Total Pageviews

Thursday, November 28, 2019

MAKALAH HADIS TENTANG HADHANAH



PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Pernikahan adalah ikatan yang mulia dan diberkahi. Allah telah mensyari’atkan pernikahan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan hamba-hamba-Nya, agar dengannya mereka dapat mencapai maksud-maksud yang baik dan tujuan-tujuan yang mulia. Kenyataan hidup membuktikan bahwa memelihara kelestarian dan kesinambungan hidup bersama suami istri itu bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan, bahkan dalam banyak hal kasih sayang dan kehidupan yang harmonis antara suami istri itu tidak dapat diwujudkan.
Ketika hubungan tersebut tidak dapat dipertahankan lagi, maka perceraian merupakan solusi terakhir yang tak mungkin dihindari. syariat mengikat perkawinan, tetapi tidak mempermudah perceraian karena merupakan pihak yang paling dirugikan akibat perceraian kedua orang tuanya adalah anak. Anak akan kehilangan kasih sayang yang sangat dibutuhkan secara utuh dari kedua orang tua. Tidak ada anak yang hanya ingin mendapatkan kasih sayang dari ayahnya atau ibunya saja.
Mereka mengira bahwa Perceraian dipilih karena dianggap sebagai solusi dalam mengurai benang kusut perjalanan bahtera rumah tangga. Sayangnya, perceraian tidak selalu membawa kelegaan. Sebaliknya, seringkali perceraian justru menambah berkobarnya api perseteruan. Salah satu pemicu perseteruan adalah masalah hak asuh anak. Karena hal-hal seperti itulah, kewajiban memberikan nafkah dan memelihara anak tidak gugur dengan terjadinya perceraian. Pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian dalam bahasa fiqih disebut dengan hadhanah. Persoalannya jika terjadi perceraian, siapakah yang berhak untuk memelihara si anak.
Oleh karena itu dalam hal ini penulis akan membahas tentang Hadhanah atau biasa sering di sebut hak asuh anak setelah terjadinya perceraian yang sering terjadi dalam kehidupan nyata atau dalam masyarakat dengan mengkaji hadits Rasulullah SAW.

B.     Rumusan Masalah
1.    Bagaimana hadits tentang hadhanah ?
2.    Bagaimana kualitas hadits tentang hadhanah ?
3.    Bagaimana syarah hadits tentang hadhanah ?
4.    Bagaimana ketentuan hukum tentang hadhanah ?
5.    Bagaimana ketentuan undang-undang yang berlaku tentang hadhanah ?


HADIS TENTANG HADHONAH

Teks Hadis

حَدَّثَنَا مَحْمُوْدُ بنُ خَالِد السُلَمِيُّ حَدَّثَنَا الوَلِيْدُ عَنْ أَبِي عَمْرٍ ويَعْنِي الأَوْزَاعِيّ حَدَّثَنِي عَمْرُوبْنُ شُعَيْبِ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدَّةِ عَبْدِاللهِ بنِ عَمْرٍ : أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ : يَا رَسُوْلَ الله اِنّ ابْنِ هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً, وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً, وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً, وَ اِنَّ اَبَاهُ طَلَّقَنِي وَاَرَادَ اَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي, فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَنْتِ اَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي.[1]
Terjemahan :
Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khaalid As-Sulamiy, telah menceritakan kepada kami Al-Waliid, dari Abu ‘Amru yaitu Al-Auza’iy, telah menceritakan kepadaku ‘Amru bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amru Bahwasannya ada seorang wanita berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutkulah yang mengandungnya, susukulah yang memberinya minum, dan pangkuankulah yang melindunginya. Sedangkan ayahnya telah menceraikanku dan ingin memisahkanya dariku”. Lalu Kemudian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya : “Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah” (HR. Abu Dawud no. 2276).

A.    Makna Mufrodat
وِعَاءً    : Tempat mengandung.
سِقَاءً    : Tempat untuk menyimpan air/susu.
حِوَاءً    : Tempat untuk menampung/melindungi.[2]


Sanad hadis diatas adalah sebagai berikut:

 

B.     Biografi Perawi Hadis
1.      Abdullah bin Amr
Namanya adalah Abdullah bin Amr bin Ash. Beliau adalah seorang imam besar dan ahli ibadah, sahabat Rosulullah, dan putra sahabatnya yang bernama Abu Muhammad[3]. Beliau lahir di Marwah dan wafat di Mesir pada tahun 65 H dan dimakamkan dirumahnya yang kecil. Beliau berguru kepada Ubay bin Ka’ab bin Qois, Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf, Umar bin Khattab bin Nufail. Diantara muridnya adaalah Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah, As’ad bin Sahl bin Khunaif, Aus bin Abdullah.[4]

2.      Syuaib bin Muhammad bin Abdulloh bin Amr bin ‘Ash
Namanya adalah Syuaib bin Muhammad bin Abdulloh bin Amr bin ‘Ash al-Qurasiy as-Sahmiy al-Hijazy.[5] Lahir di Hijaz. Beliau berguru kepada Abdulloh bin Amr bin ‘Ash, Muawiyah bin Abi Sufyan Shakr bin Harb bin Umayah. Diantara muridnya adalah Tsabat bin Aslam, Amr bin Syuaib bin Muhammad bin Abdillah bin Amr.[6] Dalam litelatur megatakan bahwa beliau lahir di Hijaz, sedangkan tahun dan tempat wafat belaiu belum diketahui.

3.      Amr bin Syu’aib
Namanya adalah Amr bin Syu’aib bin Muhammad bin Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash al-Quraisy as-Sahmiy. Dikatakan bahwa ‘Amr adalah orang Madinah, dan ada yang mengatakan orang Thaif. Abu Hatim mengatakan bahwa beliau orang Mekkah yang kemudian pindah ke Thaif.[7] Kualitas perawi ini adalah Shoduq.

4.      Abdur Rahman bin Amr bin Abi Amr
Namanya adalah Yuhmad asy-Syamiy, Imam ahli syam pada zamannya dan ahli hadits serta fiqih. Abu ‘Amr adalah julukannya. Lahir di Syam dan wafat di Baitul Maqdis pada tahun 157 H. Gurunya  adalah Abu Yasar, Usamah bin Zaid dll. Muridnya adalah Israil bin Yunus bin Abi Ishaq, Ismail bin Abdullah dll.[8]

5.      Al Walid bin Muslim
Beliau lahir di Syam dan wafat di Damaskus paada tahun 195 H. beliau berguru kepada Ishaq bin Abdullah bin Abi Furwah, Ismail bin Rofa’, Tsaur bin Yazid bin Zaid, Hafs bin Ghoilan dll. Diantara muridnya adalah Ibrahim bin Ishaq bin Isa, Ibrahim bin Mundzir bin Abdullah dll.[9]

6.      Mahmud bin Khalid As Sulamy
Nama beliau adalah Mahmud bin Khalid bin Abi Khalid dan memiliki julukan Abu ‘Ali. Lahir di Syam dan wafat pada tahun 249 H. Kualiatas perowi ini adalah thiqoh.[10]
Jadi sanad hadist ini adalah hasan

C.     Penjelasan dan Kandungan Hukum Hadis
1.      Penjelasan Hadis
Pemeliharaan anak dalam bahasa arab disebut dengan istilah hadhanah.[11] Hadhanah menurut bahasa berarti “meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan”, karena ibu waktu menyusui anaknya meletakkan anak itu dipangkuannya, seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga hadhanah dijadikan istilah yang maksudnyapendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirimya yang dilakukan oleh kerabat anak itu.[12]
Para ahli fiqh mendeinisikan hadhanah sebagai melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, laki-laki maupun perempuan yang belum tamyiz untuk menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.[13]
Hadhanah merupakan kewajiban bagi kedua orang tua untuk bersama-sama mengasuh dan melindungi anaknya sampai batas umur yang telah ditetapkan, namun hal itu akan sulit terealisasikan jika ayah dan ibu terjebak dalam kasus perceraian. Akan timbul masalah siapakah yang berhak atas kewajiban mengasuh anak tersebut. Hadits ini merupakan dalil bahwa seorang ibu lebih berhak untuk mengasuh anaknya, jika bapak ingin merebut darinya. Dalam hadits ini wanita juga menyebutkan sifat-sifat khusus bagi seorang wanita yang menguatkan keutamaannya mengasuh anaknya sendiri, bahkan Nabi SAW menetapkan dan memutuskan hukum sesuai dengan keinginannya.
Tidak ada perbedaan ulama dalam menetapkan hukum yang berkaitan dengan hadits ini, Abu Bakar dan Umar memutuskan perkara berdasarkan hadits ini, Ibnu Abbas berkata, "Udara, kasur, kebebasan yang diberikan seorang ibu lebih baik daripada bapak sampai anaknya dewasa (baligh) dan memilih di antara keduanya." (HR. Abdurrazzaq) pada sebuah kisah.[14] Hadits ini menunjukkan juga apabila seorang ibu tersebut menikah lagi, maka gugurlah haknya untuk mengasuh anaknya, inilah pendapat jumhur ulama.[15]
Dari hadits diatas jelaslah bahwa keutamaan hak ibu itu ditentukan oleh dua syarat yaitu: dia belum kawin dan dia memenuhi syarat untuk melaksanakan tugas hadhanah. Bila kedua atau salah satu dari syarat ini tidak terpenuhi, umpamanya dia telah kawin atau tidak memenuhi persyaratan maka ibu tidak lebih utama dari ayah. Bila syarat itu tidak terpenuhi maka hak pengasuhan pindah kepada urut yang paling dekat yaitu ayah.[16]
Ibnul Mundzir berkata, "Ulama berijma' berdasarkan hadits ini." Al-Hasan dan Ibnu Hazm berpendapat tidak gugur haknya mengasuh walaupun ia menikah lagi. Berdasarkan pada kasus sahabat seperti Anas bin Malik tetap bersama ibunya walaupun ia menikah lagi, demikian juga Ummu Salamah yang menikah lagi, anaknya tetap ia asuh.[17]
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “ seorang ibu itu lebih mashlahah dibandingkan seorang ayah. Karena, sang ibu sangat hati-hati dan teliti terhadap anak kecil. Dia juga lebih tau hal-hal yang menyangkut makanannya. Ia menggendong dan menuntunnya dengan penuh kesabaran. Selain lebih mampu mengetahui kondisi anak ia juga lebih menyayanginya. Dalam hal ini, ibu lebih mengerti, lebih mampu, lebih sabar disbanding seorang ayah. Maka, seorang ibu ditetapkan sebagai orang yang lebih berhak mengasuh anak kecilnya yang belum baligh di dalam syariah”.
Kemudian jika si istri (ibu) menikah lagi dengan suami baru anaknya akan terlantar maka bapaknya harus mengasuhnya. Jika ia beristri lagi, maka biasanya anak tiri kurang diperhatikan istri baru, apalagi jika ia sudah punya anak kandung. Dalam keadaan begitu, alangkah baiknya tidak dibawa kerumah istri baru, tetapi diasuh familinya yang lain dan paling akhir diasuh dirumah penyantuni anak-anak, yang berdasarkan islam. Inilah dampak buruk akibat suami istri yang bercerai talak yang menjadikan anak sebagai korban. Oleh sebab itu Allah paling membenci perbuatan tersebut meskipunperkara tersebut masuk yang halal. Ibnu Taimiyah berkata di dalam al-Ikhtiyarat: bibi dari pihak ayah lebih berhak (memelihara) daripada bibi dari pihak ibu, demikian pula semua keluarga perempuan ayah lebih berhak didahulukan daripada keluarga perempuan ibu, sebab hak perwalian adalah ditangan ayah, termasuk semua kerabatnya.[18]
Ketentuan bahwa anak diasuh ibu bukan ayah hanyalah apabila anak itu masih kecil dan belum mumayiz. Kalau sudah mumayiz, maka anak diberi pilihan apakah ia ingin ikut ayahnya atau ibunya, lalu si anak berada dalam asuhan salah satu yang dipilihnya, baik anak tersebut laki-laki maupun perempuan.
Dasar adanya pilihan mumayiz adalah hadist Abu Huraira r.a:
أَنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم خَيَّرَ غُلَامًا بَيْنَ أَبِيْهِ وَأُمِّهِ (رواه إبن ماجة)
“Bahwa Rasulullah SAW member pilihan kepada anak yang sudah mumayiz untuk ikut ayahnya atau ibunya” (H.R. Ibnu Majah)[19]

Dalam riwayat lain menjelaskan:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أَنَّ اِمْرَأَةً قَالَتْ: ( يَا رَسُولَ اَللَّهِ, إِنَّ زَوْجِي يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ بِابْنِي, وَقَدْ نَفَعَنِي, وَسَقَانِي مِنْ بِئْرِ أَبِي عِنَبَةَ فَجَاءَ زَوْجُهَا, فَقَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَا غُلَامُ, هَذَا أَبُوكَ وَهَذِهِ أُمُّكَ, فَخُذْ بِيَدِ أَيُّهُمَا شِئْتَ فَأَخَذَ بِيَدِ أُمِّهِ, فَانْطَلَقَتْ بِه ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَالْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ(
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa seorang perempuan berkata: Wahai Rasulullah, suamiku ingin pergi membawa anakku, padahal ia berguna untukku dan mengambilkan air dari sumur Abu 'Inabah untukku. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Wahai anak laki, ini ayahmu dan ini ibumu, peganglah tangan siapa dari yang engkau kehendaki." Lalu ia memegang tangan ibunya dan ia membawanya pergi. Riwayat Ahmad dan Imam Empat. Hadits shahih menurut Tirmidzi.[20]

Dari hadits diatas, bahwa seorang anak-anak ketika bisa mandiri diajukan dua pilihan antara ikut dengan ibunya atau bapaknya. Dalam masalah ini ulama berbeda pendapat: sebagian kecil ulama berpendapat bahwa anak itu diajukan pilihan antara memilih ibu atau bapaknya mengamalkan hadits ini, inilah pendapat Ishaq bin Rahawaih, batasan umur untuk diajukan pilihan itu mulai dari usia tujuh tahun. Ai-Hadawiyyah dan Al-Hanafiyyah berpendapat bahwa anak itu tidak diberikan untuk memilih, mereka berkata, “Ibu lebih berhak mengasuh sampai anaknya bisa mandiri, apabila sudah mandiri, bapak lebih berhak mengasuh anak laki-laki dan ibu mengasuh anak perempuan.” Malik sependapat untuk diberikan hak memilih, hanya saja berkata, “Ibu lebih berhak mengasuh anak-anak, baik yang laki-laki maupun perempuan.”[21]
Ulama berbeda pendapat tentang umur tamyiz. Sebagian ulama berpendapat 7 tahun, sebagian yang lain berpendapat 8 tahun. Anak diberi kebebasan untuk memilih antara ikut ayah atau ibu, sebab pada usia itu anak sudah mempunyai kecenderungan (pilihan), siapa yang lebih dicocok.[22]
Jika dalam penentuan pihak yang mendapatkan hak asuh antara ayah dan ibu terdapat kecacatan maka hak asuh anak tersebut jatuh pada kerabat-kerabat ibu dan ayahnya. Adapun urutan orang-orang yang berhak mendapatkan hak asuh tersebut adalah sebagai berikut:[23]
No
Dari Pihak Perempuan
No
Dari Pihak Laki-laki
1
Ibu anak
1
Ayah kandung anak
2
Nenek dari pihak ibu
2
Kakek dari pihak ayah
3
Nenek dari pihak ayah
3
Saudara laki-laki sekandung atau seayah
4
Saudara kandung perempuan anak
4
Anak laki-laki dari saudaralaki-laki sekandung atau seayah
5
Saudara perempuan seibu
5
Paman yang sekandung dengan ayah
6
Saudara perempuan seayah
6
Paman yang seayah dengan ayah
7
Anak perempuan dari saudara dari saudara perempuan sekandung atau seayah.
7
Pamannya ayah yang sekandung
8
Saudara perempuan ibu yang sekandung atau seibu dengannya
8
Pamannya ayah yang seayah dengan ayah
9
Anak perempuan dari saudara perempuan seayah

10
Anak perempuan dari saudar laki-laki sekandung, seibu atau seayah

11
Bibi sekandung, seibu, seayah dengan ayah

12
Bibinya ibu dari pihak ibunya atau ayahnya

13
Bibinya ayah dari pihak ayahnya atau ibunya



2.      Kandungan Hukum Hadis
a.       Pengertian
Secara etimologi, hadhanah berasal dari akar bahasa Arab ﺎﻨﻀﺣ - ﻦﻀﺤﻳ – ﻦﻀﺣ yang berarti mengasuh, merawat, memeluk.[24] Mengasuh artinya memelihara dan mendidiknya.
Sedangkan secara terminologi adalah mendidik dan mengasuh atau memelihara anak yang belum mumayiz (belum dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk), belum mampu mengurus dirinya sendiri setelah terjadinya perceraian.

b.      Syarat dan Rukun
Bagi seorang hadhinah (pengasuh) yang menangani dan menyelenggarakan kepentingan anak kecil yang di asuhnya yaitu adanya kecukupan dan kecakapan yang memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat tertentu ini tidak dipenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanah-nya.
Adapun ayah atau ibu yang akan menjadi pengasuh harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Berakal sehat
Bagi orang yang kurang akal atau gila, keduanya tidak sah dan tidak boleh menangani hadhanah
2.      Dewasa (baligh)
Bagi anak kecil tidak ada hak untuk menjadi hadhinah (pengasuh), karena ia sendiri masih membutuhkan wali, sedangkan hadhinah itu seperti wali dalam perkawinan maupun harta benda.
3.      Mampu mendidik
Tidak diperbolehkan menjadi pengasuh bagi orang yang buta atau rabun, sakit menular atau sakit yang melemahkan jasmaninya untuk mengurus kepentingannya (anak),
4.      Amanah dan berbudi
Dapat dipercaya pengasuhan dan pendidikannya terhadap anak yang dipelihara. Oleh sebab itu bagi hadhinah (pengasuh) yang khianat tidak boleh diberi beban untuk memelihara anak karena bisa menjadikan terlantarnya anak yang diassuhnya dan bahkan nantinya anak tersebut dapat meniru atas kelakuan seperti orang yang curang.
5.      Islam
Non muslim tidak diperbolehkan menjadi hadhinah (mengasuh) karena dikhawatirkan anak kecil yang diasuhnya itu akan dibesarkan dan dididik dengan agama pengasuhnya.
6.      Keadaan wanita (ibu) belum kawin
Dikhawatirkan akan hak-haknya anak yang di asuhnyaa itu tidak terpenuhi karena orang yang sudah menikah akan lebih mengurusi, memenuhi hak dan melayani suaminya, akan tetapi jika si suami rela dan merestui, kalau isterinya mengasuh siapa yang berhak diasuhnya maka hal itu tidak menggugurkan hak asuhnya terhadap anak tersebut.[25]
Sedangkan Syarat-syarat untuk anak yang di asuh (mahdhun)
1.      ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri.
2.      Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada di bawah pengasuhan siapa pun.[26]

Adapun apabila kedua orang tua si anak masih lengkap dan sma-sama memenuhi syarat, maka yang paling berhak  melakukan hadhanah atas anak tersebut menurut Imam syafi’i adalah ibu. Alasannya adalah ibu lebih memiliki rasa kasih sayang yang sangat kuat dibandingkan dengan ayah. Apabila anak berada dalam asuhan seorang ibu, maka segala biaya yang diperlukan untuk itu tetap berada dibawah tanggungjawab si ayah. Kalau ibunya menikah lagi dengan orang lain, sedangkan anak itu masih belum mumayyiz, ayahnya yang berhak mendidiknya. Apabila anak itu telah melewati masa kanak-kanak yaitu mencapai usia 7 (tujuh) tahun, yang dalam fiqh dinyatakan mumayyiz, dan dia tidak idiot, sedangkan pihak ayah dan ibu berselisih dalam memperebutkan hak hadhanah, maka si anak diberi hak untuk memilih antara tinggal bersama ayah atau ibunya untuk pengasuhan selanjutnya[27]
Dalam Undang-undang perkawinan tidak di bahas secara khusus mengenai hadhanah ini, tetapi lebih membahas tentang kewajiban orang tua dan anak terhadap orang tua. Akan tetapi hadhanah ini dibahas secara jelas dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 dan Pasal 156 yaitu:
Pasal 105
Dalam hal terjadinya perceraian :
a.    Pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b.    Pemeliharaan anak yang sudah mumayiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
c.    Biaya pemeliharaan ditanggung ayahnya.

Pasal 156

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian
a.       Anak yang belum mumayyiz berhak mendapat hadanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
1.      Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
2.      Ayah;
3.      Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4.      Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5.      Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah;
b.      Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadanah dari ayah atau ibunya;
c.       Apabila pemegang hadanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan, pengadilan agama dapat memindahkan hak hadanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadanah pula;
d.      Semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);
e.       Bilamana terjadi perelisihan mengenai hadanah dan nafkah anak, pengadilan agama memberikan putusannya berdasarkan huruf a,b, dan d;
f.       Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk memelihara dan mendidik anak-anak yang tidak turut padanya.

Adapun hikmah mengasuh anak dilihat dari dua sisi:[28]
1.    Tugas laki- laki dalam urusan penghidupan dan masyarakat berbeda dengan tugas wanita. Perhatian seorang ibu terhadap anknya lebih  tepat dan cocok karena memelihara anaknya keistimewaan ibu.
2.    Seorang ibu mempunyai rasa kasih sayang yang lebih besar terhadap anaknya dari pada seorang ayah. Dan curahan hati tercurah lebih untuk anaknya.


PENUTUP

Kesimpulan
1.                  حَدَّثَنَا مَحْمُوْدُ بنُ خَالِد السُلَمِيُّ حَدَّثَنَا الوَلِيْدُ عَنْ أَبِي عَمْرٍ ويَعْنِي الأَوْزَاعِيّ حَدَّثَنِي عَمْرُوبْنُ شُعَيْبِ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدَّةِ عَبْدِاللهِ بنِ عَمْرٍ : أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ : يَا رَسُوْلَ الله اِنّ ابْنِ هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً, وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً, وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً, وَ اِنَّ اَبَاهُ طَلَّقَنِي وَاَرَادَ اَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي, فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
: اَنْتِ اَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي
2.                  Kualitas hadits diatas adalah hasan.
3.                  Hadits ini merupakan dalil bahwa seorang ibu lebih berhak untuk mengasuh anaknya, jika bapak ingin merebutnya darinya, wanita dalam hadits ini juga menyebutkan sifat-sifat khusus bagi seorang wanita yang menguatkan keutamaannya mengasuh anaknya sendiri, bahkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menetapkan dan memutuskan hukum sesuai dengan keinginannya. Hal ini mengingatkan kita bahwa alasan dan tujuan-tujuan utama dipertimbangkan dalam menetapkan hukum; karena lahir dari fitrah manusia.
4.                  Adapun syarat-syarat yang harus dimiliki bagi yang melakukan hadhanah, yakni baligh berakal, mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik anak, dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang bisa mengakibatkan tugas hadhanah menjadi terlantar, dapat memegang amanah, beragama islam. Dan syarat untuk anak yang diasuh adalah ia masih dalam usia kanak-kanak yang belum bisa mencukupi kehidupannya dan tidak sempurna akalnya.
5.                  Dalam Kompilasi Hukum Islam atau dalam hukum positif, masalah hadanah diatur dalam Pasal 105 dan Pasal 156.


[1] Abi Daud Sulaiman bin Al-Ats ‘Ats As-Sijistani, Sunan Abi Daud, (Beirut: Darul Hadits, 1999) Juz 2, hlm 980
[2] Arif Jamaluddin Malik, Hadis Hukum Keluarga, (Surabaya: UINSA Press, 2014), hlm 264
[3] Muhammad Hasan bin Aqil Musa Asy-Syarif, Imam Adz-Dzahabi, Ringkasan Siyar A’lam An-Nubala, (jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm 555
[4] CD Mausu’ah Al Hadits Al Syarif
[5] al-Hafidz Jamaluddin Abi al-Hajjaj Yusuf al-Maziy, Tahdzibul Kamal fi Asmail al-rijal, (Beirut: Dar Al Fikr, 1994), Juz 21, 534.
[6] Arif Jamaluddin Malik, Hadis Hukum Keluarga, Ibid, hlm 266
[7] Al-Hafidz Jamaluddin Abi al-Hajjaj Yusuf al-Maziy, Tahdzibul Kamal fi Asmail al-rijal, 65.
[8] CD Mausu’ah Al Hadits Al Syarif
[9] CD Mausu’ah Al Hadits Al Syarif
[10] CD Mausu’ah Al Hadits Al Syarif
[11] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003), 175.
[12] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, 175.
[13] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), 237.
[14] Ash-Shan’ani,  Imam Muhammad bin Isma'il bin Amir Al-Yamani. Subulus Salam Syarah Bulughul Marom Min Jam'i Asillatil Ahkam, (Arab Saudi: Maktabah Nazar Musthofa Al-Baz, Riyadh, 1995)
[15] Ibid.,
[16] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), 330.
[17] Muhammad bin Isma'il bin Amir Ash-Shan’ani, Subul as Salam Syarh Bulugh al Marom, terj. Ali Nur Medan (Jakarta: Darus Sunnah, 2009) hlm 199
[18] Mu’ammal Hamidy, Terjemahan Nailul Authar, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993), hlm2477
[19] Ibid.,  2473.
[20] Mu’ammal Hamidy, Terjemahan Nailul Authar,  (Surabaya: Bina Ilmu, 1984) hlm 2474.
[21] Ash-Shan’ani,  Imam Muhammad bin Isma'il bin Amir Al-Yamani. Subulus Salam Syarah Bulughul Marom Min Jam'i Asillatil Ahkam.
[22] Abdul Fatah Idris, Terjemahan Kifayatul Akhyar, (Jakarta: Bineka Cipta, 1990) hlm 258.
[23] Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008) hlm 454-456.
[24] Ahmad Warson Munawir, Al- Munawir, Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Progresif, Cet. IV, 1997, hlm 274
[25] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunah Jilid VIII terj. Moh. Thalib, (Bandung: Al-Ma’arif. 1983) hlm 165
[26] Amir Syarifuddin,. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. (Jakarta; Kencana, 2006), hlm 329
[27] Ibid., 329
[28] Syeikh Ali Ahmad Al Jurjawi, Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuhu, (Mesir: Al Azhar, 1992), 346.