PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pernikahan merupakan
salah satu di antara sekian banyak syariat Islam yang perlu dilakukan oleh umat
islam. Pernikahan adalah sebuah perjanjian sakral antara dua jenis kelamin yang
berlaianan untuk mengarungi bahtera rumah tangga secara bersama-sama. Perlu
diketahui bahwa kehidupan rumah tangga tidak lepas dari permasalahan, baik
masalah yang sepele hingga masalah yang membutuhkan kedewasaan berpikir agar
terhindar dari pertengkaran yang berkepanjangan. Sehingga hal ini membutuhkan
saling memahami antar suami istri, perlu mengetahui hak dan kewajiban suami
terhadap istri atau hak dan
kewajiban istri terhadap suami.
Dewasa
ini banyak kasus perceraian yang terjadi di kalangan masyarakat, apapun
alasannya mengapa kalangan masyarakat sering terjadi kasus perceraian, mungkin
mereka belum banyak memahami hak dan kewajiban suami terhadap istri atau
sebaliknya. Maka dipandang perlu untuk kita mengkaji dan membahas hal tersebut
secara mendalam.
1.2
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana hadis
tentang hak dan kewajiban suami istri?
b.
Bagaimana
kualitas hadis hak dan kewajiban suami istri?
c.
Bagaimana syarah
hadis hak dan kewajiban suami istri?
d.
Bagaimana
kandungan hadis hak dan kewajiban suami istri?
e.
Bagaimana
ketentuan perundang-undangan tentang hadis hak dan kewajiban suami istri?
PEMBAHASAN
A. Teks
Hadith
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ أَخْبَرَنَا
أَبُو قَزَعَةَ الْبَاهِلِىُّ عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِىِّ عَنْ أَبِيهِ
قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ « أَنْ
تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ - أَوِ اكْتَسَبْتَ -
وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ ».
قَالَ أَبُو دَاوُدَ « وَلاَ تُقَبِّحْ ». أَنْ تَقُولَ قَبَّحَكِ اللَّهُ [1]
“Musa ibn Isma’il
bercerita kepadaku, Hammad bercerita kepadaku, Abu Qaza’ah al-Bahili
mengabarkan kepadaku dari Hakim ibn Mu’awiyah al-Qusyairi dari ayahnya, Ayahnya
berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah apa sajakah hak istri kita?”, Rasul pun
menjawab: “Hendaknya istrimu kau beri makan jika kau makan, jika kau bekerja,
hendaknya kau beri pakaian kepadanya, jangan pukul wajahnya, jangan mencela dan
menjauhi (pisah ranjang sementara) kecuali dalam rumah”
B. Mufrodat dan Biografi Perawi Hadith
1. لاَتَهْجُر:
tidak menggaulinya, tidak bertanggungjawab, atau tidak menegurnya
2. اكْتَسَى : berpakaian
3. يُقَبَّحْ: kata-kata kotor/jorok/keji/mengumpat
C.
Biografi Perawi
1.
Nama lengkapnya Musa ibn Isma’il,
sedangkan nama julukannya yakni Abu Salamah. Ia wafat di Bashrah pada tahun 223
Hijriyah. Ia berguru pada 41 orang yang diantaranya Aban ibn Yazid al-Athar,
Ibrahim ibn sa’ad az-Zuhri, Tamim ibn Syarik, Abu Muhammad Juwairuyah, Hammad
ibn Zaid/Abu Isma’il, Hafs ibn Amr, Hammad ibn Salamah/Abu Salamah. Ia juga
mempunyai murid sebanyak 60 orang yang diantaranya Al-Bukhari, Abu Dawud, Ahmad
ibn Dawud al Maki, Ahmad Ibn Hasan/Abu Hasan, Hasan ibn Ali, Abdur Rahman ibn
Abdil Wahhab. Kritik sabadnya menurut Isma’il dan Abu al-Walid tsiqah, shaduq,
menurut Yahya ibn Mu’in tsiqah dan mam’un, menurut Al-Ajliy, Abu Hatim, dan
Muhammad Ibn Said tsiqah, sedangkan menurut Ibn Hibban termasuk orang-orang
yang sempurna atau kwalitas baik.[2]
2.
Nama perawi Hammad ibn Salamah ibn Dinar, nama julukannya Abu Salamah. Ia wafat di Bashrah pada tahun 167 Hijriyah. Ia berguru pada 149 orang
yang diantaranya Abu Qaza’ah/Suwaid ibn Hajiz, Al-azraq ibn Qais, Asy’ats ibn
Abdillah, Abu Rabi’ah, Suhail ibn Abi shalih. Ia juga mempunyai murid sebanyak
91 orang, diantaranya Musa ibn Isma’il/Abu Salamah, Ibrahim ibn Hajjaj as-Sami,
Adam ibn Abi Iyas. Kritik sanad menurut Ali ibn Al-madini termasuk rowi yang
paling tsabit diantara ashab at-Tsabit, menurut Abdur Rahman ibn Mahdi termasuk
rawi yang punya pendengaran baik dan pandai, menurut Hammam termasuk rawi yang
mempunyai hafalan kuat, menurut Yahya ibn Mu’in, Al-Ajliy, An-Nasa’I, dan
Muhammad ibn Sa’id tsiqah, menurut As-Saji hafidz, tsiqah, ma’mun, sedangkan
menurut Ibn Hibban memasukkan dalam kitab tsiqaat.[3]
3.
Nama perawi Suwaid ibn Hujair ibn Bayan, nama julukannya Abu Qaza’ah. Ia wafat di Bashrah. Ia berguru pada 10 orang yang diantaranya Hakim
ibn Mu’awwiyah, Al-Asqa’ ibn Asla’, Anas ibn Malik, Ikrimah al-Makhzumi, Abi
Nadlrah al-Abdi, Harits ibn Abdillah, Hasan ibn Abi Hasan. Ia juga mempunyai
murid sebanyak 8 orang yang diantaranya Hammad ibn Salamah/Abu Salamah, Jabir
al-Ju’fi, Hajjaj ibn Hajjaj al-Bahili, Syu’bah ibn al-Hajjaj, Hatim ibn Abi
Shaghirah, Dawud ibn Abi Hindin. Kritik sanadnya menurut An-Nasa’I, Ali ibn
al-Madini, Abu Dawud as-Sijstani, Al Ajliy tsiqah, menurut Ahmad ibn Hanbal
memasukkan dalam kitab tsiqaat, sedangkan menurut Abu Hatim ar-Razi shalih.[4]
4.
Nama perawi Hakim ibn Mu’awiyah al-Qusyairiy. Ia wafat di Bashrah. Ia berguru pada satu orang saja yakni Mu’awwiyah
ibn hidah ibn Mu’awwiyah ibn Qusyairiy. Ia mempunyai 4 orang murid diantaranya
Suwaid ibn Hajiz/Abu Qaza’ah, Sa’id ibn Ilyas, Sa’id ibn Hakim ibn Mu’awwiyah.
Kritik sanadnya menurut Al-Ajliy tsiqah, menurut Ibn Hibban memasukkan dalam
kitab tsiqaat, menurut An-Nasa’I “laysa bihi ba’sun” (tidak terdapat cela).[5]
Berdasarkan penelitian sanad hadis di atas, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa hadis tentang hak istri yang diriwayatkan oleh Musa ibn
Isma’il
tersebut termasuk hadis yang mempunyai kualitas sanad shahih sebab sanadnya
bersambung dan para rawi yang meriwayatkan mempunyai tingkatan ta’dil yang
baik.
D. Penjelasan dan
Kandungan Hukum Hadith
1.
Penjelasan Hadith
Secara bahasa, an-nafaqat bentuk jamak dari kata nafaqah,
kata benda yang dibendakan (masdar) al-infaq, yaitu
memberikan sesuatu secara baik demi mengharap ridha Allah.[6]
Sebagai sebuah sumber hukum utama, al-Qur’an sedikit
banyak telah menyinggung persoalan rumah tangga, khususnya yang berkaitan
dengan hak istri dalam
hadis di atas. Ayat yang menjelaskan tentang permasalahan
tersebut di antaranya
adalah:
1. Surat
an-Nisa’: 19, tentang
menggaluli istri secara baik,
$yg"r'¯»t z`Ï%©!$# (#qãYtB#uä xw @Ïts öNä3s9 br& (#qèOÌs? uä!$|¡ÏiY9$# $\döx. ( xwur £`èdqè=àÒ÷ès? (#qç7ydõ9tGÏ9 ÇÙ÷èt7Î/ !$tB £`èdqßJçF÷s?#uä HwÎ) br& tûüÏ?ù't 7pt±Ås»xÿÎ/ 7poYÉit6"B 4 £`èdrç}Ű$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £`èdqßJçF÷dÌx. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s? $\«ø9x© x@yèøgs ur ª!$# Ïm`Ïù #Z}öyz #Z}ÏWx2 ÇÊÒÈ
(Hai
orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan
paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian
dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak)
Ayat di atas
secara substantif menyuruh seorang suami untuk mempergauli istri secara baik.
Menurut imam Abu Ja’far at-Thabari, menggauki istri secara baik maksudnya
adalah memperlakukannya sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah serta
memenuhi hak-hak yang dimiliki oleh istri atas suami.[7]
Banyak cara yang dapat dilakukan oleh seorang suami dalam memberikan hak
terhadap istri, khususnya dalam hal pergaulan yang pada akhirnya kembali pada
keahlian yang bersangkutan untuk menciptakan kehidupan keluarga yang harmonis.
Hal ini merupakan seni tersendiri dalam membina manejemen keluarga. Oleh karena
itu harus dicari kiat-kiat tertentu untuk mewujudkan suasana kondusif, suasana
sakinah, mawaddah wa rahmah. Suami harus menghindari hal-hal yang dapat membuat
istri tersinggung atau tersakiti.
2. Surat al-Baqarah: 222 dan 223 tentang mendatangi istri atau memberi nafkah batin
atRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙ`ÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]Rr& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙ`ÅsyJø9$# ( xwur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜt ( #sRÎ*sù tbö£gsÜs? Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]ø9ym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§qG9$# =Ïtä ur aúïÌÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ öNä.ät!$|¡ÎS Ó^öym öNä3©9 (#qè?ù'sù öNä3rOöym 4¯Tr& ÷Läê÷¥Ï© ( (#qãBÏd0s%ur ö/ä3Å¡àÿRL{ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur Nà6¯Rr& çnqà)»n="B 3 ÌÏe±o0ur aúüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËËÌÈ
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh.
Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu
hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah
mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan
diri.
Isteri-isterimu
adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang
baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu
kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
Ayat di
atas turun berkenaan dengan peristiwa bangsa arab jahiliyah yang memperlakukan
wanita-wanita yang sedang haid dengan perlakuan yang tidak manusiawi di mana
para wanita haid dijauhi dan diasingkan.[8]
Dari ayat
di atas dapat dipahami bahwa hubungan biologis adalah hak bersama dan merupakan
sesuatu yang halal secara mutlak. As-Syaukani dalam Fathul Qadirnya menjelaskan
bahwa suami diperbolehkan secara mutlak untuk mendatangi istrinya dengan cara
apapun, yang penting adalah dilakukan pada tempat yang semestinya yakni jalan
depan, meski didatangi dari arah belakang. [9]Namun
ada sedikit batas, misalnya dari segi waktu, seorang suami tidak diperkenankan
mendatangi istrinya di saat sang istri haid, saat siang hari bulan ramadlan
atau saat ihram.
3. Surat at-Thalaq:
6, tentang nafkah lahir bagi istri
£`èdqãZÅ3ó"r& ô`ÏB ß]ø9ym OçGYs3y" `ÏiB öNä.Ï0÷`ãr xwur £`èdr"!$xÒè? (#qà)Íh`xÒçGÏ9 £`Íkö}n=tã 4 bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`Íkö}n=tã 4Ó®Lym z`÷èxÒt £`ßgn=÷Hxq 4 ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& ( (#rãÏJs?ù&ur /ä3uZ÷t/ 7$rã÷èoÿÏ3 ( bÎ)ur ÷Län÷}| $yès? ßìÅÊ÷}äI|¡sù ÿ¼ã&s! 3t÷zé& ÇÏÈ
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu
bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka
untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah
ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala
sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya.
Terkait
dengan pemahaman ayat di atas, imam al-Farra’ sebagaimana dikutip Fakhrur Razi
dalam Mafatih al-Ghaib, menjelaskan bahwa dalam hal memberikan tempat tinggal
yang nyaman bagi istri itu dilakukan dengan bi qadri at thaqah (semampunya
saja)[10],
tidak perlu memaksakan dengan menyediakan tempat tinggal mewah sementara ia
sendiri sejatinya tidak mampu untuk itu.
Secara umum
ayat di atas memberikan pengertian bahwa:
1. Suami wajib
memberikan istri tempat berteduh dan nafkah lain.
2. Istri harus mengikuti
suami dan taat kepadanya.
3. Besarnya
kewajiban nafkah bergantung pada keleluasaan suami sebab Allah tidak
memberatkan hamba-hambaNya dengan beban yang tertanggungkan.
Jadi,
pemberian nafkah itu atas kesanggupan suami dan bukan bergantung pada
permintaan istri.
Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah R.A
عَنْ عَائِشَةَ قَالَت دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ
عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ لَا يُعْطِينِي مِنْ النَّفَقَةِ
مَا يَكْفِينِي وَيَكْفِي بَنِيَّ إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْر عِلْمِهِ
فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِي
بَنِيك
Artinya:“Dari
Aisyah beliau berkata:” Hindun putri ‘Utbah isteri Abu Sufyan masuk menghadap
Rasulullah SAW seraya berkata : Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah
seorang lelaki yang kikir. Dia tidak memberikan saya nafkah yang cukup untuk
saya dan anak-anakku selain apa yang saya ambil dari sebagian hartanya tanpa
setahunya. Apakah saya berdosa karena perbuatanku itu ? Lalu Rasul Saw.
bersabda: “Ambillah olehmu sebagian dari hartanya dengan cara yang baik
secukupnya untukmu dan anak-anakmu.”(HR.Muslim)[11]
Hadis tersebut
jelas menyatakan bahwa ukuran nafkah itu relatif, jika kewajiban nafkah
mempunyai batasan dan ukuran tertentu, Rasulullah SAW akan memerintahkan Hindun
untuk mengambil ukuran nafkah yang dimaksud, tetapi pada saat itu Rasulullah
hanya memerintahkan Hindun untuk mengambil sebagian harta suaminya dengan cara
baik dan secukupnya. Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayah Al-Mujtahid mengemukakan
pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah tentang ukuran nafkah ini bahwa besarnya
nafkah tidak ditentukan oleh syara’, akan tetapi berdasarkan keadaan
masing-masing suami-isteri dan hal ini akan berbeda–beda berdasarkan perbedaan
tempat, waktu dan keadaan. Nafkah
merupakan kewajiban suami dalam bentuk materi yang mana nafkah merupakan
pengeluaran yang wajar dan diberikan kepada orang-orang yang menjadi tanggung
jawabnya.[12]
E.
Kandungan Hukum Hadith
Yang dimaksud dengan hak adalah apa-apa yang diterima oleh
seseorang dari orang lain, sedangkan kewajiban adalah apa-apa yang mesti
dilakukan seseorang terhadap orang lain.
Dalam hubungan rumah tangga, suami mempunyai hak dan kewajiban begitu
juga istri mempunyai hak dan kewajiban.
1.
Hak Pribadi Istri atau Kewajiban
Suami
a)
Menurut Muhammad Al-Dusuqi
“hak-hak istri terhadap suami yang timbul
karena adanya akad nikah yang benar dan sah, yaitu: (1) mendapat mahar, (2)
menerima nafkah, (3) memperoleh pengajaran ilmu agama, (4) digauli dengan
patut, dan (5) mendapat perlakuan adil manakala suami berpoligami.”[13]
b)
Menurut Quraish Shihab
“kewajiban suami terhadap istri terdiri dari
dua hal : (1) yang berupa uang, yaitu mahar dan nafkah sehari-hari. (2) yang
berupa non-materi, yaitu mempergauli istri dengan sebaik-baiknya dan
melaksanakan keadilan diantara istri-istri jika menikahi lebih dari satu orang
istri.”[14]
c)
Menurut Amir Syarifudin
Hak dan kewajiban istri itu terbagi menjadi
dua bagian, yakni (1) kewajiban yang berupa materi, biasa disebut nafaqah dan
(2) kewajiban yang tidak bersifat meteri.[15]
2.
Hak pribadi suami atau kewajiban
istri
a.
Taat pada suami
b.
Memelihara kehormatan dan harta
suami
c.
Berhias untuk suami
d.
Menjadi patner suami[16]
Hak dan kewajiban suami istri dalam Fiqh/Hukum Islam:
3.
Hak bersama suami istri
a)
Suami dan istri dihalalkan
mengadakan hubungan seksual
b)
Haram melakukan pernikahan, artinya
baik suami maupun istri tidak boleh melakukan pernikahan dengan saudaranya
masing-masing
c)
Dengan adanya ikatan pernikahan,
kedua belah pihak saling mewarisi apabila salah seorang di antara keduanya
telah meninggal meskipun belum bersetubuh
d)
Anak mempunyai nasab yang jelas
e)
Kedua belah pihak wajib bertingkah
laku dengan baik sehingga dapat melahirkan kemesraan dalam kedamaian hidup
4.
Kewajiban bersama suami istri
a)
Suami istri memikul kewajiban yang
luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawadah, warahmmah yang menjadi sendi dasar dari
susunan masyarakat
b)
Suami istri wajib saling mencintai,
menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir batin
c)
Suami istri memikul kewajiban untuk
mengasuh dan memelihara anak-anak merka baik mengenai pertumbuhan jasmani,
rohani, maupun kecerdasannya, serta pendidikan agamanya
d)
Suami istri wajib memelihara
kehormatannya
e)
Jika suami atau istri melalaikan
kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama
Hak dan
kewajiban antara suami dan istri adalah hak dan kewajiban yang timbul karena
adanya perkawinan antara mereka. Tentang hak dan kewajiban suami istri diatur
dalam BAB VI Pasal 30-34 UU Nomor 1 Tahun 1974. [17]
Pasal 30
Suami-istri
memikulkewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi
dasar susunan masyarakat.
Pasal 31
1)
Hak dan kedudukan istri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam
masyartakat
2)
Masing-masing pihak berhak untuk
melakukan perbuatan hukum
3)
Suami adalah Kepala Keluarga dan
istri ibu rumah tangga
Pasal 32
1)
Suami-istri harus mempunyai tempat
kediaman yang tetap
2)
Rumah tempat kediaman yang
dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami-istri bersama
Pasal 33
Suami isteri
wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan
lahir batin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
1)
Suami wajib melindungi istrinya dan
memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya
2)
Istri wajib mengatur urusan
rumah-tangga sebaik-baiknya
3)
Jika suami atau istri melalaikan
kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan
Hak dan kewajiban suami istri ini juga diatur
secara detail dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) untuk lebih jelasnya adalah
sebagai berikut:
a.
Kewajiban suami dijelaskan dalam
Pasal 80 yaitu :[18]
1.
Suami adalah pembimbing terhadap
istri dan rumah tangganya, akan tetap menngenai hal-hal urusan rumah tangga
yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersaama.
2.
Suami wajib melindungi isterinya
dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya.
3.
Suami wajib memberikan pendidikan
agama kepada istrinya dan memberikan kesempatan belajar pengetahuan yang
berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
4.
Sesuai dengan penghasilannya suami
menanggung:
a)
Nafkah, kiswah dan tempat kediaman
bagi istri
b)
Biaya rumah tangga, biaya perawatan
dan biaya pengobatan bagi istri dan anak
c)
Biaya pendidikan bagi anak
5.
Kewajiban suami terhadap istrinya
seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada
tamkin sempurna bagi istrinya.
6.
Istri dapat membebaskan suaminya
dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan
b.
7.
Kewajiban suami sebagaimana dimaksud
ayat (5) gugur apabila istri nusyuz.
b.
Kewajiban istri dijelaskan dalam
Pasal 83 yaitu :[19]
1.
Kewajiban utama bagi seorang istri
ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum
islam.
2.
Istri menyelenggarakan dan mengatur
keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
c. Kewajiban
bersama antara suami dan istri diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab XII
Pasal 77 sampai Pasal 84.
KESIMPULAN
1.
Bunyi hadis tentang hak dan
kewajiban suami istri
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا
حَمَّادٌ أَخْبَرَنَا أَبُو قَزَعَةَ الْبَاهِلِىُّ عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ
الْقُشَيْرِىِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ
أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ « أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ
- أَوِ اكْتَسَبْتَ - وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ
فِى الْبَيْتِ ». قَالَ أَبُو دَاوُدَ « وَلاَ تُقَبِّحْ ». أَنْ تَقُولَ قَبَّحَكِ
اللَّهُ
2.
Mengenai hadis tentang hak dan
kewajiban suami istri di atas sanad, biografi,
dan kualitas hadisnya adalah:
Hadis ini
diriwayatkan dari Musa ibn Isma’il bercerita kepadaku,
Hammad bercerita kepadaku, Abu Qaza’ah al-Bahili mengabarkan kepadaku dari
Hakim ibn Mu’awiyah al-Qusyairi dari ayahnya.
Kualitas
hadis tersebut sahih karena perawi-perawinya berpredikat siqoh.
3.
Hadis ini menjelaskan tentang hak
dan kewajiban suami istri. Istri berhak mendapatkan nafkah dari suami,
sedangkan hak suami ialah ditaati oleh istri.
4.
Ketentuan perundang-undangan yang
mengatur tentang hak dan kewajiban suami istri diatur dalam UU No.1 Tahun 1974
pada Pasal 30 sampai 34
Maksud dari hadist tersebut point utamanya yaitu menyangkut
kewajiban suami istri yang mana dalam hadist btersebut dilafadzkan sebagai nafaqah
yang mana secara bahasa, an-nafaqat
bentuk jamak dari kata nafaqah, kata benda yang dibendakan (masdar)
al-infaq, yaitu memberikan sesuatu secara baik demi mengharap ridha
Allah.
Sebagai sebuah sumber hukum utama, al-Qur’an sedikit
banyak telah menyinggung persoalan rumah tangga, khususnya yang berkaitan
dengan hak istri dalam
hadis di atas. Ayat yang menjelaskan tentang permasalahan
tersebut seperti yang
terdapat pada surat an-nisa’ ayat 19 yang menyampaikan pesan sebagai mana secara
substantif menyuruh seorang suami untuk mempergauli istri secara baik. Menurut
imam Abu Ja’far at-Thabari, menggauki istri secara baik maksudnya adalah
memperlakukannya sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah serta memenuhi
hak-hak yang dimiliki oleh istri atas suami.
[2]
Al Mizzi, Tahdhib al Kamal,
juz 18, (Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyah, tt), Hlm. 440-443
[3]
Ibid, Juz 5, Hlm. 175-185
[4]
Jamaluddin Abi Hajjaj, Tahdzibul
kamal fil asma arrijal, juz 21, Hlm. 465
[6] Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam
Syafi’i 3, penerjemah. Moh. Afifi, Abdul Aziz, (Jakarta: PT. Niaga Swadaya,
2010), Hlm. 41
[8] Syamsuddin al-Qurthubi, Jami’ li Ahkam
al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1964), Juz 3, Hlm. 80
[9] Ibnu Muhammad as-syaukani, Fath al-Qadir
baina fannay ar-riwayah wa ad-Dirayah, (t.tp: t.t), juz. 1, Hlm. 303
[11] Imam Muslim, Shohih Muslim. Juz
9, Hlm. 105
[13]Muhammad Al-Dusuqi, Ahwal
As-Sakhsiyah fi Al-Maadzhab As-Syafi’I, (Darussalam:Kairo, 2011), Hlm. 92.
[14]M.Quraish Shihab, Fiqh Praktis
II : Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama, (Bandung:
Karisma, 2008), Hlm. 130.
[15]Amir Syaifudin, Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang
Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2014), Hlm. 160.
[16] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan
Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Al-Usroh wa Ahkamuha Fi Tasyri’ Al-Islami, Terj.
Abdul Madjid Khon, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), Hlm. 223-229.
[17]Salim, Pengantar Hukum Perdata
Tertulis, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), Hlm. 74.
[18]Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi
Hukum Islam, (Bandung CV Nuansa Aulia,2011), hlm. 25.
[19]Ibid.hal.272
No comments:
Post a Comment