BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia adalah
makhluk yang sempurna dibandingkan makhluk yang lain. Untuk itu semua yang
dilakukan ada aturan agama yang mengatur. Salah satu aturan yang sangat
menonjol perbedaannya adalah aturan pernikahan. Jika aturan ini diterapkan maka
akan tercipta keturunan yang baik dan benar.
Pernikahan banyak dimuat dalam
al-Qur’an dan hadis, namun aturan teknis bagaimana suatu perkawinan yang sah
hanya dijelaskan oleh hadis. Pernikahan
dianggap sah bila memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan. Beberapa
syarat yang harus terpenuhi dalam nikah diantaranya ialah adanya pria dan
wanita sebagai mempelai, wali, mahar, saksi dan akad (ijab qabul)yang didalamnya harus ada wali bagi pengantin perempuan. Namun,
masih banyak yang melakukan pernikahan tidak sesuai dengan aturan. Kususnya
dalam hal perwalian. Padahal telah dijelaskan wali adalah termasuk rukun
pernikahan.
Wali adalah
suatu ketentuan hukumyang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan
bidang hukumnya. Terdapat dua macam wali yaitu wali yang umum dan wali yang
khusus, yang disebut wali khusus adalah wali yang berkenaan dengan manusia dan
harta benda. Jadi dalam makalah ini akan membahas tentang wali terhadap
manusia, yaitu masalah perwalihan dalam perkawinan yang ditinjau dari hadis.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana hadis tentang
wali nikah?
2. Bagaimana kwalitas hadis tentang wali
nikah?
3. Bagaimana syarah hadis tentang wali
nikah?
4. Bagaimana kandungan hukum hadis tentang
wali nikah?
5. Bagaimana ketentuan perundangan tentang
wali nikah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadis Tentang Wali Nikah
1.
Hadis
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ قُدَامَةَ
بْنِ أَعْيَنَ حَدَّثَنَا أَبُو عُبَيْدَةَ الْحَدَّادُ عَنْ يُونُسَ
وَإِسْرَائِيلَ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
قَالَ
أَبُو دَاوُد وَهُوَ يُونُسُ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ وَإِسْرَائِيلُ عَنْ أَبِي
إِسْحَقَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ
“Muhammad
bin Qudamah bin A’yan telah menceritakan kepada kami, Abu ‘Ubaidah Al Haddad
telah menceritakan kepada kami dari Yunus, dan Israil dari Abu Ishaq dari Abu
Burdah dari Abu Musa bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Tidak
ada (tidak sah)pernikahan kecuali dengan wali”. Abu Dawud berkata : Yunus
meriwayatkan dari Abu Burdah, sedangkan Israil meriwayatkan dari Abu Ishaq dari
Abu Burdah.”[1]
2.
Makna Mufrodat
لانكاح : tidak ada
pernikahan (perkawinan). Ada yang mengatakan tidak ada perkawinan yang sah.
إِلَا
بِوَلِيٍّ :
kecuali dengan wali yaitu orang yang berhak mewakili pasangan yang akan
menikah.[2]
3.
Biografi Perawi
نبي صلى الله عليه وسلم
|
عبد
الله بن قيس بن سليم بن حضر (أبي موسى)
|
الصحابة
|
عامر بن
عبد الله بن قيس
(أبي
بردة)(W.103 H)
|
الوسطي من التا بعين
|
يونس بن
أبي إسحق
(W.152H)
|
عمرو بن
عبد الله بن عبيد
(أبي إسحق)(W.128H)
|
الصغرى من
التابعين
|
الوسطي من التابعين
|
عبد
الواحد بن واصل
(أبو
عبيدة الحدا)(W.190 H)
|
اسرائيل
بن يونس بن ابي اسحق
(W.160H)
|
كبا ر الا تباع
|
محمد بن
قدامة
(W.250)
|
عبد
الواحد بن واصل
(أبو عبيدة الحداد)(W.190H)
|
الصغرى من الاتباع
|
محمد بن
قدامة
(W.250)
|
كبار تبع الاتباع
|
أَبُو
داؤدحَدَّثَنَا
|
a.
Abu Musa al-Asy’ari
Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin
Qais bin Sulaim bin
Hadlar bin Harb
bin ‘Amir bin
‘Atr bin Bakr
bin ‘Amir bin ‘Adzr bin Wail bin Najiyah bin Jumahir
bin al-Asy’ar. Ibu dari Abi Musa bernama Dhaibah binti Wahb dan telah memeluk
Islam sebelum akhirnya ia meninggal di Madinah.
Abu Musa adalah seorang sahabat yang pernah menjadi Khadam
nabi Muhammad Saw dan dikenal sebagai sahabat yang paling merdu
suaranya sehingga nabi memberikan pujian
bahwa Abu Musa adalah salah satu dari sekian banyak seruling keluarga nabi
Daud.[3]
Dalam mempelajari hadis nabi, Abu Musa berguru kepada sembilan
orang guru yang diantaranya adalah
Rasulullah Saw, Ubay bin Ka’ab dan Abdullah bin Mas’ud serta meriwayatkannya
kepada 56 orang murid antara lain adalah
Abu Burdah, Abu kinayah al-Kursy, Anas bin malik al-anshary, dan lain-lain.[4]
Sementara mengenai tahun wafatnya terdapat banyak versi, misalnya
menurut Ali bin ‘Amr al-Anshari yang berasal dari Haitsam bin ‘Adiy dan Abu
Ubaid serta Abu Umar ad-Dharir bahwa Abu Musa meninggal pada Tahun 42 H
sedangkan versi lain seperti dikatakan Abu Nu’aim bahwa ia meninggal pada tahun
44 H dan diperkuat oleh Ibnu Barrad tepatnya pada bulan Dzulhijjah pada umur
sekitar enam puluh tahun lebih. Sedangkan menurut Abu Bakar ia meninggal pada
usianya yang ke-63 tahun tepatnya di kota Makkah.[5]
b.
Abu Burdah bin Abi Musa al-Ays’ari
Nama asli Abu Burdah adalah al-Harits dan menurut pendapat yang
lain adalahAmir bin Abdullah bin Qais. Abu Burdah dikenal sebagai seorang
tabi’in yang faqih
yang berasal dari
Kufah.
Abu Burdah menerima hadis dari 23 orang guru yang termasuk salah
satunya adalah ayahnya sendiri yaitu Abu Musa al-Asy’ari, Muhammad bin maslamah al-anshary Mughirah bin Su’bah dan yang
lainnya serta meriwayatkannya kepada 82 orang murid yang salah satunya
adalah Abu ishaq
al-Sabi’iy.Sementara mengenai tahun wafatnya, menurut al-Waqidiy, Abu
Burdah meninggal di Kufah pada tahun 103 H sedangkan menurut
yang lainnya seperti Khalifah bin Khayyad, Abu Ubaid
al-Qasim bin Sallam, Abu Hatim ibnu Hibban
dan yang selainnya mengatakan bahwa ia meninggal pada tahun 104 H.[6]
Beberapa penilaian yang diberikan oleh para kritikus hadis mengenai
aspek intelektualitas dan kualitas pribadi Abu Burdah adalah penilaian yang
diberikan oleh Muhammad bin Sa’ad dalam kitab Thabaqatnya bahwa Abu Burdah
adalah orang yang tsiqah dan banyak mengahafal hadis. Begitu pula menurut Ahmad
bin Abdullah al-‘Ijliy, bahwa Abu Burdah adalah seorang tabi’in yang berasal
dari kufah yang dikenal sebagai tabi’in yang faqih dan tsiqah.
Berbeda dengan penilaian Abdurrahman bin Yusuf bin Khirasy, dalam
satu kesempatan ia menilai Abu Burdah
dengan predikat shaduq dan pada kesempatan yang lain ia menilainya sebagai
orang yang tsiqah. Namun Ibnu Hibban memasukkan Abu Burdah ke dalam kitab
kompilasinya, Al-Tsiqât.[7]
c.
Abu Ishaq al-Sabi’iy al-Kufiy
Nama asli beliau adalah ‘Amr bin Abdullah bin Ubaid dan menurut
versi lain adalah ‘Amr bin Abdullah bin Ali dan ada juga yang berpendapat
bahwa nama aslinya adalah ‘Amr bin
Abdullah bin Abi
Sya’irah.Ia mempelajari
hadis dari 151
guru yang diantaranya
adalah Abu Burdah
bin Abu Musa al-Asy’ari, Bara’ bin ‘Azib serta Anas bin Malik dan
meriwayatkannya kepada 86 orang
murid yakni Yunus bin
Abi Ishaq, Israil bin Yunus bin Abi Ishaq, Ismail bin Abi khalid dan
yang lainnya.[8]
Penilaian para kritikus hadis terhadap kualitas pribadi dan
intelektualitas Abu Ishaq dapat disimak
dari pernyataan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal bahwa pada suatu ketika ia bertanya kepada ayahnya manakah
yang lebih disenangi antara Abu Ishaq dan as-Sudday? Maka ayahnya menjawab bahwa
Abu Ishaq adalah orang yang tsiqah akan tetapi
kebanyakan mereka menerima hadis dari
yang selainnya.
Penilaian lain berasal dari Yahya bin Ma’in yang dinukil oleh Ishaq
bin Mansyur bahwa Abu Ishaq adalah orang yang tsiqahbegitu pula dengan
penilaian an-Nasa’i. Sejalan dengan penilaian di atas, menurut al-‘Ijliy, Abu
Ishaq adalah orang tsiqah dan telah menerima hadis dari 38 sahabat nabi bahkan
menurut Ali bin al-Madiniy ia mempunyai guru antara tiga ratus sampai empat
ratus guru.
Adapun mengenai tanggal wafatnya terdapat banyak versi yang
dimajukan oleh para ulama, al-Khumaidy misalnya, berpendapat bahwa Abu
Ishaq meninggal pada tahun 126H, berbeda
denganpenjelasan Ahmad bin Hanbalyang diperkuat oleh al-Waqidiy, Haitsam bin
‘Adiy, Yahya bin Bukair, Muhammad bin Abdullah bin Numair menurutnya Abu Ishaq
meninggal dunia bertepatan dengan
masuknya Dhahhak binQais ke Kufah tepatnya pada
tahun 127 H. Menurut Abu Bakar bin Abi Syaibah beliau meninggal dunia
pada usia 96 tahun.[9]
d.
Yunus bin Abi Ishaq
Nama asli beliau adalah ‘Amr bin Abdullah al-Hamdani al-Sabi’iy. Nama julukannya adalah Abu israil al-Kufy. Ia
adalah ayah dari Israil bin Yunus dan ‘Isa bin Yunus. Yunus meninggal pada
tahun 159 H. Demikian menurut keterangan Muhammad bin Sa’ad, Khalifah ibnu Khayyad,
Muhammad bin Abdullah al-Hadramiy dan
masih banyak yang lainnya. Pendapat inilah yang dianggap sebagai pendapat yang
paling kuat. Sedangkan versi lain
menyebutkan ia meninggal pada tahun 157 H atau 158 H dan menurut Abu
Hasan al-Madainiy, ia meninggal pada tahun 152.
Dalam mempelajari hadis ia memiliki 24 guru yang diantaranya adalah
ayahnya sendiri yaitu Abu Ishaq al-Sabi,iy, Abu Burdah bin Abu Musa alAsy’ari, Hilal bin Khabbab dan yang lainnya
serta meriwayatkan hadis kepada 44 orang murid yang salah satunya adalah Abu
Ubaidah Abdul Wahid bin Washil al-Haddad, Abdullah bin al-Mubarak dan Simail
bin ‘Ayyas.
Beberapa penilaian yang dikemukakan oleh para krtikus hadis
mengenai kualitas pribadi dan
intelektualitas Yunus dapat disimak dari pernyataan Amar binAli,
menurutnya Abdurrahman bin Mahdi berkata bahwa Yunus berhak untuk diberikan
predikat lam yakun bihî ba’sun. penilaian yang sama dikemukakan oleh Ishak bin
Mansur, Ahmad bin Sa’ad bin Abi Maryam, Usman bin Sa’id al-Dârimî yang berasal
dari Yahya bin Ma’in bahwa Yunus adalah orang yang tsiqah.
Sedangkan menurut an-Nasa’i ia dapat diberikan predikat laisa bihî
ba’sun.Berbeda dengan penilaian di atas adalah penilaian yang dimajukan oleh
Abu Hatim bahwa Yunus adalah orangyang
jujur namun hadisnya tidak dapat dijadikan sebagai hujjjah.[10]
e.
Israil bin Yunus
Beliau mempunyai nama lengkap Israil bin Yunus bin Abi Ishak al
Hamdani al-Sabi’iy yang lebih dikenal dengan panggilan Abu Yusuf al-Kufy. Ia merupakan
saudara tertua Isa bin Yunus. Mengenai tanggal lahir dan wafatnya terdapat beberapa versi yang dikemukakan oleh
para ulama. Menurut Harun bin Hatim yang dinukil dari Dubais bin Humaid, Israil
dilahirkan pada tahun 100 H dan meninggal
pada tahun 161
H, begitu pula menurut Muhammad bin Abdullah
al-Hadramiy.
Versi lain dikemukakan oleh Abu Nua’im dan Qa’nab bin al-Muharrar
yang menurutnya beliau meninggal pada tahun 160 H sementara menurut Khalifah
bin Khayyad dan Muhammad bin Sa’ad ia meninggal pada tahun 162 H.
Penilaian yang diberikan
oleh para kritikus
hadis terhadap kualitas pribadi dan intelektualitas Israil
bin Yunus pun beragam,misalnya Ahmad bin Saad bin Abi Maryam dan Abu Bakar bin
Abi Khaitsamah yang berasal dari Yahya
mengatakan bahwa Yunus adalah orang yang tsiqah. Sementara menurut
al-‘Ijli dan Abu Hatim, Yunus adalah orang yang lebih dipercaya dibandingkan
keturunan Abu Ishaq lainnya.
Penilaian lain juga dikemukakan oleh an-Nasa’i yangmemberikan
predikat laisa bihî ba’sun. Sedangkan menurut Ya’kub bin Syaibah, yunus
berhak diberikan predikat shâlih
al-hadîs mengingat dalam hadis yang dibawanya
terdapat kelemahan namun pada kesempatan yang lain dia memberikan penilaian bahwa Yunus tergolong orang yang
tsiqah dan terpercaya namun hadis yang diriwayatkannya tidak cukup kuat
untuk dijadikan hujjah tetapi juga tidak
dapat dianggap sebagai orang yang gugur (saqitun).[11]
f.
Abu Ubaidah
Nama asli beliau adalah Abdul Wahid bin Washil as-Sadusi namun popular
dengan sebutan Abu
Ubaidah al-Haddad al-Bashri.
Ia berdomisili di Baghdaddan meninggal pada tahun 190 H sesuai dengan
penjelasan Abu Qilabah ar-Raqasyi menurutnya ia dilahirkan pada tahun 190 H
bertepatan dengan meninggalnya Abu Ubaidah al-Haddad.
Abu Ubaidah menerima hadis dari empat puluh orang guru termasuk di dalamnya adalah Yunus bin Abi Ishaq, Hisyam
bin Hassan dan Israil bin Yunus bin Abi Ishaq dan meriwayatkannya kepada
tujuh belas orang murid antara lain adalah Muhammad bin Qudamah
bin A’yan al-Mishshishi dan yang lainnya.
Penilaian lain diberikan oleh Abdul Khaliq bin Mansur yang
dinukilnya dari Yahya bin Ma’in bahwa Abu Ubaidah adalah orang yang tsiqah.
Ahmad bin Abdillah al-‘ijli, Ya’kub bin
Sufyan serta Abû Dâud memberikan predikat tsiqahbegitu juga
penilaian Ya’kub bin Syaibah bahkan menurutnyatidak hanya
tsiqah tetapi juga
dikenal sebagai shâlih al-hadîts.
Sementara Ibnu Hibban memasukkannya ke dalam kitab “Al-Tsiqât”nya.[12]
g.
Muhammad bin Qudamah
Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Qudamah bin A’yan bin Miswar
al-Qursy Abu Abdillah al-Mishshishi. Menerima hadis dari enam belas
orang guru yang termasuk di dalamnya
adalah Abu Ubaidah al-Haddad, Sufyan bin Uyaynah, Waki’ bin Jarrah dan lain-lain
serta meriwayatkannya kepada 25 orang
murid yang diantaranya adalah Abû Dâud as-sijistani, an-Nasa’i, Muhammad bin
Musayyib bin Ishaq al-Argiyani dan lain-lain.
Penilaian terhadap Muhammad bin Qudamah dapat disimak dari
pernyataan Abu Bakar al-Barqaniy ketika
bertanya kepada Abul Hasan adDaruqutni
mengenai ketsiqahan Muhammad bin Qudamah lalu Abul Hasan menjawab bahwa
ia adalah orang yang tsiqah. Sementara an-Nasa’i pada satu kesempatan
menyatakannya dengan la ba’sa bihî dan pada kesempatan lain menyatakan dengan
shalihserta ibnu Hibban memasukkannya ke dalam kitab “Al-Tsiqât”nya.Beliau
meninggal pada tahun sekitar 250 H.[13]
h.
Abû Dâud
Nama lengkap beliau menurut Abdurrahman bin Abi Hatim adalah
Sulaiman bin Asy’ats bin Syaddad bin ‘Amr bin ‘Amir. Sedangkan menurut Muhammad
bin Abdul Aziz al-Hasyimi adalah Sulaiman bin Asy’ats bin Bisyr bin Syaddad.[14]Mengenai
persambungan antara Abu Daud dan Muhamad bin Qudamah sebagai guru dari Abû Dâud
penulis tidak menemukannya dalam biografi Abû Dâud sekalipun nama Abû Dâud
diakui sebagai murid dari Muhammad bin
Qudamah.
Kuat dugaan hal tersebut disebabkan terlalu banyaknya guru Abu
Daud seperti dikatakan oleh Ibnu Hajar
bahwa guru Abû Dâud mencapai
tiga ratus orang guru sehingga para pengarang tidak
memaparkannya secara
keseluruhan.Ini terbukti misalnya
dalam kitab Badzl al-majhûd fî
Halli Sunan Abî Dâud yang merupakan salah satu syarah dari kitab Sunan Abû Dâud
hanya disebutkan sebanyak 20 orang guru
yang dianggap sebagai guru
yang paling populer.
Sementara dalam kitab Tahdzîb al-Kamâl fî Asma’ al-Rijâl disebutkan
sebanyak 173. Komentar para kritikus hadis mengenai Abû Dâud dapat disimak dari perkataan Musa bin Harun bahwa
ia tidak pernah tahu tentang orang yang
lebih utama dari Abû Dâud sehingga ia menyuruh kepada Ahmad Muhammad bin Yahya
bin Abi Saminah untuk menulis hadis yang diperoleh dari Abu Daud. Berbeda
dengan penilaian Maslamah bin Qasim, menurutnya Abû Dâud adalah orang yang
tsiqah, zuhud, paham tentang hadis serta untuk
mendapatkan penjelasan secara
lebih detail periksa
dalam, Khalil Ahmad
as-Saharanfuri,menjadi imam pada
masanya.
Beliau meninggal dunia
pada tahun 275 H tepatnya pada tanggal 16 Syawal 275 H dalam
usia 73 tahun.Dengan memperhatikan kebersambungan sanad antara seorang guru dan
murid dalam transmisi periwayatan hadis di atas, maka sanad hadis ini telah
memenuhi standar kesahihan yang telah ditetapkan oleh para ulama hadis, sekalipun dari sisi
kualitas pribadi dan intelektualitas
perawi yang bersangkutan tidak mencapai derajat ta‘dîltertinggi.[15]
4.
Kedudukan Hadis
Berdasarkan urutan sanadnya yang bersambung dengan periwayatan
perawi yang adil, dhabit, dari perawi pertama hingga perawi terakhirnya tidak
mengandung syazz dan illat hadis ini
termasuk hadis Shahih. Karena setelah mencermati pertautan umur antara satu
generasi dengan generasi dibawahnya, berdasarkan tahun wafatnya, dengan
tenggang waktu kesempatan hidup 60 tahun untuk setiap generasinya, maka diguga
kuat terdapat kesezamanan antara satu generasi dengan generasi yang dibawahnya.
Selain itu para perawinya dinilai tsiqoh, sehingga derajat hadisnya sahih. Jadi
dapat disimpulkan bahwa hadis ini adalah hadis Shahih Li Dzatihi karena telah memenuhi persyaratan hadis shahih
semuanya.
5.
Hadis Pendukung
a.
Sunan
al-Dârimî
أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ أَبِي
إِسْحَقَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
Telah
mengabarkan kepadaku Malik bin Isma'il telah menceritakan kepada
kami Isra`il dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari Ayahnya,
ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak sah
pernikahan tanpa seorang wali."[16]
b.
Sunan
Tirmidzi
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ أَخْبَرَنَا شَرِيكُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ
و حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ ح و
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ
عَنْ إِسْرَائِيلَ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ ح و حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي
زِيَادٍ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ حُبَابٍ عَنْ يُونُسَ بْنِ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ
أَبِي إِسْحَقَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
“Ali bin Hujr
menceritakan kepada kami, Syarik bin Abdullah memberitahukan kepada kami dari
Abu Ishak, Qutaibah menceritakan kepada kami, Abu Awanah memberitahukan kepada
kami dari Abu Ishak, Muhammad bin Basyar menceritakan kepada kami, Abdurrahman
bin Mahdi menceritakan kepada kami dari Israil, dari Abu Ishak, Abdullah bin
Abu Ziyad menceritakan kepada kami, Zaid bin Hubab memberitahukan kepada kami
dari Yunus bin Abu Ishak, dari Abu Burdah, dari Abu Musa, ia berkata, "Rasulullah
SAW bersabda, 'Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan wali'.”[17]
c.
Sunan
Ibnu Majah
حدثنا
محمد بن عبد الملك بن أبي الشوارب ثنا أبو عوانة ثنا أبو إسحاق الهمداني عن أبي
بردة عن أبي موسى قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا نكاح إلا بولي
Bercerita kepada
kami Muhammad bin `Abdul Mâlik bin Abi Abi Syawârib, bercerita kepada kami Abu
`Awanah bercerita kepada kami Abu Ishaq al-Mahdâni dari Abi Burdah dari Abi
Musa berkata: bersabda Rasulullah saw “Tidak ada pernikahan kecuali ada wali”.[18]
6.
Penjelasan Hadis
Sebelum memperluas bahasan yang terkandung dalam hadis ini, kita
akan mendefinisikan pengertian dari wali. Dalam kitab Subulus Salam diterangkan
bahwa wali adalah orang terdekat dengan si wanita dari golongan kerabat ashabahnya, bukan kerabat dari dzawil arham.[19]
Dalam buku lain dijelaskan wali menurut jumhur ulama’ adalah orang yang
terdekat dari jalur nasab, jalur sebab (seperti wali hakim), dan jalur ashobah. Sedangkan selain ashobah yaitu orang yang mendapat bagian
pasti dalam warisan (dzawil furudl
atau dzawis saham) dan dzawil arham tidak mempunyai wilayah
dalam hal menjadi wali. Sedangkan menurut Abu Hanifah dzawil arham bisa
dimasukkan dalam kategori wali.[20]
Berbicara tentang wali nikah, maka yang perlu diketahui tentang
wali selain pengertian wali adalah kedudukan wali bagi mempelai dan seberapa
penting wali dalam pelaksanaan pernikahan. Dan manusia yang paling berhak untuk menikahkan wanita
merdeka ialah ayahnya, kemudian kakeknya, kemudian seterusnya ke atas. Kemudian
anaknya dan cucunya serta seterusnya ke bawah. Kemudian saudara seayah dan
seibu, kemudian saudaranya seayah.[21]
Wali adalah orang yang akan mengawinkan perempuan.[22]
Seorang mempelai perempuan yang hendak melangsungkan pernikahan harus ada orang
yang akan menikahkannya. Kedudukan wali
bagi mempelai adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinannya apabila tidak
dilakukan oleh wali.[23]
Urgensi atau pentingnya wali nikah dilihat dari hadits diatas dan
dikuatkan lagi dengan hadits Rasulullah yang lain yang berbunyi:
وعن
عائشة قالت :قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ
بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ،
فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ
مِنْ فَرْجِهَا، فَإِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَه[24]ُ.
“Dan
dari Aisyah R.A berkata: Rasulullah bersabda : Siapa saja wanita yang menikah
tanpa seizin walinya, maka nikahnya bathil (tidak sah), pernikahannya bathil,
pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak
mendapatkan mahar dengan sebab menghalalkan kemaluannya. Jika mereka
berselisih, maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak
mempunyai wali.”[25]
Kemudian
dikuatkan juga dengan hadis Rosulullah di bawah ini :
وعن
أبى بردة بن أبى موسى, عن أبيه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم (لانكاح
إلا بو لى).رواه أحمد والأربعة, و صححه ابن المدينى والترمذى وابن حبان, وأعل
بلإرسال[26]
Maka dapat disimpulkan bahwa wali
berkedudukan sangat penting dari pada serangkaian ketentuan-ketentuan
pernikahan.
Terlepas dari hadits tersebut, adanya peran
wali (orang tua) dalam suatu penikahan menjadi sangat dibutuhkan. Mengingat
seorang gadis yang akan menikah berarti belum terlepas penuh dari tanggung
jawab orang tuanya, maka seharusnya mempelai laki-laki meminta meng-akadkan
pernikahannya barulah setelah itu tanggung jawab orangtua menjadi tanggung
jawab suami.
Jadi dalam hadis ini menjelaskan bahwa tidak
ada pernikahan kecuali dengan wali. Yang dimaksud “tidak ada pernikahan” adalah
tidak sah atau tidak sempurna pernikahan seseorang jika tanpa wali.
B.
Kandungan Hukum Hadis
Wali
adalah seorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad
nikah yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh
mepelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.[27]
Sebagaimana
yang telah dijelaskan diatas tentang pentingnya wali, dalam pernikahan
kedudukan wali adalah rukun suatu perkawinan. Orang yang berhak menempati
kedudukan wali ada tiga kelompok, yakni:
1.
Wali
nasab, yaitu wali yang mempunyai hubungan tali kekeluargaan dengan wanita yang
akan kawin.
2.
Wali
mu’thiq, yaitu wali untuk seorang hamba sahaya yang pernah dimerdekakannya.
3.
Wali
hakim, yaitu orang yang menjadi wali dalam kedudukannya menjadi pejabat hukum
(hakim) atau penguasa. Dalam hala ini yang berwewenang wali berpindah ke tangan
hakim, apabil.
a. Ada pertentangan diantara wali-wali
b. Bilamana walinya tidak ada dalam pengertian tidak ada yang absolute
(mati, hilang) atau karena ghaib. Maka wali hakim berhakmeng’aqadkan, kecuali
jika perempuan dan laki-laki yang mau kawin tersebut bersedia menanti
kedatangan walinya yang ghaib itu. Dalam sebuah hadis disebutkan:
ثَلاَثُ
لَا يُؤَخَّرْنَ, وَهُنَّ الصَّلاَةُ إِذَااَتَتْ, وَالَجنَازَةُ اِذَا حَضَرَتْ
وَالَايَّمُ اِذَ وَجَدَتْ كُفْؤًا.
“Tiga perkara tidak boleh ditunda-tunda
yaitu: shalat bila telah tiba waktunya, jenazah bila telah siap, dan perempuan
bila ia telah ditemukan pasangannya yang sepadan.” (H.R. Baihaqi dan lain-lain
dari Ali)[28]
Sedangkan orang
yang berhak menjadi wali, adalah orang yang memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1.
Telah
dewasa dan berakal sehat;
2.
Laki-laki,
ulama hanafiyah dan ulama syi’ah berbeda pendapat dalam persyaratan ini.
Menurut mereka perempuan yang telah dewasa dan berakal sehat dapat menjadi wali
bagi dirinya sendiri dan dapat pula menjadi wali untuk perempuan lain yang
mengharuskan adanya wali.
3.
Muslim,
tidak sah orang yang tidak beragama islam menjadi wali untuk muslim, hal ini
berdalil dari firman Allah dalam surat ali imran ayat 28:
“ janganlah orang-orang mukmin mengambil orang kafir menjadi
wali dengan meninggalkan orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya
lepaslah ia dari pertolongan Allah”.
Dan dalam hadis Nabi :
“Tidak sah nikah kecuali dengan (oleh)wali yang mursyid”[29]
4.
Orang
merdeka;
5.
Tidak
bearada dalam pengampuan atau Mahjur ‘Alaih;
6.
Berpikiran
baik;
7.
Tidak
sedang melakukan ihram untuk haji atau umroh.[30]
8.
Adil
dalam arti tidak pernah terlibat dalam dosa besar dan tidak sering terlibat
dosa kecil serta tetap memelihara muru’ah atau sopan santun. Namun dalam fiqih
Islam dijelaskan bahwa seorang wali tidak disyaratkan adil. Jadi seorang yang
durhaka tidak kehilangan hak menjadi wali dalam perkawinan, kecuali kalau
kedurhakaannya itu melampaui batas-batas kesopanan yang berat.[31]
Kemudian
juga dijelaskan dalam kitab Fiqih Islam bahwa wali mempunyai urut-urutan wali
sebagai berikut :
1.
Ayah
2.
Kakek
(ayah dari ayah)
3.
Saudara
laki-laki sekandung
4.
Saudara
laki-laki seayah
5.
Keponakan
laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
6.
Keponakan
laki-laki dari saudara laki-laki seayah
7.
Anak
laki-laki paman
Demikian
adalah urut-urutan wali dalam sahnya nikah. Seseorang tidak boleh dinikahkan
oleh wali yang jauh, selagi masih ada yang dekat. Wali yang dekat lebih berhak
sebagaimana dalam warisan. Maka kalau menikah dengan meninggalkan urut-urutan
wali tersebut maka tidak sah.[32]
Dan
bagi wanita yang tidak mempunyai wai nikah dalam Fikih Sunnah dijelaskan bahwa
Qurthubi berkata: jika perempuan yang tinggal disuatu tempat yang tidak ada
sultan (pejabat hukum) dan tidak juga mempunyaiwali, maka penyelesaiannya dapat
ia serahkan kepada tetangga yang dipercayai untuk meng’aqadkannya. Dalam
keadaan demikian tetangga tersebuttelah menjadi wali. Karena setiap orang tentu
perlu kawin tetapi dalam melaksanakannya hendaklah sebaik baiknya yang dapat
dikerjakan.
Syafi’i
juga berpendapat bahwa apabila dalam masyarakat terdapat perempuan yang tidak
mempunyai wali, lalu ia mewalikannya kepada seorang laki-laki untuk
menikahkannya, maka hukumnya boleh. Karena hal itu merupakan tindakan yang
mengangkat hakim. Dan orang yang diangkat hakim sama kedudukannya dengan hakim
itu sendiri.[33]
C.
Ketentuan Perundang-Undangan Perwalian
a.
Kitab undang-undang hukum perdata
Dalam kitab undang-undang hukum perdata, ada beberapa pasal yang menjelaskan
tentang perwalian, antara lain:
Pasal
35
Untuk melaksanakan perkawinan, anak sah di
bawah umur memerlukan izin kedua orang tuanya. Akan tetapi bila hanya salah
seorang dan mereka memberi izin dan yang lainnya telah dipecat dan kekuasaan orang
tua atau perwalian atas anak itu, maka Pengadilan Negeri di daerah tempat
tinggal anak itu, atas permohonannya, berwenang memberi izin melakukan
perkawinan itu, setelah mendengar atau memanggil dengan sah mereka yang izinnya
menjadi syarat beserta keluarga keluarga sedarah atau keluarga-keluarga
semenda. Bila salah satu orang tua telah meninggal atau berada dalam keadaan
tak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dan orangtua yang
lain.
Pasal 36
Selain izin
yang diharuskan dalam pasal yang lalu, anak-anak sah yang belum dewasa
memerlukan juga izin dan wali mereka, bila yang melakukan perwalian adalah
orang lain daripada bapak atau ibu mereka; bila izin itu diperbolehkan untuk
kawin dengan wali itu atau dengan salah satu dan keluarga sedarahnya dalam
garis lurus, diperlukan izin dan wali pengawas.
Bila wali atau
wali pengawas atau bapak atau ibu yang telah dipecat dan kekuasaan orang tua
atau perwaliannya, menolak memberi izin atau tidak dapat menyatakan
kehendaknya, maka berlakulah alinea kedua pasal yang lalu, asalkan orangtua
yang tidak dipecat dan kekuasaan orang tua atau perwaliannya atas anaknya telah
memberikan izin itu.
Pasal
37
Bila bapak atau
ibu telah meninggal atau berada dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendak
mereka, maka mereka masing-masing harus digantikan oleh orang tua mereka,
sejauh mereka masih hidup dan tidak dalam keadaan yang sama.Bila orang lain
daripada orang-orang yang disebut di atas melakukan perwalian atas anak-anak di
bawah umur itu, maka dalam hal seperti yang dimaksud dalam alinea yang lalu, si
anak memerlukan lagi izin dari wali atau alinea dua pasal ini ada perbedaan
pendapat atau wali pengawas, sesuai dengan perbedaan kedudukan yang dibuat
dalam pasal yang lalu. Alinea kedua Pasal 35 berlaku, bila antara mereka yang
izinnya diperlukan menurut alinea satu atau alinea dua pasal ini ada perbedaan
pendapat atau bila salah satu atau lebih tidak menyatakan pendiriannya.
Pasal
38
Bila bapak dan
ibu serta kakek dan nenek si anak tidak ada, atau bila mereka semua berada
dalam keadaan tak mampu menyatakan kehendak mereka, anak sah yang masih di
bawah umur tidak boleh melakukan perkawinan tanpa izin wali dan wali
pengawasnya.Bila baik wali maupun wali pengawas, atau salah seorang dari
mereka, menolak untuk memberi izin atau tidak menyatakan pendirian, maka
Pengadilan Negeri di daerah tempat tinggal anak yang masih di bawah umur, atas
permohonannya berwenang memberi izin untuk melakukan perkawinan, setelah
mendengar atau memanggil dengan sah wali, wali pengawas dan keluarga sedarah
atau keluarga semenda.[34]
b.
Kompilasi Hukum Islam
Dalam kompilasi
hukum islam, ada beberapa pasal yang mengatur tentang wali, yakni:
Pasal 20
1)
Yang
bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum
Islam, yakni muslim, aqil dan baligh.
2)
Wali
nikah terdiri dari :
a.
Wali
nasab;
b.
Wali
hakim.
Pasal 21
1)
Wali
nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang
satudidahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan
dengan calonmempelai wanita.Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus
keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayahdan seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat saudara
laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, danketurunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat paman,
yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayahdan keturunan laki-laki
mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki
kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunanlaki-laki mereka.
2)
Apabila
dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama
berhakmenjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat
derajatkekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
3)
Apabila
dalamsatu kelompok sama derajat kekerabatan aka yang paling berhak menjadi
walinikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah.
4)
Apabila
dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat
kandungatau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi
wali nikah, denganmengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
Pasal
22
Apabila
wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali
nikah atauoleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau
sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut
derajat berikutnya.
Pasal 23
1)
Wali
hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau
tidakmungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib
atau adlal atauenggan.
2)
Dalam
hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali
nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.[35]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hadis tentang wali nikah, yakni:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ قُدَامَةَ
بْنِ أَعْيَنَ حَدَّثَنَا أَبُو عُبَيْدَةَ الْحَدَّادُ عَنْ يُونُسَ
وَإِسْرَائِيلَ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
قَالَ
أَبُو دَاوُد وَهُوَ يُونُسُ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ وَإِسْرَائِيلُ عَنْ أَبِي
إِسْحَقَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ
Secara singkat hadis tersebut menjelaskan
bahwa tak ada pernikahan tanpa adanya seorang wali.
Kwalitas hadis diatas adalah hadis
shahih, dikatakan hadis shasih ketika dikutip oleh orang yang adil, cermat dan
sanad perawinya sambung atau tidak terputus sampai Rasulullah atau kepada
sahabat atau tabi’in.
Syarah hadis tentang wali nikah ini
menurut Kitab Subulus Salam-Syarah Kitab
Bulughul Marom definisi dari wali adalah orang terdekat dengan mempelai
perempuan dari jalur Ashobah. Didalam
buku lain di jelaskan bahwa wali adalah orang yang karena sebab nasab, hakim
dan Ashobah.
Orang yang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka ialah
ayahnya, kemudian kakeknya, kemudian seterusnya ke atas. Kemudian anaknya dan
cucunya serta seterusnya ke bawah. Kemudian saudara seayah dan seibu, kemudian
saudaranya seayah. Adanya wali penting ketika seseorang akan melaksanakan suatu
pernikahan karena menurut hadis diatas bahwa pernikahan tanpa adanya wali yakni
tidak sah, masalah pentingnya wali dikuatkan lagi dengan hadis yang
diriwayatkan oleh Aisyah ra. Bahwa Rasulullah mengatakan pernikahan tanpa wali
adalah bathil (tidak sah) dan pernyataan ini diulang sampai tiga kali.
Kandungan hukum hadis tentang wali
nikah ialah, wali adalah orang yang bertindak atas nama mempelai, dalam hal ini
ada dua pihak yang terkait yakni mempelai laki-laki yang dilaksanakan sendiri
dan dari pihak perempuan yang di lakukan oleh walinya. Dan bagi wanita yang tidak mempunyai wai nikah dalam Fikih Sunnah
dijelaskan bahwa Qurthubi berkata: jika perempuan yang tinggal disuatu tempat
yang tidak ada sultan (pejabat hukum) dan tidak juga mempunyaiwali, maka
penyelesaiannya dapat ia serahkan kepada tetangga yang dipercayai untuk
meng’aqadkannya. Dalam keadaan demikian tetangga tersebuttelah menjadi wali.
Karena setiap orang tentu perlu kawin tetapi dalam melaksanakannya hendaklah
sebaik baiknya yang dapat dikerjakan.
Ketentuan perundangan terkait dengan wali nikah
terdapat pada Pasal 35-38 KUHPer, dan Pasal 20-23 KHI.
[1]Sulaiman bin
Ats’ats al-Sijistani Abû Dâud, Sunan Abû Dâud, (Libanon: Dar al-Fikr 1424 H), 361
[2]Arif
Jamaluddin, Hadis Hukum Keluarga, (Surabaya:Cahaya Intan,2014),hlm.49
[3] Yusuf al-Mazzi, Tahdzîb al-Kamâl
fîAsma’ al-Rijâl, juz
15 (Libanon: Muassasah
ar-Risalah, 2002), hlm. 447-449 (buku ini selanjutnya disebut “Tahdzîb al-Kamâl”).
[4] Ibid., 448-449.
[5] Ibid., hlm. 452-453.
[7] Ibid,. Hlm. 69.
[10] Ibid,. Hlm. 489-493.
[15]Raja’
Musthafa Hazin, I’lâm al-Muhadditsîn wa Manâhijuhum (Kairo: Universitas
al-Azhar, t.th), hlm. 136.
[17]Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani,Shahih Sunan Tirmdizi (pustakasunnah, 2009), hlm.14.
[18]Abu Abdillah
Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Mâjah, (Libanon: Dar al-Fikr, 2004), 590
[19] Muhammad bin
Ismail Al Amir Ash-Shan’ani, Subulus Salam-Syarah Bulughul Maram,jilid 2, (Jakarta:Darus
Sunah, 2009), hlm. 627.
[20] Arif
Jamaluddin, Hadis Hukum Keluarga, (Surabaya:Cahaya Intan,2014),hlm.53
[22]Ibnu Mas’ud dan
Zaninal Abidin S, Edisi Lengkap Fiqih (Madzhab Syafii), (Bandung:
Pustaka Setia, 2007), hlm. 268.
[23] Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2006), hlm. 69.
[24]Shibhi ibnu Muhammad Romadhon, Dzil Jalali Wal Ikram, Syarah Bulughul
Maram,Al Azhar)hlm.47,no.938
[25]Hadits shahih:
Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2083).
[26] Muhammad
Ismail Yamani as-Son’anii, Subulus as-Salaam, Syarah Bulughul Maraam,
juz 1,(1182H),hlm.956
[27]Arif
Jamaluddin, Hadis Hukum Keluarga, (Sidoarjo: CV. Cahaya IntanXII,
2014), hlm. 56.
[28]Sayyid Sabiq, Fikih
Sunnah,Jilid 7,(Bandung: PT.Al Ma’arif,1997)hlm,30
[29]Abdul Fatah
Idris, Abu Ahmadi, Kifayatul Akhyar,Terjemahan Fiqih Islam,
(Semarang:1990),hlm 207
[30]Amir
Syarifuddin, Op, Cit., hlm. 75-78.
[31] Sayyid Sabiq, Fikih
Sunnah,Jilid 7,(Bandung: PT.AlMa’arif,1997), hlm. 11.
[32] Abdul Fatah
Idris, Abu Ahmadi, Op.Cit. hlm 208.
[33] Sayyid Sabiq,Op.Cit,
hlm.27.
[35] Undang-undang
RI no.1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
KHI(Gramedia Press, 2014), hlm. 339-341.
No comments:
Post a Comment