudamah (VI/456-467).
[22]Ibnu Mas’ud dan Zaninal Abidin S, Edisi Lengkap Fiqih (Madzhab Syafii), (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 268.
[23] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2006), hlm. 69.
[24]Shibhi ibnu Muhammad Romadhon, Dzil Jalali Wal Ikram, Syarah Bulughul Maram,Al Azhar)hlm.47,no.938
[25]Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2083).
[26] Muhammad Ismail Yamani as-Son’anii, Subulus as-Salaam, Syarah Bulughul Maraam, juz 1,(1182H),hlm.956
[27]Arif Jamaluddin, Hadis Hukum Keluarga, (Sidoarjo: CV. Cahaya IntanXII, 2014),  hlm. 56.
[28]Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah,Jilid 7,(Bandung: PT.Al Ma’arif,1997)hlm,30
[29]Abdul Fatah Idris, Abu Ahmadi, Kifayatul Akhyar,Terjemahan Fiqih Islam, (Semarang:1990),hlm 207
[30]Amir Syarifuddin, Op, Cit., hlm. 75-78.
[31] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah,Jilid 7,(Bandung: PT.AlMa’arif,1997), hlm. 11.
[32] Abdul Fatah Idris, Abu Ahmadi, Op.Cit. hlm 208.
[33] Sayyid Sabiq,Op.Cit, hlm.27.
[34] 3 Kitab Undang-Undang KUHPer,KUHP,KUHAP,(Grahamedia Press), hlm.15-17.
[35] Undang-undang RI no.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI(Gramedia Press, 2014), hlm. 339-341.

No comments:

Post a Comment