BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ketika
terjadinya akad nikah maka akan timbul suatu beberapa pengaruh, diantaranya hak
istri kepada suami. Dan hak-hak istri yang wajib dilaksanakan suami
adalah salah satunya adalah mahar.
Mahar
merupakan pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki kepada
mempelai wanita yang hukumnya wajib. Dengan demikian, istilah shadaqah, nihlah,
dan mahar merupakan istilah yang terdapat dalam al-Qur’an, tetapi istilah mahar
lebih di kenal di masyarakat, terutama di Indonesia. Para ulama fiqh sepakat
bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya baik secara kontan
maupun secara tempo.
Mahar yang diberikan oleh mempelai laki-laki
kepada mempelai perempuan bukan diartikan sebagai pembayaran, seolah-olah
perempuan yang hendak dinikahi telah dibeli seperti barang. Pemberian mahar
dalam syariat Islam dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan derajat kaum
perempuan yang sejak zaman Jahiliyah telah diinjak-injak harga dirinya. Dengan
adanya pembayaran mahar dari pihak mempelai laki-laki, status perempuan tidak
dianggap sebagai barang yang diperjualbelikan. Oleh karena itu disini pemakalah
akan menjelaskan dan menafsiri hadits nabi yang diriwayatkan oleh sahabat Sahl
Bin Said Assaidi.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana hadist tentang mahar?
2.
Bagaimana kualitas hadist tentang
mahar?
3.
Bagaimana pe njelasan hadist
tentang mahar
4.
Bagaimana kandungan hukum hadist
tentang mahar?
5.
Bagaimana ketentuan perundangan
tentang mahar?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadits Tentang Mahar
حَدَّثَنَا
قُتَيبَةُ حَدَّثَنَا عَبدُالعزِيزِبنُ اَبِي حَازِيمِ عَن اَبِيهِ عَن سَهلٍ بنِ
سَعد السًّعاعِدِيِّ قَالَ جَاءَت اِمرَاَةٌ اِلَي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّي اللًّهُ
عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَلَت يَا رَسُولُ اللَّهِ جِئتُ اَهَبُ لَكَ نَفسِي قَالَ
فَنَظَرَ اِلَيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّي اللًّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم فَصَعَّدَ
النَّظَرَ فِيهَا وَصَوَّبَهُ ثُمَّ طَءطَاَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّي اللًّهُ
عَلَيهِ وَسَلَّم رَاءسَهُ فَلَمَّا رَاَت المَراَةُ اَنَّهُ لَم يَقضِ فِيهَا شَيعًا
جَلَسَت فَقَمامَ رَجُلً مِن اَصحَابِهِ فَقَالَ يَا رَسُولُ اللَّهِ ان لَم يَكُن
لَكَ بِهَا حَاجَةٌفَزَوّنيهَا فَقَالَ وَهَل عِندَكَ مِن شَيءٍ قَالَ
لاَوَاللَّهِ يَارَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ اِذهَب اِلَىَ اَهلِكَ فَانظُر هَل
تَجِدُ شَيعًا فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ لاَوَاللّهِ مَاوَجَدتُ شَيعًا
فَقَالَ صَلى اللًّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم انظُر وَلَوخَاتمًامِن حَدِيدٍ فَذَهَبَ
ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ لاَوَاللَّهِ يَا رَسُولُ اللًّهِ وَلاًخَاتمًا مِن
حَدِيدٍوَلَكِن هَذَا اِزَارِي قَالَ سَهَل مَالَهُ رداةفَلَهَا نِصفُهُ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّي اللًّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم مَا تَصنَعُ بِؤِزَارِكَ ان
لَبِستهُ يَكُن عَلَيهَا مِنهُ شَي ءً وَاِن لَبِستهُ ثُمَّ يَكُن عَلَيكَ مِنهُ
شَيءً فَجَلَسَ الَّجُل حَتَّى اِذَا طًال مجلسه قَامَ فَرَاَهُ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّي اللًّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم مؤليًا فَاَمر بِهِ فدعي فَلَمَّا جَاءَ قَالَ
ماد مَعَكَ مِنَ القُران قًالَ مَعِي سُورَة كَذَ وَ سُورَةل كَذَاعَدَّدَهَا
فَقَالَ تَقرَؤُهُنَّ عَن ظَهرِ قَالَ
نَعَم قَالَ اِذهَبُ فَقَد ملكتكما بِهَا مَعَكَ مِن القُران [1]
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id Telah menceritakan kepada
kami Ya'qub bin Abdurrahman dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa'd bahwasanya, ada
seorang wanita mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata,
"Wahai Rasulullah, aku datang untuk menyerahkan diriku padamu." Lalu
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun memandangi wanita dari atas hingga
ke bawah lalu beliau menunduk. Dan ketika wanita itu melihat, bahwa beliau
belum memberikan keputusan akan dirinya, ia pun duduk. Tiba-tiba seorang
laki-laki dari sahabat beliau berdiri dan berkata, "Wahai Rasulullah, jika
Anda tidak berhasrat dengannya, maka nikahkanlah aku dengannya."
Lalu beliau pun bertanya: "Apakah kamu
punya sesuatu (untuk dijadikan sebagai mahar)?" Laki-laki itu menjawab,
"Tidak, demi Allah wahai Rasulullah." Kemudian beliau bersabda:
"Kembalilah kepada keluargamu dan lihatlah apakah ada sesuatu?"
Laki-laki itu pun pergi dan kembali lagi seraya bersabda: "Tidak, demi
Allah wahai Rasulullah, aku tidak mendapatkan apa-apa?" beliau bersabda:
"Lihatlah kembali, meskipun yang ada hanyalah cincin besi." Laki-laki
itu pergi lagi, kemudian kembali dan berkata, "Tidak, demi Allah wahai Rasulullah,
meskipun cincin emas aku tak punya, tetapi yang ada hanyalah kainku ini."
Sahl berkata,
"Tidaklah kain yang ia punyai itu kecuali hanya setengahnya." Maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bertanya: "Apa yang dapat kamu
lakukan dengan kainmu itu? Bila kamu mengenakannya, maka ia tidak akan
memperoleh apa-apa dan bila ia memakainya, maka kamu juga tak memperoleh
apa-apa." Lalu laki-laki itu pun duduk agak lama dan kemudian beranjak.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melihatnya dan beliau pun langsung
menyuruh seseorang untuk memanggilkannya.
Ia pun
dipanggil, dan ketika datang, beliau bertanya, "Apakah kamu punya hafalan
Al Qur`an?" laki-laki itu menjawab, "Ya, aku hafal surat ini dan
ini." Ia sambil menghitungnya. Beliau bertanya lagi, "Apakah kamu
benar-benar menghafalnya?" ia menjawab, "Ya.” Akhirnya beliau
bersabda: "Kalau begitu, perigilah. Sesungguhnya kau telah kunikahkan
dengannya dengan mahar apa yang telah kamu hafal dari Al Qur`an."[2]
1.
Makna Mufrodat :
نَظَر : memandang
حاجةٌ : keinginan
اِذهب : pergilah
تَجِدُ : menemukan
شَيءً : sesuatu
اَهَبَ : menyerahkan
2.
Skema Sanad
![]() |
||||||||||||||
![]() |
||||||||||||||
![]() |
||||||||||||||
![]() |
||||||||||||||
![]() |
||||||||||||||
3.
Biografi Perawi
1.
Sahl bin
Sa’id, memiliki nama lengkap Sahal bin Said bin Malik bin Kholid bin
tsa'labah bin kharitsah bin amar bin al khazraj bin sa'adah bin ka'ab bin al
khazraj Al-Anshori as-sa'idi.[3] Wafat
pada tahun 88H, dari segi tabaqh beliau merupakan gilongan shahabi. Guru beliau
adalah Abi bin Kaab, Ashm bin al Adi al-anshari, Umar bin Abbas bin Hikam.
Dalam kapsitasnya sebagai perowi, menurut ibnu Hajar beliau seorang sahabat
jadi tidak diragukan lagi kealiman dan ketsiqahannya.
2.
Salamah bin
Dinar, lahir di Madinah dan wafat pada tahun 135H madinah, beliau berguru
kepada Ibrahim bin Abdullah, Saad bin Malik, Sahl bin Saad dan lainnya. Murid
beliau diantaranya ialah Usman bin Zain, Zakaria bin Mandzur, Hamid bin Zaid
dan lainnya. Tingkatan: Tsiqoh.[4]
3.
Abdul Aziz bin
Hazm,
Nama lengkapnya adalah Abdul Aziz
bin Abi Hazm Salamah bin Dinar. Beliau lahir di Madinah pada tahun 107H
dan wafat pada tahun 184H.[5]
Beliau memiliki julukan Abu Tamam, beliau berguru kepada Ibrahim bin Ismail,
Abdurahman bin Hjjaj, Ishaq bin Isa dan lainnya. Tingkatan beliau adalah siddiq
4.
Quthaibah bin
Said, memiliki julukan yakni abi Raja’. Beliau berguru kepada Ibrahim bin
Said, Ismail bin Fajar, Jarir bin Hamzah dan lainnya. Murid beliau diantaranya
ialah, Ahmad Bin Said, Ahmad Bin Muhamad, Abdullah Bin Muhamad. Tingakatan:
tsiqoh[6]
B.
Kualitas Hadits Tentang Mahar
Hadits yang
tertera diatas termasuk kedalam kualitas hadits yang dapat dikatakan shahih
dikarenakan terdapat dan diketahui bahwasanya sanadnya bersambung sampai kepada
Nabi Muhammad s.a.w, serta diriwayatkan oleh periwayat yag terkenal adil dan
juga dhabit sampai akhir sanadnya.
Dalam hadits tersebut tidak terdapat kejanggalan (syadz) dan cacat
(‘illat), oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa hadits tersebut memiliki
kualitas yang Shahih. Selain itu, Berdasarkan biografi para perowi
terkait hadist pokok seperti dipaparkan diatas dapat disimpulkan bahwa dari
segi sanad hadits diatas berkesinambungan, tanpa mengalami keterputusan perowi
karena memang para perowi yang meriwayatkan memiliki hubungan guru dan murid.
Adapun dari segi matan mengenai hadits tentang mahar ini, setelah dibandingkan
dengan hadits lain dan kandungan Al Quran terutama surat an-Nisa ayat 4, sangat
sesuai dalam arti tidak bertentangan bahkan sangat masuk akal. Maka hadits tentang
mahar diatas secara matan jelas dapat diterima, dengan demikian hadits pokok tentang mahar diatas dari segi
sanad maupun matan statusnya shahih sehingga dapat diterima dan dijadikan
hujjah.
C.
Penjelasan Hadits
Dari hadits
tersebut dapat kita ketahui bahwa diperbolehkannya seorang perempuan untuk
melamar terlebih dahulu kepada laki-laki terutama laki-laki yang sholehah[7]
dan hadits diatas menunjukkan betapa bijaksananya ajaran Islam yang diajarkan
oleh Rasulullah SAW. Islam itu menghargai kaum hawa dan bukan bermaksud tidak
menghargai kaum hawa dalam maharnya, namun mahar itu adalah kesanggupan dari
pihak lelaki. Rasulullah SAW mengajarkan bukan hanya harta yang jadi patokan
untuk memilih-pilih dalam pernikahan. Akan tetapi kewajiban calon suami yang
harus menghargai dengan sebaik-baiknya kepada si calon istri, jangan memberikan
kain sarung yang dipakai padanya untuk calon istrinya sehingga menjadikan 1
kain sarung untuk berdua, seperti hadits diatas.
Dalam konsep
hukum Islam, mahar bukan merupakan “harga” dari seorang perempuan yang
dinikahi, sebab pernikahan bukanlah akad jual beli. Oleh karenanya, tidak ada
ukuran dan jumlah yang pasti dalam mahar, ia bersifat relatif disesuaikan
dengan kemampuan dan kepantasan dalam suatu masyarakat. Rasulullah Saw
mengajarkan kepada umatnya agar tidak berlebihan di dalam menentukan besarnya
mahar. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan kesulitan bagi para pemuda
yang bermaksud untuk menikah, karena mempersulit pernikahan akan berdampak
negatif bagi mereka yang sudah memiliki keinginan untuk menjalankannya.
Dalam Syarah
Muslim Imam al-Nawawi menyimpulkan sebagai berikut :
a.
Khusus kepada Nabi SAW dibolehkan
seorang perempuan menghibbahkan dirinya untuk dinikahi tanpa mahar. Ini juga
sesuai dengan firman Allah Ta’ala, berbunyi
: وَامْرَأَةً
مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ
يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya : Dan
perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau
mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin.
(Q.S. Al-Ahzab : 50.)
b.
Boleh memandang seorang perempuan yang ingin
dipinangnya sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan
c.
Mahar yang diwajibkan dalam suatu pernikahan
adalah sesuatu yang berharga, baik sedikit maupun banyak sesuai dengan
kesepakatan pihak-pihak, karena cincin dari besi mengisyarahkan kepada benda
yang sedikit harganya.
Ini merupakan pendapat Syafi’i dan jumhur
ulama dari kalangan salaf dan khalaf. Malik mengatakan, sekurang-kurangnya
seperempat dinar sama dengan nisab pencurian. Abu Hanifah dan pengikutnya
mengatakan, sekurang-kurangnya sepuluh dirham. Ibnu Syibramah mengatakan,
sekurang-kurangnya lima dirham i’tibar nisab pencurian disisinya. Murrah
mengatakan sepuluh dirham.
d.
Boleh menjadikan mengajarkan
al-Qur’an sebagai mahar pernikahan dan boleh mengambil upah mengajarkan al-Quran.
Ini merupakan pendapat Syafi’i, ‘Itha’, Hasan bin Shaleh, Malik, Ishaq dan
lainnya. Sekelompok ulama tidak membolehkannya, yaitu al-Zuhri dan Abu Hanifah.[8]
D.
Kandungan Hukum Hadits
Nama lain dari
maskawin adalah mahar, shadaq, nihlah, ajr dan faridlah. Mahar menurut makna
lughowi shadaq, ashdaqa (isim mashdar), ishdaq (masdar) diambil dari kata
shidqin (benar) dinamakan shadaq berarti benar-benar cinta nikah dan inilah
pokok kewajiban mahar. Menurut syara’ mahar adalah pemberian dari calon
mempelai wanita baik berbentuk berang, uang atau jasa yang tidak bertentangan
dengan hukum islam Atau pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon
isteri baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dsb).[9]
Atau , secara istilah syari`at mahar adalah sebutan bagi harta yang wajib atas
orang laki-laki bagi orang perempuan sebab nikah atau bersetubuh (wathi).
Imam Syafi’i
mengatakan bahwa mahar adalah salah satu yang wajib yang diberikan oleh seorang
laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.
Dalam hadits tersebut, sahabat Rasulullah menginginkan untuk dinikahkan dengan
wanita yang tadinya wanita tersebut ingin menikah dengan Rasulullah, akan
tetapi Rasulullah tidak menginginkannya.
Keteika
sahabat tersebut mengutarakan keinginannya, Rasulullah bertanya apakah dia
mempunyai sesuatu yang dapat diajadikan maskawin. Kemudian sahabat tersebut
menjawab bahwa dia tidak mempunyai apapun untuk dijadikan maskawin. Kemudian
Rasulullah memintanya untuk pergi dan mencari sesuatu yang dapat dijadikan
maskawin , akan tetapi setelah sahabat tersebut kembali dia mengatakan bahwa
dia idak menemukan sesuatu apapun untuk dijadikan maskawin, lalu Rasulullah
memerintahkan untuk ke dua kalinya dengan perintah yang sama namun sahabat
tersebut tetap menjawab dengan jawaban yang sama. Dan kemudian untuk yang
ketiga kalinya Rasulullah bertanya apa yang dia hafal dari Al-Qur’an lalu dia
menyebutkan surat-surrat yang dia hafal.
Mengenai
hadits tersebut banyak perbedaan pendapat dari para ulama’ mengenai mahar
dengan Al-Qur’an:
1.
Para ulama yang membolehkan mahar berupa
hafalan Al Qur’an sepakat bahwa harus ditentukan surat apa dan ayat berapa yang
akan dihafalkan sebagai mahar. Karena surat dan ayat itu berbeda-beda.
Sedangkan untuk masalah qira’ah apa yang dipakai, para ulama berselisih
pendapat.
Lebih baik
mahar dengan hafalan Al Qur’an bukan sekedar dibacakan atau disetorkan. Namun
bagusnya adalah diajarkan. Sebagaimana Imam Nawawi menyimpulkan hadits Sahl bin
Sa’ad di atas dengan menyatakan bahwa mahar itu baiknya berupa pengajaran Al
Qur’an.[10]
2.
Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia
lebih cendurung memahami hadits Sahl bin Sa’ad untuk mahar berupa pengajaran Al
Qur’an dibolehkan jika tidak didapati mahar berupa harta. Pengajaran Al Qur’an
itu termasuk jasa yang diberikan sebagai mahar.
Dalam Fatwa Al Lajnah Ad Daimah, komisi Fatwa
Kerajaan Saudi Arabia disebutkan,
يَصِحُّأَنْيَجْعَلَتَعْلِيْمَالمرْأَةِشَيْئًامِنَالقُرَآنِمَهْرًالَهَاعِنْدَالعَقْدِعَلَيْهَاإِذَالَمْيَجِدْمَالاً
“Boleh menjadikan pengajaran Al Qur’an pada
wanita sebagai mahar ketika akad saat tidak didapati harta sebagai mahar”[11]
Sedangkan
menurut bentuknya ada 2 macam yakni:
a. Materi
Mahar berupa
materi sudah menjadi hal yang umum, contohnya uang, emas, mobil, dll. Hadits
yang menguatkan mahar materi, "Dari Abu Said Al-Khurdi bahwa Rasulullah
SAW menikahi Aisyah dengan maskawin alat-alat rumah tangga yang bernilai 50
dirham".[12]
b. Non Materi
Mahar tersebut
tidak berupa uang atau harta akan tetapi berwujud seperti contoh mengajarkan Al
Quran, menghafal Al Quran seperti hadits dari sahl bin saad. Seperti mahar Abu Thalhah kepada Ummu sulaim
berupa masuk islamnya Abu Thalhah.[13]
E.
Ketentuan Perundangan Tentang Mahar
Didalam KHI juga diatur mengenai mahar, yakni:
Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar mahar
kepadacalon mempelaiwanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh
kedua belah pihak.
Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan
kemudahan yang dianjurkanoleh ajaran islam
Pasal 32
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai
wanita, dan sejak itu menjadi hak pribadinya.
Pasal 33
1.
Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.
2.
Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh
ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum
ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria.
Mengenai macam-macam mahar, mahar dibagi menjadi
dua, yakni:
1.
Mahar yang Disebutkan (Musamma)
Mahar yang disebutkan maksudnya mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak,
baik pada saat akad maupun setelahnya seperti membatasi mahar bersama akad atau
penyelenggaraan akad tanpa menyebutkan mahar. Kemudian setelah itu kedua belah
pihak mengadakan kesepakatan dengan syarat penyebutannya benar.
2.
Mahar yang Sepadan(Mitsil)
Maksud mahar mitsil adalah mahar yang diputuskan untuk wanita yang
menikah tanpa menyebutkan mahar dalam akad, ukuran mahar disamakan dengan mahar
wanita yang seimbang ketika menikah dari keluarga bapaknya seperti saudara
perempuan sekandung, saudara perempuan tunggal bapak, dan seterusnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Mahar merupakan pemberian yang
dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki kepada mempelai wanita yang hukumnya
wajib
2.
Hadist yang diriwayatkan oleh Sahl
bin Said mengenai mahar merupaka hadist yang shahih karena telah memenuhi
standar hadist yang berkualitas shahih baik dari segi matan, sanad dan
sebagainya
3.
Hadist tersebut menunjukkan betapa
bijaksananya ajaran Islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Islam itu
menghargai kaum hawa dan bukan bermaksud tidak menghargai. Dalam konsep hukum
Islam, mahar bukan merupakan “harga” dari seorang perempuan yang dinikahi,
sebab pernikahan bukanlah akad jual beli. Oleh karenanya, tidak ada ukuran dan
jumlah yang pasti dalam mahar.
4.
Ketentuan perundangan tentang mahar
di Indonesia diatur dalam KHI, pasal 30 sampai setidaknya pasal 33 dalam KHI
telah menjelaskan ketentuan mengenai mahar yang berlaku dan diakui di Republik
Indonesia
[1]
Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, (Taqiq oleh Samir bin Amin al-Zahiry),
Hal. 295
[2]
Syarah Muslim Imam al-Nawawi
[3]
Syihbahuddin AHmad bin Ali
bin Hajar Al-Asqalani, Tahdzib al Tahdzib Juz III, (kairo: Dar al-fikr,
1995), hlm.539
[4]
Husyan Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, (Bandung: Remaja
Rosyda Karya, 1995), hlm. 92
[5]
Jamaluddin abi Al Hajaj
Yusuf Al- Mazi, Tahdzibul Kamal Juz XI, (Beirut: Muassasah Ar- Risalah, 1983),
hlm 489
[6]
Drs. Munzier Suparta M. A., Ilmu Hadits, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO,
2004), hlm. 248
[8]
Imam al-Nawawi, Syarah Muslim, Penerbit : Muassiah Qurthubah, Juz. IX,
Hal. 302-305
[9]
Zakia Drajat,Ilmu Fiqih jilid 3,(Jakarta: Depag RI,1985)hlm.83
[10]
Syarah Sahih Muslim,9:192
[11]
Fatwa al-Lajnah ad Daimah no.6029,19:35
[12]
Muhammad bin Ali bin
Muhammad as-Syaukani, Nailul al-Authar
Makhtabah wa Muthobiah (Kairo: Musthofa
Al-Halbi wa Auladihi 1971)hlm.189





No comments:
Post a Comment