PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan
adalah ikatan yang mulia dan diberkahi. Allah telah mensyari’atkan pernikahan untuk
kemaslahatan dan kemanfaatan hamba-hamba-Nya, agar dengannya mereka dapat
mencapai maksud-maksud yang baik dan tujuan-tujuan yang mulia. Kenyataan hidup
membuktikan bahwa memelihara kelestarian dan kesinambungan hidup bersama suami
istri itu bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan, bahkan dalam banyak hal
kasih sayang dan kehidupan yang harmonis antara suami istri itu tidak dapat
diwujudkan.
Ketika
hubungan tersebut tidak dapat dipertahankan lagi, maka perceraian merupakan
solusi terakhir yang tak mungkin dihindari. syariat
mengikat perkawinan, tetapi tidak mempermudah perceraian karena merupakan
pihak yang paling dirugikan akibat perceraian kedua orang tuanya adalah anak.
Anak akan kehilangan kasih sayang yang sangat dibutuhkan secara utuh dari kedua
orang tua. Tidak ada anak yang hanya ingin mendapatkan kasih sayang dari
ayahnya atau ibunya saja.
Mereka
mengira bahwa Perceraian dipilih karena dianggap sebagai solusi dalam mengurai
benang kusut perjalanan bahtera rumah tangga. Sayangnya, perceraian tidak
selalu membawa kelegaan. Sebaliknya, seringkali perceraian justru menambah
berkobarnya api perseteruan. Salah satu pemicu perseteruan adalah masalah hak
asuh anak. Karena hal-hal seperti itulah, kewajiban memberikan nafkah dan
memelihara anak tidak gugur dengan terjadinya perceraian. Pemeliharaan anak
setelah terjadi perceraian dalam bahasa fiqih disebut dengan hadhanah. Persoalannya jika terjadi
perceraian, siapakah yang berhak untuk memelihara si anak.
Oleh
karena itu dalam hal ini penulis akan membahas tentang Hadhanah atau
biasa sering di sebut hak asuh anak setelah terjadinya perceraian yang sering
terjadi dalam kehidupan nyata atau dalam masyarakat dengan
mengkaji hadits Rasulullah SAW.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hadits
tentang hadhanah ?
2. Bagaimana
kualitas hadits tentang hadhanah ?
3. Bagaimana syarah
hadits tentang hadhanah ?
4. Bagaimana
ketentuan hukum tentang
hadhanah ?
5.
Bagaimana ketentuan undang-undang yang berlaku tentang hadhanah ?
HADIS TENTANG HADHONAH
Teks
Hadis
حَدَّثَنَا مَحْمُوْدُ بنُ خَالِد السُلَمِيُّ
حَدَّثَنَا الوَلِيْدُ عَنْ أَبِي عَمْرٍ ويَعْنِي الأَوْزَاعِيّ حَدَّثَنِي عَمْرُوبْنُ
شُعَيْبِ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدَّةِ عَبْدِاللهِ بنِ عَمْرٍ : أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ
: يَا رَسُوْلَ الله اِنّ ابْنِ هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً, وَثَدْيِي لَهُ
سِقَاءً, وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً, وَ اِنَّ اَبَاهُ طَلَّقَنِي وَاَرَادَ اَنْ يَنْتَزِعَهُ
مِنِّي, فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَنْتِ اَحَقُّ
بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي.[1]
Terjemahan :
Telah
menceritakan kepada kami Mahmud bin Khaalid As-Sulamiy, telah menceritakan
kepada kami Al-Waliid, dari Abu ‘Amru yaitu Al-Auza’iy, telah menceritakan
kepadaku ‘Amru bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amru
Bahwasannya ada seorang wanita berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku
ini, perutkulah yang mengandungnya, susukulah yang memberinya minum, dan
pangkuankulah yang melindunginya. Sedangkan ayahnya telah menceraikanku dan
ingin memisahkanya dariku”. Lalu Kemudian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa
sallam berkata kepadanya : “Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum
menikah” (HR. Abu Dawud no. 2276).
A. Makna Mufrodat
وِعَاءً : Tempat
mengandung.
سِقَاءً :
Tempat untuk menyimpan air/susu.
Sanad hadis diatas adalah sebagai
berikut:

B. Biografi Perawi Hadis
1. Abdullah bin Amr
Namanya
adalah Abdullah bin Amr bin Ash. Beliau adalah seorang imam besar dan ahli
ibadah, sahabat Rosulullah, dan putra sahabatnya yang bernama Abu Muhammad[3]. Beliau lahir di
Marwah dan wafat di Mesir pada tahun 65 H dan dimakamkan dirumahnya yang kecil.
Beliau berguru kepada Ubay bin Ka’ab bin Qois, Ali bin Abi Thalib bin Abdul
Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf, Umar bin Khattab bin Nufail. Diantara
muridnya adaalah Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah, As’ad
bin Sahl bin Khunaif, Aus bin Abdullah.[4]
2. Syuaib bin Muhammad bin Abdulloh bin
Amr bin ‘Ash
Namanya
adalah Syuaib bin Muhammad bin Abdulloh bin Amr bin ‘Ash al-Qurasiy as-Sahmiy
al-Hijazy.[5] Lahir di Hijaz. Beliau berguru
kepada Abdulloh bin Amr bin ‘Ash, Muawiyah bin Abi Sufyan Shakr bin Harb bin
Umayah. Diantara muridnya adalah Tsabat bin Aslam, Amr bin Syuaib bin Muhammad
bin Abdillah bin Amr.[6]
Dalam litelatur
megatakan bahwa beliau lahir di Hijaz, sedangkan tahun dan tempat wafat belaiu
belum diketahui.
3. Amr bin Syu’aib
Namanya
adalah Amr bin Syu’aib bin Muhammad bin Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash al-Quraisy as-Sahmiy.
Dikatakan bahwa ‘Amr adalah orang Madinah, dan ada yang mengatakan orang Thaif.
Abu Hatim mengatakan bahwa beliau orang Mekkah yang kemudian pindah ke Thaif.[7] Kualitas
perawi ini adalah Shoduq.
4. Abdur Rahman bin Amr bin Abi Amr
Namanya
adalah Yuhmad asy-Syamiy, Imam ahli syam pada zamannya dan ahli hadits serta
fiqih. Abu ‘Amr adalah julukannya. Lahir di Syam dan wafat di Baitul Maqdis
pada tahun 157 H. Gurunya adalah Abu
Yasar, Usamah bin Zaid dll. Muridnya adalah Israil bin Yunus bin Abi Ishaq,
Ismail bin Abdullah dll.[8]
5. Al Walid bin Muslim
Beliau
lahir di Syam dan wafat di Damaskus paada tahun 195 H. beliau berguru kepada
Ishaq bin Abdullah bin Abi Furwah, Ismail bin Rofa’, Tsaur bin Yazid bin Zaid, Hafs bin
Ghoilan dll. Diantara muridnya adalah
Ibrahim bin Ishaq bin Isa, Ibrahim bin Mundzir bin Abdullah dll.[9]
6. Mahmud bin Khalid As Sulamy
Nama
beliau adalah Mahmud bin Khalid bin Abi Khalid dan memiliki julukan Abu ‘Ali.
Lahir di Syam dan wafat pada tahun 249 H. Kualiatas
perowi ini adalah thiqoh.[10]
Jadi sanad hadist ini
adalah hasan
C. Penjelasan dan Kandungan Hukum Hadis
1. Penjelasan Hadis
Pemeliharaan anak dalam bahasa arab
disebut dengan istilah hadhanah.[11] Hadhanah menurut bahasa berarti “meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau
di pangkuan”, karena ibu waktu menyusui anaknya meletakkan anak itu
dipangkuannya, seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya,
sehingga hadhanah dijadikan istilah yang maksudnya “ pendidikan
dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus
dirimya yang dilakukan oleh kerabat anak itu ”.[12]
Para ahli fiqh mendeinisikan hadhanah sebagai melakukan pemeliharaan
anak-anak yang masih
kecil, laki-laki maupun perempuan yang belum tamyiz untuk menyediakan sesuatu
yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan
merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri
sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.[13]
Hadhanah merupakan
kewajiban bagi kedua orang tua untuk bersama-sama mengasuh dan melindungi
anaknya sampai batas umur yang telah ditetapkan, namun hal itu akan sulit
terealisasikan jika ayah dan ibu terjebak dalam kasus perceraian. Akan timbul masalah
siapakah yang berhak atas kewajiban mengasuh anak tersebut. Hadits ini merupakan dalil bahwa
seorang ibu lebih berhak untuk mengasuh anaknya, jika bapak ingin merebut
darinya. Dalam hadits ini wanita juga menyebutkan sifat-sifat khusus bagi
seorang wanita yang menguatkan keutamaannya mengasuh anaknya sendiri, bahkan
Nabi SAW menetapkan dan memutuskan hukum sesuai dengan keinginannya.
Tidak ada
perbedaan ulama dalam menetapkan hukum yang berkaitan dengan hadits ini, Abu
Bakar dan Umar memutuskan perkara berdasarkan hadits ini, Ibnu Abbas berkata,
"Udara, kasur, kebebasan yang diberikan seorang ibu lebih baik daripada bapak
sampai anaknya dewasa (baligh) dan memilih di antara keduanya." (HR.
Abdurrazzaq) pada sebuah kisah.[14] Hadits ini
menunjukkan juga apabila seorang ibu tersebut menikah lagi, maka gugurlah
haknya untuk mengasuh anaknya, inilah pendapat jumhur ulama.[15]
Dari
hadits diatas jelaslah bahwa keutamaan hak ibu itu ditentukan oleh dua syarat
yaitu: dia belum kawin dan dia memenuhi syarat untuk melaksanakan tugas hadhanah.
Bila kedua atau salah satu dari syarat ini tidak terpenuhi, umpamanya dia telah
kawin atau tidak memenuhi persyaratan maka ibu tidak lebih utama dari ayah.
Bila syarat itu tidak terpenuhi maka hak pengasuhan pindah kepada urut yang
paling dekat yaitu ayah.[16]
Ibnul
Mundzir berkata, "Ulama berijma' berdasarkan hadits ini." Al-Hasan
dan Ibnu Hazm berpendapat tidak gugur haknya mengasuh walaupun ia menikah lagi.
Berdasarkan pada kasus sahabat seperti Anas bin Malik tetap bersama ibunya
walaupun ia menikah lagi, demikian juga Ummu Salamah yang menikah lagi, anaknya
tetap ia asuh.[17]
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“ seorang ibu itu lebih mashlahah dibandingkan seorang ayah. Karena,
sang ibu sangat hati-hati dan teliti terhadap anak kecil. Dia juga lebih tau
hal-hal yang menyangkut makanannya. Ia menggendong dan menuntunnya dengan penuh
kesabaran. Selain lebih mampu mengetahui kondisi anak ia juga lebih
menyayanginya. Dalam hal ini, ibu lebih mengerti, lebih mampu, lebih sabar
disbanding seorang ayah. Maka, seorang ibu ditetapkan sebagai orang yang lebih
berhak mengasuh anak kecilnya yang belum baligh di dalam syariah”.
Kemudian jika si istri (ibu) menikah lagi dengan suami baru anaknya akan terlantar maka
bapaknya harus mengasuhnya. Jika ia beristri lagi, maka biasanya anak tiri
kurang diperhatikan istri baru, apalagi jika ia sudah punya anak kandung. Dalam
keadaan begitu, alangkah baiknya tidak dibawa kerumah istri baru, tetapi diasuh
familinya yang lain dan paling akhir diasuh dirumah penyantuni anak-anak, yang
berdasarkan islam. Inilah dampak buruk akibat suami istri yang bercerai talak
yang menjadikan anak sebagai korban. Oleh sebab itu Allah paling membenci
perbuatan tersebut meskipunperkara tersebut masuk yang halal. Ibnu Taimiyah berkata di dalam al-Ikhtiyarat: bibi dari
pihak ayah lebih berhak (memelihara) daripada bibi dari pihak ibu, demikian
pula semua keluarga perempuan ayah lebih berhak didahulukan daripada keluarga
perempuan ibu, sebab hak perwalian adalah ditangan ayah, termasuk semua
kerabatnya.[18]
Ketentuan bahwa anak diasuh ibu
bukan ayah hanyalah apabila anak itu masih kecil dan belum mumayiz. Kalau sudah
mumayiz, maka anak diberi pilihan apakah ia ingin ikut ayahnya atau ibunya, lalu
si anak berada dalam asuhan salah satu yang dipilihnya, baik anak tersebut
laki-laki maupun perempuan.
Dasar adanya pilihan mumayiz adalah
hadist Abu Huraira r.a:
أَنَّ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم خَيَّرَ غُلَامًا بَيْنَ أَبِيْهِ وَأُمِّهِ
(رواه إبن ماجة)
“Bahwa Rasulullah SAW
member pilihan kepada anak yang sudah mumayiz untuk ikut ayahnya atau ibunya”
(H.R. Ibnu Majah)[19]
Dalam
riwayat lain menjelaskan:
وَعَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ اِمْرَأَةً قَالَتْ: ( يَا رَسُولَ اَللَّهِ,
إِنَّ زَوْجِي يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ بِابْنِي, وَقَدْ نَفَعَنِي, وَسَقَانِي مِنْ بِئْرِ أَبِي عِنَبَةَ فَجَاءَ زَوْجُهَا, فَقَالَ اَلنَّبِيُّ
صلى الله عليه وسلم يَا غُلَامُ, هَذَا أَبُوكَ وَهَذِهِ أُمُّكَ, فَخُذْ بِيَدِ أَيُّهُمَا شِئْتَ
فَأَخَذَ بِيَدِ أُمِّهِ, فَانْطَلَقَتْ بِه ) رَوَاهُ أَحْمَدُ,
وَالْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ(
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa seorang
perempuan berkata: Wahai Rasulullah, suamiku ingin pergi membawa anakku,
padahal ia berguna untukku dan mengambilkan air dari sumur Abu 'Inabah untukku.
Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Wahai anak laki, ini ayahmu
dan ini ibumu, peganglah tangan siapa dari yang engkau kehendaki." Lalu ia
memegang tangan ibunya dan ia membawanya pergi. Riwayat Ahmad dan Imam Empat.
Hadits shahih menurut Tirmidzi.[20]
Dari hadits
diatas, bahwa seorang anak-anak ketika bisa mandiri diajukan dua pilihan antara
ikut dengan ibunya atau bapaknya. Dalam masalah ini ulama berbeda pendapat:
sebagian kecil ulama berpendapat bahwa anak itu diajukan pilihan antara memilih
ibu atau bapaknya mengamalkan hadits ini, inilah pendapat Ishaq bin Rahawaih,
batasan umur untuk diajukan pilihan itu mulai dari usia tujuh tahun.
Ai-Hadawiyyah dan Al-Hanafiyyah berpendapat bahwa anak itu tidak diberikan untuk
memilih, mereka berkata, “Ibu lebih berhak mengasuh sampai anaknya bisa
mandiri, apabila sudah mandiri, bapak lebih berhak mengasuh anak laki-laki dan
ibu mengasuh anak perempuan.” Malik sependapat untuk diberikan hak memilih, hanya
saja berkata, “Ibu lebih berhak mengasuh anak-anak, baik yang laki-laki maupun
perempuan.”[21]
Ulama berbeda pendapat tentang umur tamyiz.
Sebagian ulama berpendapat 7 tahun, sebagian yang lain berpendapat 8 tahun.
Anak diberi kebebasan untuk memilih antara ikut ayah atau ibu, sebab pada usia
itu anak sudah mempunyai kecenderungan (pilihan), siapa yang lebih dicocok.[22]
Jika dalam penentuan pihak yang mendapatkan hak
asuh antara ayah dan ibu terdapat kecacatan maka hak asuh anak tersebut jatuh
pada kerabat-kerabat ibu dan ayahnya. Adapun urutan orang-orang yang berhak
mendapatkan hak asuh tersebut adalah sebagai berikut:[23]
|
No
|
Dari Pihak Perempuan
|
No
|
Dari Pihak Laki-laki
|
|
1
|
Ibu anak
|
1
|
Ayah kandung
anak
|
|
2
|
Nenek dari pihak ibu
|
2
|
Kakek
dari pihak ayah
|
|
3
|
Nenek dari pihak ayah
|
3
|
Saudara
laki-laki sekandung atau seayah
|
|
4
|
Saudara kandung perempuan anak
|
4
|
Anak
laki-laki dari saudaralaki-laki sekandung atau seayah
|
|
5
|
Saudara perempuan seibu
|
5
|
Paman
yang sekandung dengan ayah
|
|
6
|
Saudara perempuan seayah
|
6
|
Paman
yang seayah dengan ayah
|
|
7
|
Anak perempuan dari saudara dari
saudara perempuan sekandung atau seayah.
|
7
|
Pamannya
ayah yang sekandung
|
|
8
|
Saudara perempuan ibu yang
sekandung atau seibu dengannya
|
8
|
Pamannya
ayah yang seayah dengan ayah
|
|
9
|
Anak perempuan dari saudara
perempuan seayah
|
||
|
10
|
Anak
perempuan dari saudar laki-laki sekandung, seibu atau seayah
|
||
|
11
|
Bibi sekandung, seibu, seayah
dengan ayah
|
||
|
12
|
Bibinya ibu dari pihak ibunya atau
ayahnya
|
||
|
13
|
Bibinya ayah dari pihak ayahnya
atau ibunya
|
||
2. Kandungan Hukum Hadis
a. Pengertian
Secara etimologi, hadhanah berasal dari akar bahasa Arab
ﺎﻨﻀﺣ - ﻦﻀﺤﻳ – ﻦﻀﺣ yang berarti mengasuh, merawat, memeluk.[24] Mengasuh
artinya memelihara dan mendidiknya.
Sedangkan secara terminologi adalah
mendidik dan mengasuh atau memelihara anak yang belum mumayiz (belum dapat
membedakan antara yang baik dan yang buruk), belum mampu mengurus dirinya
sendiri setelah terjadinya perceraian.
b. Syarat dan Rukun
Bagi seorang hadhinah (pengasuh) yang menangani dan menyelenggarakan kepentingan
anak kecil yang di asuhnya yaitu adanya kecukupan dan kecakapan yang memerlukan
syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat tertentu ini tidak dipenuhi satu
saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanah-nya.
Adapun ayah atau ibu yang akan
menjadi pengasuh harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.
Berakal sehat
Bagi orang yang kurang akal atau
gila, keduanya tidak sah dan tidak boleh menangani hadhanah
2.
Dewasa (baligh)
Bagi anak kecil tidak ada hak untuk
menjadi hadhinah (pengasuh), karena
ia sendiri masih membutuhkan wali, sedangkan
hadhinah itu seperti wali dalam
perkawinan maupun harta benda.
3.
Mampu mendidik
Tidak diperbolehkan menjadi pengasuh bagi orang yang
buta atau rabun, sakit menular atau sakit yang melemahkan jasmaninya untuk
mengurus kepentingannya (anak),
4.
Amanah dan berbudi
Dapat dipercaya pengasuhan dan
pendidikannya terhadap anak yang dipelihara. Oleh sebab itu bagi hadhinah (pengasuh) yang khianat tidak
boleh diberi beban untuk memelihara anak karena bisa menjadikan terlantarnya anak yang diassuhnya dan bahkan
nantinya anak tersebut dapat meniru atas kelakuan seperti orang yang curang.
5.
Islam
Non muslim tidak diperbolehkan
menjadi hadhinah (mengasuh) karena dikhawatirkan anak kecil yang diasuhnya
itu akan dibesarkan dan dididik dengan agama pengasuhnya.
6.
Keadaan wanita (ibu) belum kawin
Dikhawatirkan akan hak-haknya anak
yang di asuhnyaa itu tidak terpenuhi karena orang yang sudah menikah akan lebih
mengurusi, memenuhi hak dan melayani suaminya, akan tetapi jika si suami rela
dan merestui, kalau isterinya mengasuh siapa yang berhak diasuhnya maka hal itu
tidak menggugurkan hak asuhnya terhadap anak tersebut.[25]
Sedangkan Syarat-syarat untuk anak yang di
asuh (mahdhun)
1.
ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat
berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri.
2. Ia berada dalam keadaan tidak
sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun
telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna
akalnya tidak boleh berada di bawah pengasuhan siapa pun.[26]
Adapun
apabila kedua orang tua si anak masih lengkap dan sma-sama memenuhi syarat,
maka yang paling berhak melakukan hadhanah
atas anak tersebut menurut Imam syafi’i adalah ibu. Alasannya adalah ibu
lebih memiliki rasa kasih sayang yang sangat kuat dibandingkan dengan ayah.
Apabila anak berada dalam asuhan seorang ibu, maka segala biaya yang diperlukan
untuk itu tetap berada dibawah tanggungjawab si ayah. Kalau ibunya menikah lagi
dengan orang lain, sedangkan anak itu masih belum mumayyiz, ayahnya yang
berhak mendidiknya. Apabila anak itu telah melewati masa kanak-kanak yaitu
mencapai usia 7 (tujuh) tahun, yang dalam fiqh dinyatakan mumayyiz, dan
dia tidak idiot, sedangkan pihak ayah dan ibu berselisih dalam memperebutkan
hak hadhanah, maka si anak diberi hak untuk memilih antara tinggal
bersama ayah atau ibunya untuk pengasuhan selanjutnya[27]
Dalam Undang-undang perkawinan tidak di bahas secara khusus
mengenai hadhanah ini, tetapi lebih membahas tentang kewajiban orang tua
dan anak terhadap orang tua. Akan tetapi hadhanah ini dibahas secara
jelas dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal
105 dan Pasal 156 yaitu:
Pasal
105
Dalam hal terjadinya perceraian :
a.
Pemeliharaan
anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b.
Pemeliharaan
anak yang sudah mumayiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah
atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
c.
Biaya
pemeliharaan ditanggung ayahnya.
Pasal 156
Akibat putusnya perkawinan karena
perceraian
a. Anak yang belum mumayyiz berhak
mendapat hadanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka
kedudukannya digantikan oleh:
1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
2. Ayah;
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping
dari ayah;
b. Anak yang sudah mumayyiz berhak
memilih untuk mendapatkan hadanah dari ayah atau ibunya;
c. Apabila pemegang hadanah ternyata
tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah
dan hadanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan,
pengadilan agama dapat memindahkan hak hadanah kepada kerabat lain yang
mempunyai hak hadanah pula;
d. Semua biaya hadanah dan nafkah anak
menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai
anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);
e. Bilamana terjadi perelisihan
mengenai hadanah dan nafkah anak, pengadilan agama memberikan putusannya
berdasarkan huruf a,b, dan d;
f. Pengadilan dapat pula dengan
mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk memelihara dan
mendidik anak-anak yang tidak turut padanya.
Adapun hikmah mengasuh anak dilihat dari dua sisi:[28]
1.
Tugas laki- laki dalam urusan penghidupan dan masyarakat
berbeda dengan tugas wanita. Perhatian seorang ibu terhadap anknya lebih
tepat dan cocok karena memelihara anaknya keistimewaan ibu.
2.
Seorang ibu mempunyai rasa kasih sayang yang lebih besar
terhadap anaknya dari pada seorang ayah. Dan curahan hati tercurah lebih untuk
anaknya.
PENUTUP
Kesimpulan
1.
حَدَّثَنَا مَحْمُوْدُ بنُ خَالِد السُلَمِيُّ
حَدَّثَنَا الوَلِيْدُ عَنْ أَبِي عَمْرٍ ويَعْنِي الأَوْزَاعِيّ حَدَّثَنِي عَمْرُوبْنُ
شُعَيْبِ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدَّةِ عَبْدِاللهِ بنِ عَمْرٍ : أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ
: يَا رَسُوْلَ الله اِنّ ابْنِ هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً, وَثَدْيِي لَهُ
سِقَاءً, وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً, وَ اِنَّ اَبَاهُ طَلَّقَنِي وَاَرَادَ اَنْ يَنْتَزِعَهُ
مِنِّي, فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
: اَنْتِ اَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي
2.
Kualitas hadits diatas adalah hasan.
3.
Hadits ini merupakan dalil bahwa seorang ibu
lebih berhak untuk mengasuh anaknya, jika bapak ingin merebutnya darinya,
wanita dalam hadits ini juga menyebutkan sifat-sifat khusus bagi seorang wanita
yang menguatkan keutamaannya mengasuh anaknya sendiri, bahkan Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam menetapkan dan memutuskan hukum sesuai dengan keinginannya.
Hal ini mengingatkan kita bahwa alasan dan tujuan-tujuan utama dipertimbangkan
dalam menetapkan hukum; karena lahir dari fitrah manusia.
4.
Adapun syarat-syarat yang harus dimiliki bagi
yang melakukan hadhanah, yakni baligh berakal, mempunyai kemampuan dan kemauan untuk
memelihara dan mendidik anak, dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang
bisa mengakibatkan tugas hadhanah menjadi terlantar, dapat memegang amanah,
beragama islam. Dan syarat untuk anak
yang diasuh adalah ia masih dalam usia kanak-kanak yang belum bisa mencukupi
kehidupannya dan tidak sempurna akalnya.
5.
Dalam
Kompilasi Hukum Islam atau dalam hukum positif, masalah hadanah diatur dalam
Pasal 105 dan Pasal 156.
[1] Abi Daud Sulaiman bin Al-Ats ‘Ats
As-Sijistani, Sunan Abi Daud,
(Beirut: Darul Hadits, 1999) Juz 2, hlm 980
[2] Arif Jamaluddin Malik, Hadis Hukum Keluarga, (Surabaya: UINSA
Press, 2014), hlm 264
[3] Muhammad Hasan bin Aqil Musa Asy-Syarif, Imam Adz-Dzahabi, Ringkasan Siyar A’lam An-Nubala,
(jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm 555
[5] al-Hafidz Jamaluddin Abi al-Hajjaj Yusuf al-Maziy, Tahdzibul
Kamal fi Asmail al-rijal, (Beirut: Dar Al Fikr, 1994), Juz 21, 534.
[11] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh
Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003), 175.
[12] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh
Munakahat, 175.
[13] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah,
(Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), 237.
[14] Ash-Shan’ani, Imam Muhammad bin Isma'il bin Amir Al-Yamani. Subulus Salam Syarah
Bulughul Marom Min Jam'i Asillatil Ahkam, (Arab Saudi: Maktabah Nazar Musthofa
Al-Baz, Riyadh, 1995)
[16] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan
Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan,
(Jakarta: Prenada Media, 2006), 330.
[17] Muhammad
bin Isma'il bin Amir Ash-Shan’ani, Subul as Salam Syarh Bulugh al Marom, terj. Ali Nur Medan (Jakarta: Darus Sunnah, 2009) hlm 199
[21] Ash-Shan’ani, Imam Muhammad bin Isma'il
bin Amir Al-Yamani. Subulus Salam Syarah
Bulughul Marom Min Jam'i Asillatil Ahkam.
[24] Ahmad Warson Munawir, Al- Munawir, Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: Pustaka
Progresif, Cet. IV, 1997, hlm 274
[26] Amir Syarifuddin,. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara
Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. (Jakarta; Kencana, 2006), hlm 329
[27]
Ibid., 329
[28] Syeikh Ali Ahmad Al Jurjawi,
Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuhu, (Mesir: Al Azhar, 1992), 346.
No comments:
Post a Comment