Total Pageviews

Wednesday, November 27, 2019

MAKALAH HADITS TENTANG MAHAR



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ketika terjadinya akad nikah maka akan timbul suatu beberapa pengaruh, diantaranya hak istri kepada  suami. Dan hak-hak istri yang wajib dilaksanakan suami adalah salah satunya adalah mahar.
Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki kepada mempelai wanita yang hukumnya wajib. Dengan demikian, istilah shadaqah, nihlah, dan mahar merupakan istilah yang terdapat dalam al-Qur’an, tetapi istilah mahar lebih di kenal di masyarakat, terutama di Indonesia. Para ulama fiqh sepakat bahwa mahar wajib diberikan oleh suami kepada istrinya baik secara kontan maupun secara tempo.
 Mahar yang diberikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan bukan diartikan sebagai pembayaran, seolah-olah perempuan yang hendak dinikahi telah dibeli seperti barang. Pemberian mahar dalam syariat Islam dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan derajat kaum perempuan yang sejak zaman Jahiliyah telah diinjak-injak harga dirinya. Dengan adanya pembayaran mahar dari pihak mempelai laki-laki, status perempuan tidak dianggap sebagai barang yang diperjualbelikan. Oleh karena itu disini pemakalah akan menjelaskan dan menafsiri hadits nabi yang diriwayatkan oleh sahabat Sahl Bin Said Assaidi.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hadist tentang mahar?
2.      Bagaimana kualitas hadist tentang mahar?
3.      Bagaimana pe njelasan hadist tentang mahar
4.      Bagaimana kandungan hukum hadist tentang mahar?
5.      Bagaimana ketentuan perundangan tentang mahar?










BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hadits Tentang Mahar

حَدَّثَنَا قُتَيبَةُ حَدَّثَنَا عَبدُالعزِيزِبنُ اَبِي حَازِيمِ عَن اَبِيهِ عَن سَهلٍ بنِ سَعد السًّعاعِدِيِّ قَالَ جَاءَت اِمرَاَةٌ اِلَي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّي اللًّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقَلَت يَا رَسُولُ اللَّهِ جِئتُ اَهَبُ لَكَ نَفسِي قَالَ فَنَظَرَ اِلَيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّي اللًّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيهَا وَصَوَّبَهُ ثُمَّ طَءطَاَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّي اللًّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم رَاءسَهُ فَلَمَّا رَاَت المَراَةُ اَنَّهُ لَم يَقضِ فِيهَا شَيعًا جَلَسَت فَقَمامَ رَجُلً مِن اَصحَابِهِ فَقَالَ يَا رَسُولُ اللَّهِ ان لَم يَكُن لَكَ بِهَا حَاجَةٌفَزَوّنيهَا فَقَالَ وَهَل عِندَكَ مِن شَيءٍ قَالَ لاَوَاللَّهِ يَارَسُولَ اللَّهِ فَقَالَ اِذهَب اِلَىَ اَهلِكَ فَانظُر هَل تَجِدُ شَيعًا فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ لاَوَاللّهِ مَاوَجَدتُ شَيعًا فَقَالَ صَلى اللًّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم انظُر وَلَوخَاتمًامِن حَدِيدٍ فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ لاَوَاللَّهِ يَا رَسُولُ اللًّهِ وَلاًخَاتمًا مِن حَدِيدٍوَلَكِن هَذَا اِزَارِي قَالَ سَهَل مَالَهُ رداةفَلَهَا نِصفُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّي اللًّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم مَا تَصنَعُ بِؤِزَارِكَ ان لَبِستهُ يَكُن عَلَيهَا مِنهُ شَي ءً وَاِن لَبِستهُ ثُمَّ يَكُن عَلَيكَ مِنهُ شَيءً فَجَلَسَ الَّجُل حَتَّى اِذَا طًال مجلسه قَامَ فَرَاَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّي اللًّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم مؤليًا فَاَمر بِهِ فدعي فَلَمَّا جَاءَ قَالَ ماد مَعَكَ مِنَ القُران قًالَ مَعِي سُورَة كَذَ وَ سُورَةل كَذَاعَدَّدَهَا فَقَالَ تَقرَؤُهُنَّ عَن ظَهرِ قَالَ  نَعَم قَالَ اِذهَبُ فَقَد ملكتكما بِهَا مَعَكَ مِن القُران [1]
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id Telah menceritakan kepada kami Ya'qub bin Abdurrahman dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa'd bahwasanya, ada seorang wanita mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, "Wahai Rasulullah, aku datang untuk menyerahkan diriku padamu." Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun memandangi wanita dari atas hingga ke bawah lalu beliau menunduk. Dan ketika wanita itu melihat, bahwa beliau belum memberikan keputusan akan dirinya, ia pun duduk. Tiba-tiba seorang laki-laki dari sahabat beliau berdiri dan berkata, "Wahai Rasulullah, jika Anda tidak berhasrat dengannya, maka nikahkanlah aku dengannya."
 Lalu beliau pun bertanya: "Apakah kamu punya sesuatu (untuk dijadikan sebagai mahar)?" Laki-laki itu menjawab, "Tidak, demi Allah wahai Rasulullah." Kemudian beliau bersabda: "Kembalilah kepada keluargamu dan lihatlah apakah ada sesuatu?" Laki-laki itu pun pergi dan kembali lagi seraya bersabda: "Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, aku tidak mendapatkan apa-apa?" beliau bersabda: "Lihatlah kembali, meskipun yang ada hanyalah cincin besi." Laki-laki itu pergi lagi, kemudian kembali dan berkata, "Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, meskipun cincin emas aku tak punya, tetapi yang ada hanyalah kainku ini."
Sahl berkata, "Tidaklah kain yang ia punyai itu kecuali hanya setengahnya." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bertanya: "Apa yang dapat kamu lakukan dengan kainmu itu? Bila kamu mengenakannya, maka ia tidak akan memperoleh apa-apa dan bila ia memakainya, maka kamu juga tak memperoleh apa-apa." Lalu laki-laki itu pun duduk agak lama dan kemudian beranjak. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melihatnya dan beliau pun langsung menyuruh seseorang untuk memanggilkannya.
Ia pun dipanggil, dan ketika datang, beliau bertanya, "Apakah kamu punya hafalan Al Qur`an?" laki-laki itu menjawab, "Ya, aku hafal surat ini dan ini." Ia sambil menghitungnya. Beliau bertanya lagi, "Apakah kamu benar-benar menghafalnya?" ia menjawab, "Ya.” Akhirnya beliau bersabda: "Kalau begitu, perigilah. Sesungguhnya kau telah kunikahkan dengannya dengan mahar apa yang telah kamu hafal dari Al Qur`an."[2]

1.      Makna Mufrodat :
                                                                                                       
                     نَظَر  : memandang                                                                                                                        
حاجةٌ     : keinginan
اِذهب     : pergilah
تَجِدُ    : menemukan
شَيءً      : sesuatu

اَهَبَ                 : menyerahkan         


2.      Skema Sanad



















Oval: Nabi Muhammad saw









Oval: Salamah bin Dinar, w.135 H






Oval: Abdul Aziz bin Hazm, w.184H





Oval: Quthaibah bin Said, W. 240 H
 




























3.      Biografi Perawi


1.      Sahl bin Sa’id, memiliki nama lengkap Sahal bin Said bin Malik bin Kholid bin tsa'labah bin kharitsah bin amar bin al khazraj bin sa'adah bin ka'ab bin al khazraj Al-Anshori as-sa'idi.[3] Wafat pada tahun 88H, dari segi tabaqh beliau merupakan gilongan shahabi. Guru beliau adalah Abi bin Kaab, Ashm bin al Adi al-anshari, Umar bin Abbas bin Hikam. Dalam kapsitasnya sebagai perowi, menurut ibnu Hajar beliau seorang sahabat jadi tidak diragukan lagi kealiman dan ketsiqahannya.

2.      Salamah bin Dinar, lahir di Madinah dan wafat pada tahun 135H madinah, beliau berguru kepada Ibrahim bin Abdullah, Saad bin Malik, Sahl bin Saad dan lainnya. Murid beliau diantaranya ialah Usman bin Zain, Zakaria bin Mandzur, Hamid bin Zaid dan lainnya. Tingkatan: Tsiqoh.[4]


3.      Abdul Aziz bin Hazm,
Nama lengkapnya adalah Abdul Aziz bin Abi Hazm Salamah bin Dinar. Beliau lahir di Madinah pada tahun 107H dan  wafat pada tahun 184H.[5] Beliau memiliki julukan Abu Tamam, beliau berguru kepada Ibrahim bin Ismail, Abdurahman bin Hjjaj, Ishaq bin Isa dan lainnya. Tingkatan beliau adalah siddiq

4.      Quthaibah bin Said, memiliki julukan yakni abi Raja’. Beliau berguru kepada Ibrahim bin Said, Ismail bin Fajar, Jarir bin Hamzah dan lainnya. Murid beliau diantaranya ialah, Ahmad Bin Said, Ahmad Bin Muhamad, Abdullah Bin Muhamad. Tingakatan: tsiqoh[6]

B.     Kualitas Hadits Tentang Mahar

Hadits yang tertera diatas termasuk kedalam kualitas hadits yang dapat dikatakan shahih dikarenakan terdapat dan diketahui bahwasanya sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad s.a.w, serta diriwayatkan oleh periwayat yag terkenal adil dan juga dhabit sampai akhir sanadnya.
 Dalam hadits tersebut  tidak terdapat kejanggalan (syadz) dan cacat (‘illat), oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa hadits tersebut memiliki kualitas yang Shahih. Selain itu, Berdasarkan biografi para perowi terkait hadist pokok seperti dipaparkan diatas dapat disimpulkan bahwa dari segi sanad hadits diatas berkesinambungan, tanpa mengalami keterputusan perowi karena memang para perowi yang meriwayatkan memiliki hubungan guru dan murid. Adapun dari segi matan mengenai hadits tentang mahar ini, setelah dibandingkan dengan hadits lain dan kandungan Al Quran terutama surat an-Nisa ayat 4, sangat sesuai dalam arti tidak bertentangan bahkan sangat masuk akal. Maka hadits tentang mahar diatas secara matan jelas dapat diterima, dengan demikian  hadits pokok tentang mahar diatas dari segi sanad maupun matan statusnya shahih sehingga dapat diterima dan dijadikan hujjah.

C.     Penjelasan Hadits
Dari hadits tersebut dapat kita ketahui bahwa diperbolehkannya seorang perempuan untuk melamar terlebih dahulu kepada laki-laki terutama laki-laki yang sholehah[7] dan hadits diatas menunjukkan betapa bijaksananya ajaran Islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Islam itu menghargai kaum hawa dan bukan bermaksud tidak menghargai kaum hawa dalam maharnya, namun mahar itu adalah kesanggupan dari pihak lelaki. Rasulullah SAW mengajarkan bukan hanya harta yang jadi patokan untuk memilih-pilih dalam pernikahan. Akan tetapi kewajiban calon suami yang harus menghargai dengan sebaik-baiknya kepada si calon istri, jangan memberikan kain sarung yang dipakai padanya untuk calon istrinya sehingga menjadikan 1 kain sarung untuk berdua, seperti hadits diatas.
Dalam konsep hukum Islam, mahar bukan merupakan “harga” dari seorang perempuan yang dinikahi, sebab pernikahan bukanlah akad jual beli. Oleh karenanya, tidak ada ukuran dan jumlah yang pasti dalam mahar, ia bersifat relatif disesuaikan dengan kemampuan dan kepantasan dalam suatu masyarakat. Rasulullah Saw mengajarkan kepada umatnya agar tidak berlebihan di dalam menentukan besarnya mahar. Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan kesulitan bagi para pemuda yang bermaksud untuk menikah, karena mempersulit pernikahan akan berdampak negatif bagi mereka yang sudah memiliki keinginan untuk menjalankannya.
Dalam Syarah Muslim Imam al-Nawawi menyimpulkan sebagai berikut :
a.       Khusus kepada Nabi SAW dibolehkan seorang perempuan menghibbahkan dirinya untuk dinikahi tanpa mahar. Ini juga sesuai dengan firman Allah Ta’ala, berbunyi
 : وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya : Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. (Q.S. Al-Ahzab : 50.)
b.       Boleh memandang seorang perempuan yang ingin dipinangnya sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan
c.        Mahar yang diwajibkan dalam suatu pernikahan adalah sesuatu yang berharga, baik sedikit maupun banyak sesuai dengan kesepakatan pihak-pihak, karena cincin dari besi mengisyarahkan kepada benda yang sedikit harganya.
 Ini merupakan pendapat Syafi’i dan jumhur ulama dari kalangan salaf dan khalaf. Malik mengatakan, sekurang-kurangnya seperempat dinar sama dengan nisab pencurian. Abu Hanifah dan pengikutnya mengatakan, sekurang-kurangnya sepuluh dirham. Ibnu Syibramah mengatakan, sekurang-kurangnya lima dirham i’tibar nisab pencurian disisinya. Murrah mengatakan sepuluh dirham.
d.      Boleh menjadikan mengajarkan al-Qur’an sebagai mahar pernikahan dan boleh mengambil upah mengajarkan al-Quran. Ini merupakan pendapat Syafi’i, ‘Itha’, Hasan bin Shaleh, Malik, Ishaq dan lainnya. Sekelompok ulama tidak membolehkannya, yaitu al-Zuhri dan Abu Hanifah.[8]

D.    Kandungan Hukum Hadits
Nama lain dari maskawin adalah mahar, shadaq, nihlah, ajr dan faridlah. Mahar menurut makna lughowi shadaq, ashdaqa (isim mashdar), ishdaq (masdar) diambil dari kata shidqin (benar) dinamakan shadaq berarti benar-benar cinta nikah dan inilah pokok kewajiban mahar. Menurut syara’ mahar adalah pemberian dari calon mempelai wanita baik berbentuk berang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum islam Atau pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon isteri baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dsb).[9] Atau , secara istilah syari`at mahar adalah sebutan bagi harta yang wajib atas orang laki-laki bagi orang perempuan sebab nikah atau bersetubuh (wathi).
Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah salah satu yang wajib yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya. Dalam hadits tersebut, sahabat Rasulullah menginginkan untuk dinikahkan dengan wanita yang tadinya wanita tersebut ingin menikah dengan Rasulullah, akan tetapi Rasulullah tidak menginginkannya.
Keteika sahabat tersebut mengutarakan keinginannya, Rasulullah bertanya apakah dia mempunyai sesuatu yang dapat diajadikan maskawin. Kemudian sahabat tersebut menjawab bahwa dia tidak mempunyai apapun untuk dijadikan maskawin. Kemudian Rasulullah memintanya untuk pergi dan mencari sesuatu yang dapat dijadikan maskawin , akan tetapi setelah sahabat tersebut kembali dia mengatakan bahwa dia idak menemukan sesuatu apapun untuk dijadikan maskawin, lalu Rasulullah memerintahkan untuk ke dua kalinya dengan perintah yang sama namun sahabat tersebut tetap menjawab dengan jawaban yang sama. Dan kemudian untuk yang ketiga kalinya Rasulullah bertanya apa yang dia hafal dari Al-Qur’an lalu dia menyebutkan surat-surrat yang dia hafal.
Mengenai hadits tersebut banyak perbedaan pendapat dari para ulama’ mengenai mahar dengan Al-Qur’an:
1.       Para ulama yang membolehkan mahar berupa hafalan Al Qur’an sepakat bahwa harus ditentukan surat apa dan ayat berapa yang akan dihafalkan sebagai mahar. Karena surat dan ayat itu berbeda-beda. Sedangkan untuk masalah qira’ah apa yang dipakai, para ulama berselisih pendapat.
Lebih baik mahar dengan hafalan Al Qur’an bukan sekedar dibacakan atau disetorkan. Namun bagusnya adalah diajarkan. Sebagaimana Imam Nawawi menyimpulkan hadits Sahl bin Sa’ad di atas dengan menyatakan bahwa mahar itu baiknya berupa pengajaran Al Qur’an.[10]

2.      Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia lebih cendurung memahami hadits Sahl bin Sa’ad untuk mahar berupa pengajaran Al Qur’an dibolehkan jika tidak didapati mahar berupa harta. Pengajaran Al Qur’an itu termasuk jasa yang diberikan sebagai mahar.

 Dalam Fatwa Al Lajnah Ad Daimah, komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia disebutkan,

يَصِحُّأَنْيَجْعَلَتَعْلِيْمَالمرْأَةِشَيْئًامِنَالقُرَآنِمَهْرًالَهَاعِنْدَالعَقْدِعَلَيْهَاإِذَالَمْيَجِدْمَالاً
 “Boleh menjadikan pengajaran Al Qur’an pada wanita sebagai mahar ketika akad saat tidak didapati harta sebagai mahar”[11]
Sedangkan menurut bentuknya ada 2 macam yakni:
a. Materi
Mahar berupa materi sudah menjadi hal yang umum, contohnya uang, emas, mobil, dll. Hadits yang menguatkan mahar materi, "Dari Abu Said Al-Khurdi bahwa Rasulullah SAW menikahi Aisyah dengan maskawin alat-alat rumah tangga yang bernilai 50 dirham".[12]
b. Non Materi
Mahar tersebut tidak berupa uang atau harta akan tetapi berwujud seperti contoh mengajarkan Al Quran, menghafal Al Quran seperti hadits dari sahl bin saad.  Seperti mahar Abu Thalhah kepada Ummu sulaim berupa masuk islamnya Abu Thalhah.[13]
E.     Ketentuan Perundangan Tentang Mahar
Didalam KHI juga diatur mengenai mahar, yakni:

Pasal 30
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepadacalon mempelaiwanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkanoleh ajaran islam
Pasal 32
Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita, dan sejak itu menjadi hak pribadinya.
Pasal 33



1.      Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.
2.      Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria.

Mengenai macam-macam mahar, mahar dibagi menjadi dua, yakni:
1.      Mahar yang Disebutkan (Musamma)
Mahar yang disebutkan maksudnya mahar yang disepakati oleh kedua belah pihak, baik pada saat akad maupun setelahnya seperti membatasi mahar bersama akad atau penyelenggaraan akad tanpa menyebutkan mahar. Kemudian setelah itu kedua belah pihak mengadakan kesepakatan dengan syarat penyebutannya benar.
2.      Mahar yang Sepadan(Mitsil)
Maksud mahar mitsil adalah mahar yang diputuskan untuk wanita yang menikah tanpa menyebutkan mahar dalam akad, ukuran mahar disamakan dengan mahar wanita yang seimbang ketika menikah dari keluarga bapaknya seperti saudara perempuan sekandung, saudara perempuan tunggal bapak, dan seterusnya.



















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki kepada mempelai wanita yang hukumnya wajib
2.      Hadist yang diriwayatkan oleh Sahl bin Said mengenai mahar merupaka hadist yang shahih karena telah memenuhi standar hadist yang berkualitas shahih baik dari segi matan, sanad dan sebagainya
3.      Hadist tersebut menunjukkan betapa bijaksananya ajaran Islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Islam itu menghargai kaum hawa dan bukan bermaksud tidak menghargai. Dalam konsep hukum Islam, mahar bukan merupakan “harga” dari seorang perempuan yang dinikahi, sebab pernikahan bukanlah akad jual beli. Oleh karenanya, tidak ada ukuran dan jumlah yang pasti dalam mahar.
4.      Ketentuan perundangan tentang mahar di Indonesia diatur dalam KHI, pasal 30 sampai setidaknya pasal 33 dalam KHI telah menjelaskan ketentuan mengenai mahar yang berlaku dan diakui di Republik Indonesia


[1] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, (Taqiq oleh Samir bin Amin al-Zahiry), Hal. 295
[2] Syarah Muslim Imam al-Nawawi
[3] Syihbahuddin AHmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Tahdzib al Tahdzib Juz III, (kairo: Dar al-fikr, 1995), hlm.539
[4] Husyan Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam, (Bandung: Remaja Rosyda Karya, 1995), hlm. 92
[5] Jamaluddin abi Al Hajaj Yusuf Al- Mazi, Tahdzibul Kamal Juz XI, (Beirut: Muassasah Ar- Risalah, 1983), hlm 489
[6] Drs. Munzier Suparta M. A., Ilmu Hadits, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO, 2004), hlm. 248
[7] As-Shan'ani, Subulus Salam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), hlm. 621)


[8] Imam al-Nawawi, Syarah Muslim, Penerbit : Muassiah Qurthubah, Juz. IX, Hal. 302-305
[9] Zakia Drajat,Ilmu Fiqih jilid 3,(Jakarta: Depag RI,1985)hlm.83
[10] Syarah Sahih Muslim,9:192
[11] Fatwa al-Lajnah ad Daimah no.6029,19:35
[12] Muhammad bin Ali bin Muhammad as-Syaukani,  Nailul al-Authar Makhtabah wa Muthobiah (Kairo:   Musthofa Al-Halbi wa Auladihi 1971)hlm.189
[13] (Abu Abdurrahman Ahmad bin Syuaib, Sunan An Nasa'i juz VI (tp, 1964), hlm. 98)

No comments:

Post a Comment