Total Pageviews

Thursday, November 28, 2019

MAKALAH HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI



PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Pernikahan merupakan salah satu di antara sekian banyak syariat Islam yang perlu dilakukan oleh umat islam. Pernikahan adalah sebuah perjanjian sakral antara dua jenis kelamin yang berlaianan untuk mengarungi bahtera rumah tangga secara bersama-sama. Perlu diketahui bahwa kehidupan rumah tangga tidak lepas dari permasalahan, baik masalah yang sepele hingga masalah yang membutuhkan kedewasaan berpikir agar terhindar dari pertengkaran yang berkepanjangan. Sehingga hal ini membutuhkan saling memahami antar suami istri, perlu mengetahui hak dan kewajiban suami terhadap istri atau hak dan kewajiban istri terhadap suami.
Dewasa ini banyak kasus perceraian yang terjadi di kalangan masyarakat, apapun alasannya mengapa kalangan masyarakat sering terjadi kasus perceraian, mungkin mereka belum banyak memahami hak dan kewajiban suami terhadap istri atau sebaliknya. Maka dipandang perlu untuk kita mengkaji dan membahas hal tersebut secara mendalam.
1.2 Rumusan Masalah
a.       Bagaimana hadis tentang hak dan kewajiban suami istri?
b.      Bagaimana kualitas hadis hak dan kewajiban suami istri?
c.       Bagaimana syarah hadis hak dan kewajiban suami istri?
d.      Bagaimana kandungan hadis hak dan kewajiban suami istri?
e.       Bagaimana ketentuan perundang-undangan tentang hadis hak dan kewajiban suami istri?


PEMBAHASAN
A.    Teks Hadith

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ أَخْبَرَنَا أَبُو قَزَعَةَ الْبَاهِلِىُّ عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِىِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ « أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ - أَوِ اكْتَسَبْتَ - وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ ». قَالَ أَبُو دَاوُدَ « وَلاَ تُقَبِّحْ ». أَنْ تَقُولَ قَبَّحَكِ اللَّهُ [1]
Musa ibn Isma’il bercerita kepadaku, Hammad bercerita kepadaku, Abu Qaza’ah al-Bahili mengabarkan kepadaku dari Hakim ibn Mu’awiyah al-Qusyairi dari ayahnya, Ayahnya berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah apa sajakah hak istri kita?”, Rasul pun menjawab: “Hendaknya istrimu kau beri makan jika kau makan, jika kau bekerja, hendaknya kau beri pakaian kepadanya, jangan pukul wajahnya, jangan mencela dan menjauhi (pisah ranjang sementara) kecuali dalam rumah

B.     Mufrodat dan Biografi Perawi Hadith
1.      لاَتَهْجُر: tidak menggaulinya, tidak bertanggungjawab, atau tidak menegurnya
2.      اكْتَسَى : berpakaian
3.      يُقَبَّحْ: kata-kata kotor/jorok/keji/mengumpat

C.    Biografi Perawi
1.      Nama lengkapnya Musa ibn Isma’il, sedangkan nama julukannya yakni Abu Salamah. Ia wafat di Bashrah pada tahun 223 Hijriyah. Ia berguru pada 41 orang yang diantaranya Aban ibn Yazid al-Athar, Ibrahim ibn sa’ad az-Zuhri, Tamim ibn Syarik, Abu Muhammad Juwairuyah, Hammad ibn Zaid/Abu Isma’il, Hafs ibn Amr, Hammad ibn Salamah/Abu Salamah. Ia juga mempunyai murid sebanyak 60 orang yang diantaranya Al-Bukhari, Abu Dawud, Ahmad ibn Dawud al Maki, Ahmad Ibn Hasan/Abu Hasan, Hasan ibn Ali, Abdur Rahman ibn Abdil Wahhab. Kritik sabadnya menurut Isma’il dan Abu al-Walid tsiqah, shaduq, menurut Yahya ibn Mu’in tsiqah dan mam’un, menurut Al-Ajliy, Abu Hatim, dan Muhammad Ibn Said tsiqah, sedangkan menurut Ibn Hibban termasuk orang-orang yang sempurna atau kwalitas baik.[2]
2.      Nama perawi Hammad ibn Salamah ibn Dinar, nama julukannya Abu Salamah. Ia wafat di Bashrah pada tahun 167 Hijriyah. Ia berguru pada 149 orang yang diantaranya Abu Qaza’ah/Suwaid ibn Hajiz, Al-azraq ibn Qais, Asy’ats ibn Abdillah, Abu Rabi’ah, Suhail ibn Abi shalih. Ia juga mempunyai murid sebanyak 91 orang, diantaranya Musa ibn Isma’il/Abu Salamah, Ibrahim ibn Hajjaj as-Sami, Adam ibn Abi Iyas. Kritik sanad menurut Ali ibn Al-madini termasuk rowi yang paling tsabit diantara ashab at-Tsabit, menurut Abdur Rahman ibn Mahdi termasuk rawi yang punya pendengaran baik dan pandai, menurut Hammam termasuk rawi yang mempunyai hafalan kuat, menurut Yahya ibn Mu’in, Al-Ajliy, An-Nasa’I, dan Muhammad ibn Sa’id tsiqah, menurut As-Saji hafidz, tsiqah, ma’mun, sedangkan menurut Ibn Hibban memasukkan dalam kitab tsiqaat.[3]
3.      Nama perawi Suwaid ibn Hujair ibn Bayan, nama julukannya Abu Qaza’ah. Ia wafat di Bashrah. Ia berguru pada 10 orang yang diantaranya Hakim ibn Mu’awwiyah, Al-Asqa’ ibn Asla’, Anas ibn Malik, Ikrimah al-Makhzumi, Abi Nadlrah al-Abdi, Harits ibn Abdillah, Hasan ibn Abi Hasan. Ia juga mempunyai murid sebanyak 8 orang yang diantaranya Hammad ibn Salamah/Abu Salamah, Jabir al-Ju’fi, Hajjaj ibn Hajjaj al-Bahili, Syu’bah ibn al-Hajjaj, Hatim ibn Abi Shaghirah, Dawud ibn Abi Hindin. Kritik sanadnya menurut An-Nasa’I, Ali ibn al-Madini, Abu Dawud as-Sijstani, Al Ajliy tsiqah, menurut Ahmad ibn Hanbal memasukkan dalam kitab tsiqaat, sedangkan menurut Abu Hatim ar-Razi shalih.[4]
4.      Nama perawi Hakim ibn Mu’awiyah al-Qusyairiy. Ia wafat di Bashrah. Ia berguru pada satu orang saja yakni Mu’awwiyah ibn hidah ibn Mu’awwiyah ibn Qusyairiy. Ia mempunyai 4 orang murid diantaranya Suwaid ibn Hajiz/Abu Qaza’ah, Sa’id ibn Ilyas, Sa’id ibn Hakim ibn Mu’awwiyah. Kritik sanadnya menurut Al-Ajliy tsiqah, menurut Ibn Hibban memasukkan dalam kitab tsiqaat, menurut An-Nasa’I “laysa bihi ba’sun” (tidak terdapat cela).[5]
Berdasarkan penelitian sanad hadis di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hadis tentang hak istri yang diriwayatkan oleh Musa ibn Isma’il tersebut termasuk hadis yang mempunyai kualitas sanad shahih sebab sanadnya bersambung dan para rawi yang meriwayatkan mempunyai tingkatan ta’dil yang baik.
D.    Penjelasan dan Kandungan Hukum Hadith
1.      Penjelasan Hadith
Secara bahasa, an-nafaqat bentuk jamak dari kata nafaqah, kata benda yang dibendakan (masdar) al-infaq, yaitu memberikan sesuatu secara baik demi mengharap ridha Allah.[6]
Sebagai sebuah sumber hukum utama, al-Qur’an sedikit banyak telah menyinggung persoalan rumah tangga, khususnya yang berkaitan dengan hak istri dalam hadis di atas. Ayat yang menjelaskan tentang permasalahan tersebut di antaranya adalah:
1.      Surat an-Nisa’: 19, tentang menggaluli istri secara baik,
$yg"r'¯»t z`Ï%©!$# (#qãYtB#uä xw @Ïts  öNä3s9 br& (#qèO̍s? uä!$|¡ÏiY9$# $\döx. ( xwur £`èdqè=àÒ÷ès? (#qç7ydõ9tGÏ9 ÇÙ÷èt7Î/ !$tB £`èdqßJçF÷s?#uä HwÎ) br& tûüÏ?ù't 7pt±Ås»xÿÎ/ 7poYÉit6"B 4 £`èdrç}Ű$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £`èdqßJçF÷d̍x. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s? $\«ø9x© x@yèøgs ur ª!$# Ïm`Ïù #Z}öyz #Z}ÏWx2 ÇÊÒÈ  
(Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak)

                Ayat di atas secara substantif menyuruh seorang suami untuk mempergauli istri secara baik. Menurut imam Abu Ja’far at-Thabari, menggauki istri secara baik maksudnya adalah memperlakukannya sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah serta memenuhi hak-hak yang dimiliki oleh istri atas suami.[7] Banyak cara yang dapat dilakukan oleh seorang suami dalam memberikan hak terhadap istri, khususnya dalam hal pergaulan yang pada akhirnya kembali pada keahlian yang bersangkutan untuk menciptakan kehidupan keluarga yang harmonis. Hal ini merupakan seni tersendiri dalam membina manejemen keluarga. Oleh karena itu harus dicari kiat-kiat tertentu untuk mewujudkan suasana kondusif, suasana sakinah, mawaddah wa rahmah. Suami harus menghindari hal-hal yang dapat membuat istri tersinggung atau tersakiti.
2.      Surat al-Baqarah: 222 dan 223 tentang  mendatangi istri atau memberi nafkah batin
atRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙ`ÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]Rr& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙ`ÅsyJø9$# ( xwur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜt ( #sRÎ*sù tbö£gsÜs?  Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]ø9ym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä  tûüÎ/º§q­G9$# =Ïtä ur aúï̍ÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ   öNä.ät!$|¡ÎS Ó^öym öNä3©9 (#qè?ù'sù öNä3rOöym 4¯Tr& ÷Läê÷¥Ï© ( (#qãBÏd0s%ur ö/ä3Å¡àÿRL{ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqßJn=ôã$#ur Nà6¯Rr& çnqà)»n="B 3 ̍Ïe±o0ur aúüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËËÌÈ  
 Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
Ayat di atas turun berkenaan dengan peristiwa bangsa arab jahiliyah yang memperlakukan wanita-wanita yang sedang haid dengan perlakuan yang tidak manusiawi di mana para wanita haid dijauhi dan diasingkan.[8]
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa hubungan biologis adalah hak bersama dan merupakan sesuatu yang halal secara mutlak. As-Syaukani dalam Fathul Qadirnya menjelaskan bahwa suami diperbolehkan secara mutlak untuk mendatangi istrinya dengan cara apapun, yang penting adalah dilakukan pada tempat yang semestinya yakni jalan depan, meski didatangi dari arah belakang. [9]Namun ada sedikit batas, misalnya dari segi waktu, seorang suami tidak diperkenankan mendatangi istrinya di saat sang istri haid, saat siang hari bulan ramadlan atau saat ihram.
3.      Surat at-Thalaq: 6, tentang nafkah lahir bagi istri
£`èdqãZÅ3ó"r& ô`ÏB ß]ø9ym OçGYs3y" `ÏiB öNä.Ï0÷`ãr xwur £`èdr"!$xÒè? (#qà)Íh`xÒçGÏ9 £`Íkö}n=tã 4 bÎ)ur £`ä. ÏM»s9'ré& 9@÷Hxq (#qà)ÏÿRr'sù £`Íkö}n=tã 4Ó®Lym z`÷èxÒt £`ßgn=÷Hxq 4 ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é& ( (#rãÏJs?ù&ur /ä3uZ÷t/ 7$rã÷èoÿÏ3 ( bÎ)ur ÷Län÷}| $yès? ßìÅÊ÷}äI|¡sù ÿ¼ã&s! 3t÷zé& ÇÏÈ  
 Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
Terkait dengan pemahaman ayat di atas, imam al-Farra’ sebagaimana dikutip Fakhrur Razi dalam Mafatih al-Ghaib, menjelaskan bahwa dalam hal memberikan tempat tinggal yang nyaman bagi istri itu dilakukan dengan bi qadri at thaqah (semampunya saja)[10], tidak perlu memaksakan dengan menyediakan tempat tinggal mewah sementara ia sendiri sejatinya tidak mampu untuk itu.
Secara umum ayat di atas memberikan pengertian bahwa:
1.      Suami wajib memberikan istri tempat berteduh dan nafkah lain.
2.      Istri harus mengikuti suami dan taat kepadanya.
3.      Besarnya kewajiban nafkah bergantung pada keleluasaan suami sebab Allah tidak memberatkan hamba-hambaNya dengan beban yang tertanggungkan.
Jadi, pemberian nafkah itu atas kesanggupan suami dan bukan bergantung pada permintaan istri.

Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah R.A
عَنْ عَائِشَةَ قَالَت دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِي سُفْيَانَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ لَا يُعْطِينِي مِنْ النَّفَقَةِ مَا يَكْفِينِي وَيَكْفِي بَنِيَّ إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْر عِلْمِهِ فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِي بَنِيك
Artinya:“Dari Aisyah beliau berkata:” Hindun putri ‘Utbah isteri Abu Sufyan masuk menghadap Rasulullah SAW seraya berkata : Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang lelaki yang kikir. Dia tidak memberikan saya nafkah yang cukup untuk saya dan anak-anakku selain apa yang saya ambil dari sebagian hartanya tanpa setahunya. Apakah saya berdosa karena perbuatanku itu ? Lalu Rasul Saw. bersabda: “Ambillah olehmu sebagian dari hartanya dengan cara yang baik secukupnya untukmu dan anak-anakmu.”(HR.Muslim)[11]
Hadis tersebut jelas menyatakan bahwa ukuran nafkah itu relatif, jika kewajiban nafkah mempunyai batasan dan ukuran tertentu, Rasulullah SAW akan memerintahkan Hindun untuk mengambil ukuran nafkah yang dimaksud, tetapi pada saat itu Rasulullah hanya memerintahkan Hindun untuk mengambil sebagian harta suaminya dengan cara baik dan secukupnya. Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayah Al-Mujtahid mengemukakan pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah tentang ukuran nafkah ini bahwa besarnya nafkah tidak ditentukan oleh syara’, akan tetapi berdasarkan keadaan masing-masing suami-isteri dan hal ini akan berbeda–beda berdasarkan perbedaan tempat, waktu dan keadaan. Nafkah merupakan kewajiban suami dalam bentuk materi yang mana nafkah merupakan pengeluaran yang wajar dan diberikan kepada orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.[12]
E.     Kandungan Hukum Hadith
Yang dimaksud dengan hak adalah apa-apa yang diterima oleh seseorang dari orang lain, sedangkan kewajiban adalah apa-apa yang mesti dilakukan seseorang terhadap orang lain.  Dalam hubungan rumah tangga, suami mempunyai hak dan kewajiban begitu juga istri mempunyai hak dan kewajiban.
1.      Hak Pribadi Istri atau Kewajiban Suami
a)      Menurut Muhammad Al-Dusuqi
“hak-hak istri terhadap suami yang timbul karena adanya akad nikah yang benar dan sah, yaitu: (1) mendapat mahar, (2) menerima nafkah, (3) memperoleh pengajaran ilmu agama, (4) digauli dengan patut, dan (5) mendapat perlakuan adil manakala suami berpoligami.”[13]

b)      Menurut Quraish Shihab
“kewajiban suami terhadap istri terdiri dari dua hal : (1) yang berupa uang, yaitu mahar dan nafkah sehari-hari. (2) yang berupa non-materi, yaitu mempergauli istri dengan sebaik-baiknya dan melaksanakan keadilan diantara istri-istri jika menikahi lebih dari satu orang istri.”[14]
c)      Menurut Amir Syarifudin
Hak dan kewajiban istri itu terbagi menjadi dua bagian, yakni (1) kewajiban yang berupa materi, biasa disebut nafaqah dan (2) kewajiban yang tidak bersifat meteri.[15]

2.      Hak pribadi suami atau kewajiban istri
a.       Taat pada suami
b.      Memelihara kehormatan dan harta suami
c.       Berhias untuk suami
d.      Menjadi patner suami[16]
Hak dan kewajiban suami istri dalam Fiqh/Hukum Islam:
3.      Hak bersama suami istri
a)      Suami dan istri dihalalkan mengadakan hubungan seksual
b)      Haram melakukan pernikahan, artinya baik suami maupun istri tidak boleh melakukan pernikahan dengan saudaranya masing-masing
c)      Dengan adanya ikatan pernikahan, kedua belah pihak saling mewarisi apabila salah seorang di antara keduanya telah meninggal meskipun belum bersetubuh
d)     Anak mempunyai nasab yang jelas
e)      Kedua belah pihak wajib bertingkah laku dengan baik sehingga dapat melahirkan kemesraan dalam kedamaian hidup

4.      Kewajiban bersama suami istri
a)      Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawadah,  warahmmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat
b)      Suami istri wajib saling mencintai, menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir batin
c)      Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak merka baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani, maupun kecerdasannya, serta pendidikan agamanya
d)     Suami istri wajib memelihara kehormatannya
e)      Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama

Hak dan kewajiban antara suami dan istri adalah hak dan kewajiban yang timbul karena adanya perkawinan antara mereka. Tentang hak dan kewajiban suami istri diatur dalam BAB VI Pasal 30-34 UU Nomor 1 Tahun 1974. [17]
Pasal 30
Suami-istri memikulkewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
Pasal 31
1)      Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan  hidup bersama dalam masyartakat
2)      Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum
3)      Suami adalah Kepala Keluarga dan istri ibu rumah tangga
Pasal 32
1)      Suami-istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap
2)      Rumah tempat kediaman yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami-istri bersama
Pasal 33
Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
1)      Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya
2)      Istri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya
3)      Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan
Hak  dan kewajiban suami istri ini juga diatur secara detail dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) untuk lebih jelasnya adalah sebagai berikut:
a.       Kewajiban suami dijelaskan dalam Pasal 80 yaitu :[18]
1.      Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetap menngenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersaama.
2.      Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
3.      Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan memberikan kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
4.      Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
a)      Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri
b)      Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak
c)      Biaya pendidikan bagi anak
5.      Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna bagi istrinya.
6.      Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.
7.      Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz.

b.      Kewajiban istri dijelaskan dalam Pasal 83 yaitu :[19]
1.      Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum islam.
2.      Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
c.       Kewajiban bersama antara suami dan istri diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab XII Pasal 77 sampai Pasal 84.



KESIMPULAN
1.      Bunyi hadis tentang hak dan kewajiban suami istri
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ أَخْبَرَنَا أَبُو قَزَعَةَ الْبَاهِلِىُّ عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِىِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ « أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ - أَوِ اكْتَسَبْتَ - وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ ». قَالَ أَبُو دَاوُدَ « وَلاَ تُقَبِّحْ ». أَنْ تَقُولَ قَبَّحَكِ اللَّهُ

2.      Mengenai hadis tentang hak dan kewajiban suami istri di atas sanad, biografi, dan kualitas hadisnya adalah:
Hadis ini diriwayatkan dari Musa ibn Isma’il bercerita kepadaku, Hammad bercerita kepadaku, Abu Qaza’ah al-Bahili mengabarkan kepadaku dari Hakim ibn Mu’awiyah al-Qusyairi dari ayahnya.
Kualitas hadis tersebut sahih karena perawi-perawinya berpredikat siqoh.
3.      Hadis ini menjelaskan tentang hak dan kewajiban suami istri. Istri berhak mendapatkan nafkah dari suami, sedangkan hak suami ialah ditaati oleh istri.
4.      Ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang hak dan kewajiban suami istri diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 pada Pasal 30 sampai 34
Maksud dari hadist tersebut point utamanya yaitu menyangkut kewajiban suami istri yang mana dalam hadist btersebut dilafadzkan sebagai nafaqah  yang mana secara bahasa, an-nafaqat bentuk jamak dari kata nafaqah, kata benda yang dibendakan (masdar) al-infaq, yaitu memberikan sesuatu secara baik demi mengharap ridha Allah.
Sebagai sebuah sumber hukum utama, al-Qur’an sedikit banyak telah menyinggung persoalan rumah tangga, khususnya yang berkaitan dengan hak istri dalam hadis di atas. Ayat yang menjelaskan tentang permasalahan tersebut seperti yang terdapat pada surat an-nisa’ ayat 19 yang menyampaikan pesan sebagai mana secara substantif menyuruh seorang suami untuk mempergauli istri secara baik. Menurut imam Abu Ja’far at-Thabari, menggauki istri secara baik maksudnya adalah memperlakukannya sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah serta memenuhi hak-hak yang dimiliki oleh istri atas suami.


[1] Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, (Beirut libanon: Dar alkotob al-ilmiyah,tt), Hlm. 110
[2] Al Mizzi, Tahdhib al Kamal, juz 18, (Beirut: Dar al-Kutub al-ilmiyah, tt), Hlm. 440-443
[3] Ibid, Juz 5, Hlm. 175-185
[4] Jamaluddin Abi Hajjaj, Tahdzibul kamal fil asma arrijal, juz 21, Hlm. 465
[5] Jamaluddin abi hajjaj, Tahdzibul Kamal fil Asma Arrijal, juz 5, Hlm. 148
[6] Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i 3, penerjemah. Moh. Afifi, Abdul Aziz, (Jakarta: PT. Niaga Swadaya, 2010), Hlm. 41
[7] Abu Ja’far at-Thabari, Jami’ al-Bayan, (t.tp: Mu’assasah Risalah, 2000), Juz 8, Hlm.121
[8] Syamsuddin al-Qurthubi, Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1964), Juz 3, Hlm. 80
[9] Ibnu Muhammad as-syaukani, Fath al-Qadir baina fannay ar-riwayah wa ad-Dirayah, (t.tp: t.t), juz. 1, Hlm. 303
[10] Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub Ilmiah, 2000), juz 30, Hlm. 33
[11] Imam Muslim, Shohih Muslim. Juz 9, Hlm. 105
[12] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: PT INtermassa, 2001), Hlm. 1281
[13]Muhammad Al-Dusuqi, Ahwal As-Sakhsiyah fi Al-Maadzhab As-Syafi’I, (Darussalam:Kairo, 2011), Hlm. 92.
[14]M.Quraish Shihab, Fiqh Praktis II : Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama, (Bandung: Karisma, 2008), Hlm. 130.
[15]Amir Syaifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2014), Hlm. 160.
[16] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Al-Usroh wa Ahkamuha Fi Tasyri’ Al-Islami, Terj. Abdul Madjid Khon, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), Hlm. 223-229.
[17]Salim, Pengantar Hukum Perdata Tertulis, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), Hlm. 74.
[18]Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung CV Nuansa Aulia,2011), hlm. 25.
[19]Ibid.hal.272

No comments:

Post a Comment